Milenial dan Upaya Bangkit dari Quarter Life Crisis
Kaum milenial mungkin sudah tidak asing lagi jika mendengar kata quarter life crisis. Istilah ini semakin populer seiring meningkatnya kesadaran akan pentingnya isu kesehatan mental. Quarter life crisis sendiri merupakan sebutan untuk fase kehidupan di mana seseorang akan mengalami keadaan emosional yang tidak menentu, rasa ragu, insecure, serta kekhawatiran yang muncul di setiap pilihan.
Kristen Ficher dalam bukunya yang berjudul Ramen Noodles, Rent and Resumes: An After-College Guide to Life, quarter life crisis mengatakan bahwa quarter life crisis merupakan perasaan khawatir yang muncul karena ketidakpastian akan kehidupan mendatang seputar relasi, karir dan kehidupan sosial yang terjadi sekitar usia 20-an.
Jadi, gejala ini memang biasanya dirasakan oleh kaum milenial di rentang usia 20 hingga 30 tahun dan merupakan hal yang umum dan wajar. Kenapa wajar? Karena memang setiap orang akan mengalami fase ini. Fase ini pulalah yang menandai bahwa seseorang sedang berada dalam proses menuju kedewasaan.
Namun, meskipun wajar, melewati fase ini tidak mudah. Pasalnya, kita akan berhadapan dengan pilihan-pilihan dan ketidakpastian-ketidakpastian yang tak ubahnya seperti rimba yang tak jelas jalan keluarnya.
Sebuah contoh sederhana, ketika kita berada di dunia sekolah segala hal terasa simpel. Misalnya kita ingin menjadi juara kelas, maka untuk mencapai hal itu kita bisa membayangkan dengan pasti apa yang harus kita lakukan, entah itu memasang target belajar, mengikuti bimbel, berlatih mengerjakan soal-soal dan lain sebagainya.
Memasuki fase dewasa muda akan banyak keadaan baru yang mulai menghampiri, pada fase ini biasanya seseorang mulai dipaksa untuk bersikap mandiri, sebagai contoh, seseorang usia 20-an akan dihadapkan dengan pilihan-pilihan terkait masa depannya. Apakah memilih untuk bekerja atau melanjutkan pendidikan di luar kota dan sebagainya. Apakah pilihannya akan membawanya pada kesuksesan atau tidak.
Sebagian orang mungkin dituntut untuk memiliki tanggung jawab besar dengan menjadi tulang punggung keluarga. Beberapa orang mungkin dipaksa untuk segera menikah, padahal secara mental dan finansial masih belum mumpuni. Beberapa lagi mungkin dihadapkan dengan kegagalan-kegagalan finansial yang terus menghampiri. Bahkan, tak jarang keadaan tersebut diperparah dengan tuntutan dari orang sekitar yang memasang ekspektasi terlalu tinggi pada seorang yang beranjak dewasa.
Keadaan seperti itu dapat menimbulkan tekanan batin yang hebat pada seseorang yang sedang berada di fase transisi menuju kedewasaan. Akibatnya, di tengah kebimbangan yang terus menyerang, tak jarang seseorang menjadi kehilangan fokus terhadap diri dan merasa kebingungan atau malah depresi.
Perasaan-perasaan seperti kegelisahan, kehampaan, tekanan batin dan lain sebagainya, jika terus dibiarkan terus menumpuk, maka akan membawa efek negatif terhadap diri. Perasaan depresi yang berkepanjangan bisa saja menghampiri jika hal ini tidak cepat diatasi dan dicari solusinya. Setidaknya terdapat beberapa upaya yang terbilang penting dan bisa dilakukan saat menghadapi kondisi seperti ini.
Pertama, berpikir positif. Ketika dihadapkan dengan kekhawatiran akan masa depan, tak jarang kita akan berfokus pada pencapaian orang lain dan merasa tertinggal. Hal ini tentu saja tidak baik untuk kesehatan mental, perasaan ini harus dilawan dengan berpikir positif agar diri mendapat sugesti yang baik dan agar tetap bisa berfokus pada tujuan hidup.
Kedua, fokus menggali potensi diri. Terlalu sering melihat pencapaian orang lain dan membandingkannya dengan diri sendiri akan membuat kita tersesat lebih jauh. Untuk itu, kita perlu meneropong ke dalam diri dan menemukan apa sebenarnya hal yang mampu kita lakukan dan passion apa yang kita miliki dan konsisten mengembangkannya.
Ketiga, jangan terpaku pada standar sosial. Manusia memang makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Namun, bukan berarti penilaian orang lain terhadap diri harus diterima seluruhnya. Standar sosial seperti penentuan ukuran pendapatan yang harus dimiliki, usia pernikahan yang ideal, jumlah anak dan lain sebagainya ada baiknya diabaikan. Setiap orang berhak untuk membuat standar sendiri sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Keempat, jalin relasi positif. Pada masa pendewasaan, sebuah relasi akan sangat berpengaruh terhadap masa depan. Relasi yang positif akan memberi dampak yang positif dan begitu juga sebaliknya.
Kelima, berhenti membandingkan. Beri diri waktu untuk berkembang, setiap orang memiliki waktu sukses yang berbeda. Tidak perlu membandingkan proses diri dengan orang lain, karena setiap orang memiliki garis start dan finish yang berbeda. Setiap orang memiliki keistimewaan masing-masing dan potensi diri yang berbebeda pula.
Tentunya masih banyak lagi hal yang dapat dilakukan untuk menghadapi quarter life crisis. Tetapi, setidaknya lima upaya menghadapi quarter life crisis tersebut bisa menjadi pilihan yang baik dan dapat diterapkan ketika sedang berhadapan dengan fase ini. Tetap optimis dan yakin setiap orang memiliki kesuksesan tersendiri yang akan hadir di waktu yang tepat.
Artikel Lainnya
-
13023/07/2024
-
200708/03/2021
-
93726/10/2021
-
The Batman: Dari Pencarian Jati Diri Hingga Reaksi Atas Kemelut Politik Yang Memuakkan!
99007/05/2022 -
142603/10/2021
-
Membedah Diskursus Pancasila versi Kacamata Millenials
122702/06/2020