Revenge Porn dan Victim Blaming: Rumitnya Penanganan KGBO di Indonesia
Perkembangan teknologi informasi telah memindahkan sebagian besar aktivitas manusia dari dunia nyata ke dunia digital, tidak terkecuali aktivitas kejahatan. Aktivitas kejahatan ini muncul dan bertambah kompleks seiring dengan semakin berkembang pesatnya internet. Salah satu jenis kejahatan yang ditunjang oleh teknologi informasi adalah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang salah satu bentuknya adalah revenge porn atau pornografi balas dendam.
Menurut laporan Komnas Perempuan dalam Catahu 2022, revenge porn masuk ke dalam 13 kategori Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG) dengan jumlah terbanyak sepanjang tahun 2021. Ada sebanyak 21 laporan kasus revenge porn yang diterima oleh Lembaga Layanan dan 81 laporan diterima oleh Komnas Perempuan. Seperti halnya bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender lainnya, angka tersebut hanyalah puncak dari gunung es karena tentu ada banyak kasus-kasus yang tidak dilaporkan dan menjadi dark number.
Secara harfiah, revenge porn adalah tindakan penyebaran konten-konten pornografi dengan motif balas dendam. Tindakan ini biasanya dilakukan oleh seseorang kepada mantan pasangannya dengan maksud untuk membalas dendam atas berakhirnya hubungan kedua orang tersebut. Umumnya pelaku menyebarkan konten tersebut ke publik agar korban merasa dipermalukan. Meskipun demikian, revenge porn tidak selalu dilandasi dengan motif balas dendam. Banyak kasus revenge porn yang dilandasi oleh motif-motif lain seperti pemerasan dan pemaksaan. Misalnya, seseorang memeras mantan kekasihnya agar memberinya sejumlah uang dengan ancaman ia akan menyebarkan foto atau video telanjang mantan kekasihnya tersebut apabila permintaannya tidak dituruti.
Revenge porn kerap disebut juga sebagai non-consensual pornography atau pornografi nonkonsensual karena pada dasarnya penyebaran konten-konten pornografi tersebut dilakukan tanpa persetujuan dari korban. Istilah non-consensual pornography juga dapat dipandang sebagai perluasan dari terminologi revenge porn karena pada kenyataannya pelaku kejahatan ini tidak hanya terbatas pada mantan kekasih seperti yang telah disinggung sebelumnya. Orang yang tidak kenal dengan korban pun dapat menjadi pelaku revenge porn dengan motif yang bermacam-macam.
Sebagai pihak yang dirugikan, korban revenge porn seharusnya mendapat perlindungan hukum dan pendampingan psikologis yang memadai. Namun, alih-alih mendapatkan perlindungan hukum, pada kenyataannya korban revenge porn justru kerap dipersalahkan atas penyebaran konten tersebut. Korban umumnya dipersalahkan karena telah memberikan konten tersebut kepada pelaku. Padahal, konten tersebut bisa saja diambil tanpa persetujuan dari korban dengan cara-cara ilegal seperti membobol ponsel atau penyimpanan korban. Sekalipun korban memberikan konten tersebut kepada pelaku dengan persetujuannya, bukan berarti pelaku dapat menyebarluaskan konten tersebut. Persetujuan yang diberikan korban hanya sebatas memberikannya kepada pelaku, bukan menyebarluaskannya ke orang lain atau bahkan ke publik.
Di dalam kajian viktimologi, fenomena menyalahkan korban revenge porn atas penyebaran konten pornografi nonkonsensual dikenal dengan istilah victim blaming. Victim blaming adalah tindakan menyalahkan korban atas kejahatan yang menimpanya. Mereka yang melakukan victim blaming beranggapan bahwa korban bertanggung jawab sebagian atau bahkan seluruhnya atas kejahatan yang menimpanya. Victim blaming biasanya dialami oleh korban kekerasan seksual, termasuk juga korban revenge porn. Sementara itu, pelaku victim blaming dapat berasal dari berbagai kalangan seperti pihak keluarga, media, publik, kepolisian, atau bahkan tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater.
Victim blaming dalam kasus revenge porn juga berkaitan erat dengan konsep secondary victimization atau viktimisasi sekunder. Viktimisasi sekunder dalam kasus revenge porn menggambarkan kondisi ketika korban revenge porn kembali menjadi korban untuk kedua kalinya karena stigma negatif yang berasal dari berbagai pihak. Di dalam suatu kasus revenge porn, korban bisa saja menjadi ‘korban’ selama berkali-kali. Pertama, ketika konten tersebar, korban kerap mendapat komentar negatif mulai dari yang bernada menghina hingga melecehkan. Kedua, keluarga korban umumnya akan menyalahkan korban atas tersebarnya konten tersebut yang jelas-jelas di luar kehendak korban. Ketiga, ketika korban melaporkan kasusnya ke pihak berwajib, korban akan dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan korban. Bahkan, dalam beberapa kasus, korban revenge porn justru ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Keempat, ketika korban berusaha untuk memulihkan psikologisnya, tak jarang tenaga profesional seperti psikolog juga turut menyematkan stigma negatif kepada korban. Hal-hal demikianlah yang membuat korban revenge porn pada umumnya enggan melaporkan kasusnya dan enggan mencari pertolongan profesional untuk memulihkan psikologisnya. Padahal, korban revenge porn berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan pendampingan psikologis yang memadai.
Salah satu kasus revenge porn fenomenal yang pernah terjadi di tanah air adalah kasus video syur Gisella Anastasia dan Michael Yokinobu Defretes (Nobu) yang terjadi pada 2020 silam. Gisel dan Nobu dalam kasus ini adalah korban dari non-consensual pornography yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Namun, bukannya mendapatkan perlindungan hukum, keduanya justru dijadikan tersangka atas dugaan pelanggaran UU Pornografi. Tidak berhenti sampai di situ, Gisel dan Nobu juga mendapat banyak komentar miring dari publik yang menyalahkan keduanya atas tersebarnya video tersebut. Kasus Gisel tersebut menjadi gambaran akan betapa buruknya penanganan kasus KBGO di Indonesia.
Indonesia memang tidak memiliki ketentuan khusus yang mengatur mengenai porn revenge. Namun, setidaknya ada tiga undang-undang yang dapat digunakan untuk menanganinya, yaitu UU Pornografi, UU ITE, dan UU TPKS. Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE memuat mengenai larangan penyebaran konten dengan muatan yang melanggar kesusilaan dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun dan/atau denda satu miliar rupiah. Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 29 UU Pornografi memuat tentang larangan menyebarluaskan konten pornografi dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun dan/atau denda enam miliar rupiah. Sementara itu, Pasal 14 ayat (1) UU TPKS memuat mengenai larangan perekaman dan/atau pengambilan gambar tanpa persetujuan dengan ancaman hukuman maksimal empat tahun dan/atau denda 400 juta rupiah.
Dengan adanya ketiga undang-undang tersebut, khususnya UU TPKS, penanganan kasus revenge porn di Indonesia seharusnya dapat dilakukan dengan lebih baik dan berperspektif korban. Namun, regulasi saja tentu tidak cukup jika tidak diiringi dengan penanganan hukum yang baik. Dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak dalam menangani kasus revenge porn serta menyediakan ruang aman bagi korban agar korban tidak mengalami secondary victimization yang dapat memperburuk kondisi psikologis korban.
Bagi pihak penegak hukum maupun tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater, penanganan korban revenge porn haruslah memiliki standarnya tersendiri dengan bertumpu pada perspektif korban. Di dalam kasus revenge porn, korbanlah yang seharusnya difokuskan untuk mendapatkan perlindungan hukum dan pertolongan psikologis. Bagi media, empati adalah hal yang harus diutamakan. Kasus revenge porn tidak seharusnya dimuat dengan narasi-narasi yang menyudutkan atau bahkan menyalahkan korban atas kejahatan yang menimpanya. Ketika seseorang mengalami revenge porn, hanya ruang amanlah yang dibutuhkan olehnya dan ruang aman ini dapat tercipta jika semua pihak dapat mengedepankan empati dalam menanganinya.
Artikel Lainnya
-
242731/07/2020
-
157606/11/2019
-
104531/05/2022
-
Perihal Azan dan Penghormatan Kita Terhadapnya
107626/02/2022 -
Jurnalisme Berperspektif Gender
135319/11/2021 -
Broken Home dan Kesehatan Mental Anak
338229/10/2023