Pemutakhiran DTKS Sebagai Katalisator Pengentasan Kemiskinan

penulis lepas
Pemutakhiran DTKS Sebagai Katalisator Pengentasan Kemiskinan 08/03/2022 688 view Ekonomi pixabay

Mungkin tidak pernah ada habisnya membicarakan kondisi kemiskinan di Indonesia. Apalagi jika membicarakan kondisi kemiskinan bersamaan dengan mewabahnya virus corona (Covid-19) di tanah air. Tidak main-main, Covid-19 tidak hanya menyerang kondisi kesehatan namun berdampak terhadap menurunnya performa perekonomian di hampir seluruh negara termasuk juga Indonesia.

Penurunan perekonomian yang dialami Indonesia pada awal masa pandemi Covid-19, telah tercermin secara nyata dengan adanya lonjakan persentase penduduk miskin di tahun 2020 yang lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada bulan Maret 2020 perentase penduduk miskin telah meningkat menjadi 9,78 persen dari total penduduk miskin pada September 2019 yang lalu. Terjadi pertambahan penduduk miskin sekitar 1,63 juta jiwa. Selanjutnya pada September 2020, jumlah penduduk miskin kembali meningkat sebesar 10,19 persen. Peningkatan persentase penduduk miskin tersebut menjelaskan bahwa dalam kurun waktu enam bulan, sejak Maret ke April telah terjadi pertambahan penduduk miskin sekitar 1,13 juta orang di Indonesia.

Seperti yang kita ketahui bahwa sejak Covid-19 mewabah di tanah air, kondisi kesehatan masyarakat telah terancam dan terganggu oleh karena kehadirannya.  Di samping itu, kondisi perekonomian nasional juga merasakan dampak buruk dan gangguan atas mewabahnya Covid-19 di tanah air. Perekonomian Indonesia yang mengalami gangguan mendorong pemerintah untuk melakukan manuver terhadap kebijakan fiskal dan menyusun beberapa program-program kebijakan lain. Tidak main-main, di tengah situasi kondisi pandemi Covid-19 pemerintah menggenjot program bantuan sosial (bansos). Sebelum menghadapi masa pandemi, program bansos yang digelontorkan oleh pemerintah adalah Program Sembako, Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Indonesia Pintar (PIP). Pada masa pandemi pemerintah melakukan kebijakan mitigasi dampak Covid-19 dengan melakukan upgrade program-program bansos tersebut melalui perluasan-perluasan manfaat program sembako dan PKH, di samping itu pemerintah juga melakukan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) Dana Desa.

Melihat program kebijakan mitigasi dampak Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah, maka tidak seharusnya terjadi lonjakan penduduk miskin pada tahun 2020 yang lalu. Oleh karena itu muncul pertanyaan, apa yang menyebabkan hal itu dapat terjadi? Jika program bansos telah digelontorkan, mengapa efek yang diberikan kurang berdampak nyata? Jika menalaah lebih jauh maka salah satu penyebab terjadinya konfrontasi tersebut adalah karena ketidaksiapan dari pemerintah dalam menjalankan bansos dan bantuan mitigasi Covid-19. Pemerintah mungkin sudah siap dalam menyediakan dana bansos, tetapi pemerintah tidak cukup siap dalam menentukan tindakan teknis untuk mengetahui siapa saja orang yang berhak menerima bansos tersebut.

Pemerintah seperti mengalami situasi kebingungan pada saat itu, di mana pada saat program bansos dan mitigasi dampak Covid-19 akan dijalankan tetapi di saat bersamaan pemerintah tidak memiliki keterbaruan data perlindungan sosial, di mana data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang dikelola oleh kementerian sosial belum mengalami pemutakhiran. Efek dari ketidakmutakhiran DTKS tersebut tentu menjadi faktor pemicu yang menyebabkan terjadinya inefisiensi penyaluran bansos di awal masa pandemi Covid-19, dan terbukti pada tahun 2020 jumlah penduduk miskin melesat peningkatannya. Tidak mutakhirnya DTKS tersebut menunjukkan pemerintah melakukan blunder atau kelalaian dalam menjalankan program bansos kali itu, sehingga pada saat program bansos dijalankan sangat memungkinkan terjadi salah sasaran, keterlambatan penyaluran dan penerimaan dari bansos tersebut.

Posisi pemerintah pada awal pandemi kala itu seperti melupakan pepatah “sedia payung sebelum hujan”. Pemerintah luput untuk melaksanakan pemutakhiran data terpadu DTKS secara berkala. Kelalaian berupa inkonsistensi dalam melakukan pemutakhiran berkala data DTKS menjadi pemicu lambannya penanganan penduduk miskin di Indonesia. Kesilapan tersebut tidak sepenuhnya menjadi kesalahan pemerintah pusat, dalam hal ini pemerintah daerah, baik pemerintah kabupaten/kota dan provinsi adalah pihak pertama yang juga bertanggung jawab atas kelalaian tersebut.

Berdasarkan UU No.13 Tahun 2011 diuraikan secara jelas bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota adalah pihak yang memiliki jobdesk untuk menangani kemiskinan melalui pemutakhiran DTKS secara berkala. Tetapi hasil temuan di lapangan dalam pengaplikasian amanat UU No.13/2011 tersebut sungguh sangat mengecewakan. Menurut Kementerian Sosial hanya 50 kabupaten/kota yang melakukan pemutakhiran DTKS dengan respon rates di atas 50 persen. Jadi tidak heran apabila pada awal masa pandemi Covid-19 di Indonesia kemiskinan malah meningkat meskipun pemerintah pusat telah melakukan mitigasi dampak Covid-19.

Atas kondisi tersebut maka keseriusan pemerintah, khsusunya pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan menjadi dipertanyakan. Bagaimana mungkin suatu pemerintah daerah dapat dengan tepat menanggulangi kemisikinan dan menyusun kebijakan pengantasan kemiskinan, jika informasi tentang penduduk yang ingin disejahterakan datanya tidak valid dan tidak reliable.

Pemerintah/stakeholder seharusnya menyadari bahwa data terpadu adalah pondasi awal yang harus diperhatikan dalam upaya mempercepat penangan kemiskinan. Ketika data terpadu tersebut sudah terbarukan maka akan mempersempit terjadinya kesalahan dalam menentukan target sasaran atau penerima berbagai program bansos. Jika saja seluruh pemerintah daerah benar-benar melakukan pemutakhiran dan pengintegrasian data terpadu dengan benar, maka aliran dana mitigasi Covid-19 yang dikucurkan oleh pemerintah pusat untuk masyarakat miskin tentu akan cepat tersalurkan dan diterima oleh orang yang tepat.

Saat ini, kondisi perekonomian Indonesia sudah mengarah ke arah yang positif, dan jumlah penduduk miskin mengalami penurunan per September 2021 yang lalu menjadi 9,71 persen (BPS). Momen yang kurang baik pada tahun 2020 yang lalu sebaiknya dijadikan pemerintah pusat dan daerah sebagai momentum untuk memperbaiki ketepatan data. Pemutakhiran DTKS yang berkesinambungan sangat penting untuk dilakukan, karena dengan melakukan pemutakhiran DTKS secara kontinyu menunjukkan keseriusan dan tindakan nyata yang dapat dibuktikan pemerintah dalam melakukan reformasi sistem perlindungan sosial dan percepatan penangan kemisikinan di Indonesia. Pengelolaan DTKS merupakan kewenangan pemerintah baik pemerintah kabupaten/kota, provinsi hingga pusat. Oleh karena itu, pada setiap level pemerintahan sangat diharapkan untuk dapat berkomitmen penuh dalam mengelola dan memutakhirkan DTKS sesuai dengan wilayah kerjanya, sesuai dengan amanat UU No.23 Tahun 2014 terkait pengelolaan data penduduk miskin.

Beberapa alternatif strategi kebijakan yang mungkin dapat ditempuh pemerintah agar dapat menjalankan progam pengentasan kemiskinan di Indonesia dengan baik, dapat dilakukan dengan cara, pertama, pemerintah pusat perlu mendorong pemerintah daerah untuk melakukan pemutahiran DTKS secara berkelanjutan dan menjelaskan bahwa keberadaan DTKS yang berkualitas dan up to date menjadi jembatan yang dapat menjangkau masyarakat miskin untuk memperoleh bantuan sosial dari pemerintah pusat sehingga masyarakat miskin di daerah dapat merasakan secara nyata bantuan pemerintah.

Kedua, pemerintah pusat perlu menyusun suatu pedoman teknis tentang mekanisme pemutakhiran DTKS dan dilakukan pemantauan terhadap proses pemutahiran DTKS. Pedoman tersebut sebaiknya juga menegaskan bahwa cakupan pemutahiran dalam satu periode pemutahiran mencakup seluruh rumah tangga miskin pada periode sebelumnya tetapi perlu dikonfirmasi kondisi ekonomi rumah tangga miskin tersebut pada saat pemutahiran dilakukan apakah masih miskin atau ekonominya sudah meningkat.

Ketiga, pemerintah daerah kabupaten/kota sebaiknya juga membentuk tim khusus di bawah dinas sosial yang secara khusus melaksanakan pemutakhiran dan pengelolaan DTKS dengan memperhatikan kualitas SDM yang tentunya memadai.

Keempat, pemerintah kabupaten/kota sebaiknya juga melibatkan lembaga atau instansi yang kompeten dalam pendataan berskala besar sebagai nara sumber atau rujukan dalam melakukan kegiatan pemutakhiran DTKS, seperti Badan Pusat Statistik di masing-masing kabupaten atau kota.

Kelima, pemerintah kabupaten/kota juga sebaiknya melakukan koordinasi dengan membentuk FGD bersama kelurahan, desa, hingga lembaga terkecil seperti RT, RW ataupun Kepala Lingkungan bila mana diperlukan informasi yang lebih spesifik dalam memutakhirkan kondisi data warga miskin.

Keenam, memastikan ketersediaan anggaran yang memadai, oleh karena itu perlu adanya kontribusi dari pemerintah pusat dan provinsi untuk mengalokasikan anggaran secara proporsional guna mendukung pemutakhiran DTKS oleh pemerintah kabupaten/kota.

Secara keseluruhan, dalam menciptakan DTKS yang baik guna mengentaskan penduduk miskin di Indonesia diperlukan kontribusi dari masing-masing level lembaga pemerintahan, baik dari pusat hingga kabupaten/kota. Di samping itu masing-masing pemerintah harus menaruh perhatian yang khusus terhadap DTKS agar program pemutakhiran data tersebut dapat berjalan dengan baik sehingga dihasilkan output yang baik dan masyarakat dapat merasakan kehadiran pemerintah melalui bantuan yang diterima oleh masyarakat.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya