Korupsi dan Tantangan Kepala Negara

Mahasiswa
Korupsi dan Tantangan Kepala Negara 26/12/2020 1322 view Politik Detik.com

Pejabat negara bersumpah ketika dilantik. Mereka berdiri dengan tegak dan Kitab Suci diletakkan di atas kepala. Mereka berjanji untuk selalu setia dan bertanggung jawab pada kepercayaan yang sudah diberikan. Janji itu diucapkan dengan suara yang lantang, tentunya dengan kesadaran penuh. Publik yang menyaksikan upacara pelantikan pun bulu kudukya merinding, lantas karena suasananya sangat formal dan Suci.

Kesakralan acara itu bukanlah tanpa alasan. Mereka yang dilantik diberikan mandat untuk memimpin, melayani, mengarahkan, dan menuntun banyak orang. Pun mereka merealisasikan tugas-tugas itu harus penuh integritas dan tanggung jawab. Karena kesejahteraan rakyat bergantung pada mereka.

Peristiwa Sakral nan Suci itu sudah kita saksikan bersama pada Rabu, 23 Desember 2020. Presiden Jokowi resmi melantik enam orang menteri baru sebagai bagian dari perombakan Kabinet Indonesia Maju. Dalam acara pelantikan, menteri-menteri yang dipilih wajib bersumpah di atas Kitab Suci untuk setia, jujur, dan bertanggung jawab pada tugas-tugas mereka. Pada kesempatan yang sama, mereka juga memaparkan visi dan misi mereka.

Acara pelantikan keenam Menteri baru itu mengundang berbagai aneka pertanyaan di ruang publik. Apakah sumpah jabatan itu betul-betul dipegang dengan setia? Bisakah mereka nantinya bertanggung jawab pada sumpah itu? Itulah yang menjadi pesimisme kita bersama.

Pesimisme publik bukan sebuah pesimisme tanpa dasar. Kiranya, banyak referensi yang membuat publik beranggapan demikian. Salah satu contohnya adalah maraknya terjadi kejahatan korupsi yang sudah dilakukan oleh pejabat negara (tentu tidak semua pejabat negara). Mereka sudah bersumpah saat pelantikan, namun pelanggaran terjadi sesering sumpah itu dilakukan. Itulah basis keraguan publik yaitu “Korupsi”.

Korupsi tentunya menjadi ketakutan kita bersama. Banyak terjadi korupsi yang agennya adalah pejabat negara. Kita masih ingat si Juliari P. Batubara mantan Menteri Sosial yang baru-baru ini melahap dana bantuan sosial (bansos). Masih membekas juga diingatan kita Edhy Prabowo mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang telah mencuri dana negara.

Edhy dan Batubara tidak hanya berdua. Pada diri mereka, terpantul semua pejabat publik yang sudah mengkorupsi uang rakyat. Mereka hanya sebagai ikon, bahwa ternyata pejabat publik bisa melanggar sumpah yang diucapkan saat dilantik.

Konsekuensi praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara berdampak pada memudarnya kepercayaan publik pada Presiden Jokowi. Jokowi pun dianggap tidak profesional dalam memilih menteri. Dengan itu, perombakan kabinet kerja Jokowi dengan memilih enam menteri baru diharapkan punya integritas yang tinggi serta profesional dalam melaksanakan tugas. Seperti kata Dedi Kurnia Syah bahwa “Dalam melakukan perombakan kabinet, Presiden Jokowi harus lebih banyak memilih sosok yang profesional ketimbang yang berlatar belakang politisi” (lih. KOMPAS.com, 2020).

Seiring dengan perombakan kabinet baru Jokowi-Ma'ruf, serentak pula kita bertanya apakah mereka yang dipilih itu betul-betul memiliki rekam jejak yang baik? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan penting. Jangan sampai, terulang lagi kasus-kasus korupsi dalam ruang lingkup pejabat negara sendiri.

Aneka korupsi yang terjadi hari-hari ini membuat kita kehabisan cara untuk melumpuhkannya. Berita tentang korupsi selalu saja ada setiap tahunnya. Dan mungkin sudah menjadi berita tahunan kita. Korupsi itu ibarat rumput yang kalau tidak dicabut sampai akarnya, pasti akan bertumbuh lagi. Itulah gambaran korupsi di negeri ini.

Tantangan bagi Presiden

Fenomena korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara membawa tantangan tersendiri bagi Presiden jokowi, khususnya kepercayaan publik pada pemerintahan jilid II ini. Jangan sampai, tingkat kepuasaan publik di era Jokowi Jilid II semakin berkurang.

Memang, menurut survei lembaga Indo Barometer dan Alvara Research Center mengenai tingkat kepuasaan publik pada pemerintahan Jokowi II sangat tinggi. Menurut hasil survei Indo Barometer, sebesar 70,1 persen publik puas dengan kerja Jokowi, sementara yang tidak puas angkanya 27,4 persen. Hasil survei tersebut mengalami peningkatan dibandingkan dengan survei Maret 2015 di mana kepuasan publik terhadap kinerja presiden Jokowi sebesar 57,5 persen. Sementara yang tidak puas pada saat itu 37,5 persen (lih. TEMPO.CO, 2020).

Namun, bukan tidak mungkin bahwa kepercayaan publik kepada pemerintahan Jokowi pada era jilid II ini akan menurun drastis. Melihat praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara hari-hari ini memicu skeptis yang besar di ruang publik mengenai metode Jokowi dalam membasmi kasus korupsi.

Sebagai kepala negara, Presiden Jokowi sungguh ditantang untuk mencari solusi terbaik dalam memusnahkan praktik korupsi di negeri ini. Satu tantangan yang hemat saya harus dilakukan oleh Jokowi, yaitu membongkar semua kasus-kasus korupsi sampai pada akar-akarnya. Ini memang bukan pekerjaan yang mudah. Namun sebagai kepala negara, Jokowi tentunya lebih memprioritaskan kesejahteraan rakyat. Caranya adalah dengan membersihkan praktik-praktik korupsi dengan tuntas.

Kejahatan korupsi sudah merugikan negara dan terutama menyumbat operasionalisasi hak-hak rakyat (Silvianus Mongko, 2013). Korupsi sudah merusak tatanan ekonomi, politik, hukum, jaminan sosial, dan layanan terhadap rakyat. Dengan itu, sebagai Orang yang dipercayakan oleh rakyat untuk memimpin negara, presiden harus membersihkan praktik korupsi dengan maksimal.

Ketidakberesan dalam membantai kasus korupsi menandakan kegagalan sebuah negara. Seperti dicatat oleh Robert Rotberg dalam bukunya, When States Fail, bahwa salah satu faktor penting yang menyebabkan kegagalan negara adalah korupsi (Rotberg, 2004). Dengan itu, agar negara ini tidak dinilai sebagai negara yang gagal, kasus korupsi harus ditindak tegas. Bila perlu hukuman bagi koruptor harus bersifat represif.

Harapan Perombakan Kabinet

Dalam gempuran kasus korupsi inilah, kita percaya bahwa perombakan kabinet baru oleh Presiden Joko Widodo adalah solusi terbaik. Langkah presiden Jokowi dalam merombak kabinet kerjanya tentunya punya pesan yang jelas. Semoga kedepannya, tidak ada lagi pejabat negara yang melahap, merampok, dan mencuri uang negara. Dengan itu, para menteri yang baru-baru dilantik bersumpah dengan meletakkan Kitab Suci di kepala.

Tentu saja, dalam menghapus praktik korupsi tidak akan berhasil sampai pada akar-akarnya, kalau saja para pejabat negara sendiri tidak setia pada janji dan sumpah mereka. Dengan itu, menjadi harapan kita bersama, bahwa para pejabat-pejabat negara yang baru-baru dipilih dan dilantik dapat bekerja sama dengan kepala negara. Semoga dengan sumpah saat dilantik, mereka bebas dari praktik korupsi sehingga dapat memimpin, melayani, mengarahkan, dan mengelola tanggung jawab dengan jelas.
 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya