Perempuan, Logika Patriarki dan Ruang Global

Perempuan, Logika Patriarki dan Ruang Global 18/03/2020 2955 view Budaya Pixabay.com

Keberadaan perempuan sejauh ini masih dibayangi kendali logika patriarki. Kondisi demikian mengakibatkan perempuan mudah mengalami diskriminasi dalam kelompok sosial. Belum lagi eksistensi perempuan dalam ruang politik, sebetulnya mereka tidak diakomodir secara pasti dan tepat.

Hal ini menjadi persoalan serius tatkala regulasi yang menaungi eksistensi perempuan berjalan morat-marit tanpa kepastian hukum yang jelas. Sehingga perempuan sedikit bahkan hampir tidak mendapatkan akses dalam pemenuhan dari perlindungan hukum. Persoalan ini akhirnya berimbas pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan di tempat-tempat umum juga menyeruak dan marak terjadi. Sementara penindasan demi penindasan semacam itu telah melukai bahkan merenggut eksistensi mereka dalam ruang di mana seharusnya mereka disetarakan.

Dalam masyarakat modern, perkembangan perilaku setiap kelompok (laki-laki dan perempuan) akan mengikuti perkembangan dan dinamika perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar. Di tempat-tempat umum misalnya, kita seringkali melihat sebagian perempuan merokok sama seperti laki-laki. Hal ini harus diakui sebagai bentuk perubahan perilaku yang mana mesti diterima sebagai sebuah kesetaraan dalam mengekspresikan gaya hidup (life style).

Namun kondisi seperti ini malah melahirkan persoalan baru, bahkan mengalami penolakan dari masyarakat yang masih menggenggam nilai budaya. Dalam konteks ini, perempuan sebetulnya dihadapkan dengan budaya masyarakat yang secara pasti akan membatasi perilaku mereka dalam hal merokok.

Logika patriarki dengan mudah mendapatkan tempat paling nyaman dalam membatasi gaya hidup perempuan. Anehnya, ruang global dimana semua pihak disetarakan tidak dipahami dalam rangka perubahan modernisasi namun menjadikan logika patriarki sebagai tameng yang menggerus eksistensi perempuan di dalam ruang global tersebut.

Di sinilah justru persoalan menjadi lebih terang dan mengesampingkan eksistensi perempuan dalam menikmati perubahan modern. Dalam situasi demikian, stigma masyarakat terhadap perempuan yang merokok akan dengan mudah dianggap sebagai manusia yang melanggar nilai budaya dan harus dikucilkan. Persoalan ini hampir pasti telah menempatkan perempuan sebagai objek dari nilai budaya yang dapat dengan mudah membatasi perilaku mereka. Justru eksistensi perempuan sebagai manusia mengalami penindasan di bawah logika patriarki yang sama sekali buram dan tidak tepat.

Stigma Masyarakat

Dalam banyak kasus, persoalan yang berkaitan dan bersinggungan dengan eksistensi perempuan sama sekali absen dari perhatian semua pihak. Di satu sisi perubahan modern akan memengaruhi perilaku setiap individu, namun di sisi lain justru perubahan modern hampir pasti mengesampingkan eksistensi dan hak-hak dasar dari perempuan.

Kelompok perempuan dilarang merokok, merupakan bentuk nyata dari kekerasan simbolik yang menempatkan hanya laki-laki yang boleh merokok. Sementara perempuan dilarang keras bahkan distigma sebagai individu yang berdosa, tidak berbudaya dan patut dikucilkan.

Perempuan di bawah tekanan masyarakat yang konservatif dengan di satu sisi menguatnya budaya patriarki justru menempatkan perempuan tidak lebih sebagai manusia yang harus dikendalikan di bawah kepentingan sepihak kaum laki-laki.

Merujuk pada pemikiran Piere Bourdieu, dominasi maskulin semakin nampak dalam hal menundukan perempuan. Pihak laki-laki dengan sikap arogan justru semakin membawa diri ke tengah masyarakat sebagai kelompok yang paling kuat dan pantas menundukan perempuan. Di sana sebetulnya keinginan mendominasi terhadap perempuan sekaligus menempatkan perempuan sebagai kelas nomor dua semakin nampak dan tak terelakan.

Pada aras ini sebetulnya ketika kelompok perempuan melakukan upaya perlawanan terhadap bentuk penindasan semacam itu, di sana stigmatisasi terhadap perempuan sebagai kelompok pembangkang semakin menguat bahkan terus digencar oleh kelompok laki-laki.

Perempuan dalam kondisi seperti ini akan dengan mudah dianggap dan ditempatkan sebagai kelompok yang tidak taat budaya dan merusak keadaban masyarakat. Sebetulnya logika dan stigmatisasi semacam ini telah menempatkan perempuan sebagai kelompok yang harus menerima keadaan. Di sana sebetulnya perempuan akan sulit mendobrak tatanan masyarakat yang masih dibelenggu dengan budaya patriarki.

Merokok bagi perempuan sebagai bentuk pengaruh modern malah dianggap sebagai bentuk lain yang merujuk pada keburukan. Sementara di satu sisi laki-laki merokok dianggap sebagai hal biasa dan tidak disalahkan sebagai bentuk perlawanan nilai budaya. Mirisnya, ketika perilaku merokok dianggap tabu bagi perempuan dan hal biasa pada laki-laki, dominasi dan kekuasaan sepihak laki-laki tidak disalahkan ketika merokok di hadapan perempuan.

Di satu sisi kita melarang perempuan merokok, namun di sisi lain kita memperlakukan mereka sebagai perokok pasif di tempat umum. Sementara perokok pasif sangat berbahaya dan mengganggu kesehatan dibanding perokok aktif.

Hal ini dalam masyarakat modern saat ini tidak pernah didiskusikan sebagai sebuah masalah. Semua pihak mengganggap bahwa ini merupakan persoalan sepele, justru persoalan semacam ini membawa ekses yang jauh lebih berbahaya. Kekerasan simbolik yang tidak kasat mata namun pengaruhnya sangat berbahaya jika tidak disikapi secara serius akan membawa dampak yang jauh lebih buruk terutama terhadap eksistensi perempuan. Stigma terhadap perempuan akan terus melekat selama budaya patriarki menguat dan tidak pernah dipatahkan dalam lingkungan masyarakat.

Melampaui Logika Patriarki

Dalam kondisi tertekan dengan segala macam stigma masyarakat, sebetulnya perempuan harus diberikan ruang yang sama dengan kelompok laki-laki. Dalam ruang modern, semua pihak harus diakomodir dan ditempatkan dalam derajat yang sama.

Dominasi maskulin merupakan bentuk nyata arogansi kelompok laki-laki dalam mengutamakan haknya ketimbang memperhatikan hak dasar perempuan. Persoalan ini terus diperluas bahkan tidak pernah berakhir tatkala logika patriarki mulai menyasar dalam lingkungan masyarakat. Pada gilirannya, perempuan akan mudah dikendalikan di bawah kepentingan maskulin.

Untuk itu, dalam masyarakat modern saat ini perempuan harus bisa melampaui budaya patriarki yang selama ini terus mengendap dalam tubuh masyarakat. Minimnya pemahaman masyarakat serta kesadaran dalam menempatkan perempuan dalam ruang yang sama merupakan titik pangkal yang dapat menggerus eksistensi perempuan.

Bagi saya, kondisi semacam ini harus dimulai dari kesadaran bersama sekaligus upaya perempuan untuk melampaui budaya patriarki. Budaya semacam ini sangat tidak relevan dengan konteks perkembangan modern. Semua pihak yang terinklusi dalam ruang global tidak boleh disekat dengan logika sepihak (patriarki). Biarkan semua menikmati iklim modernisasi sebagai bentuk eksistensi diri.

Pada akhirnya, selama kita terus-terusan menempatkan perempuan dalam logika patriarki selama itu pula peradaban perempuan akan mati. Kita tidak bisa hanya memahami peradaban manusia melalui satu kelompok namun perempuan punya peran kunci dalam mengusahakan terbentuknya peradaban.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya