Sufisme Rumi dalam Cinta Ibrahim Assegaf dan Najwa Shihab

Mahasiswi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel
Sufisme Rumi dalam Cinta Ibrahim Assegaf dan Najwa Shihab 03/06/2025 84 view Lainnya tribunnewsmaker.com

28 tahun berlalu sedari pernikahan mereka pada 1997, Ibrahim Assegaf pamit dari layar kaca cinta Najwa dan Izzat, untuk dapat memulai perjalanan barunya bersama putri mereka, Namiyah di akhirat. Hujan mengantarkan perpisahan Ibrahim Assegaf dengan dunia, dan Najwa dengan dunianya. Ibrahim Assegaf meninggalkan junior nomor satu yang berkomitmen sepanjang hidup bersamanya, Najwa Shihab ditinggalkan oleh senior hukum nomor satu yang tersusun dalam terima kasih pada lembar skripsinya. Dua mahasiswa telah sama-sama dipisahkan oleh maut.

Cinta keduanya di kenal sejalan dengan tenar Najwa dalam acara gagasannya. Meskipun kerap kali mangkir dari layar kaca, Ibrahim Assegaf tetap hadir melalui obrolan mengenai dirinya lewat Najwa. Pada acara bincang di televisi, ketika memutuskan hadir menjadi tamu kejutan untuk istrinya, Ibrahim merangkai perjalanan mereka dengan satu kata: santai. Lebih dari sekadar santai, Najwa menilai satu kata dari pernikahan mereka adalah indah. Sejak dikenal dan bersedia di wawancara dalam hal pribadi, Najwa Shihab selalu mengakui betapa indah menjadi istri seorang Ibrahim Assegaf. Cintanya bukan hanya menemani, namun saya kira lebih memaksa Nana untuk bertumbuh. Menjadi perempuan yang bergerak berdampak, bagi orang banyak.

Mari masukkan dua sejoli ini pada spektrum pemikiran sufisme Rumi. Menurut Rumi, meskipun cinta antar manusia dimulai dari ketertarikan fisik atau emosional, Rumi mendorong para pecinta untuk melampaui batasan-batasan ini. Cinta sejati harus melihat lebih dalam, menuju esensi spiritual atau ilahi dalam diri kekasih. Jika cinta hanya terbatas pada bentuk fisik atau kepentingan duniawi, itu dianggap sebagai "cinta metaforis" (ishq majazi) yang belum mencapai kematangan penuh. Ishq majazi (cinta manusiawi) dapat menjadi jembatan menuju ishq haqiqi yang merupakan cinta sejati. Melalui pengalaman cinta dengan sesama manusia, seseorang bisa belajar tentang pengorbanan, kerinduan, keindahan, dan penyerahan diri, yang semuanya adalah pelajaran penting dalam perjalanan menuju Tuhan. Rumi berpendapat bahwa mencintai makhluk adalah salah satu cara untuk mencintai Sang Pencipta, karena setiap makhluk adalah bagian manifestasi-Nya.

Kata, pengorbanan, kerinduan, keindahan, dan penyerahan diri telah Najwa Shihab lakukan dalam perjalanan cintanya bersama sang suami. Suatu kesatuan sufistik yang telah menjelma dalam diri seorang Najwa. Kata-kata puitisnya yang berima, telah memampukan Najwa dalam menjamu Ibrahim dalam pernikahan yang penuh hormat dan cinta. Meski dalam perspektif Ibrahim, Najwa dinilai cukup biasa dalam itu. Pengorbanan karier jurnalistiknya, kerap dikompromi oleh sang suami. Perjalanan karier jurnalis sedari magang reporter, kompromi bom Bali dan liputan Irak saat masih harus berdekatan dengan sang anak, hingga mengemban acara Mata Najwa adalah “pengorbanan” cinta yang besar.

Kerinduan Najwa yang gamblang mengenai Namiyah, telah menyita banyak cinta dalam kehidupan pernikahan mereka. Meskipun bagi Namiyah, Najwa tetap menjadi ibu sepenuh waktu. Mami yang metafisik melawan dimensi duniawi untuk mengulurkan jiwanya pada Namiyah.

Terakhir, berbicara penyerahan diri sama dengan bicara kesetaraan dalam hubungan Baim dan Nana yang luar biasa. Bila sorot dunia sibuk menggarisbawahi kesetaraan dalam dikotomi peran rumah tangga mereka, penyerahan diri terhadap Ilahi telah dilakukan oleh keduanya. Menyerahkan tambatan hati mereka Namiyah, untuk bisa terbang tinggi mencapai surga di usia dininya, lalu menyerahkan jiwa dan raga Izzat putra mereka saat menuntut ilmu di negeri yang amat jauh. Kini, Najwa Shihab kembali diminta menyerahkan diri. Menerbangkan sang pujaan hati. Ibrahim Assegaf telah pergi, kehadirat Allah yang benar-benar abadi.

Rumi hadir memenuhi ruang cinta mereka. Sufisme rasa-rasanya sudah menjelma menjadi pengabdian keduanya. Dan kecintaannya pada satu sama lain, telah membentuk entitas cinta yang lebih agung dan luhur. Cinta yang tidak berlandaskan dunia, cinta yang diperbudak oleh ketaatan. Najwa hadir di ranah jurnalistik, Ibrahim tampil di ranah hukum. Sejatinya Ibrahim dan Najwa sama-sama berada dalam mihrab cinta.

Sesederhana itu cinta Ibrahim dan Najwa. Mengutip pendapat penyair Joko Pinurbo, bahwa mencintai dengan sederhana itu adalah cara yang paling tidak sederhana. Cinta Najwa terhadap Ibrahim terlalu berani untuk direpresi. Terlalu sederhana hingga tak kuasa untuk disederhanakan lagi

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya