Implikasi Filsafat Kritisisme dalam Penerimaan Berita

Implikasi Filsafat Kritisisme dalam Penerimaan Berita 11/12/2023 704 view Lainnya images.app.goo.gl

Perkembangan teknologi saat ini membuat masyarakat sangat mudah menerima berita dari media manapun. Sering kali masyarakat belum mampu memilah dan memilih mana berita yang kadar kebenarannya penuh, kurang, atau bahkan tidak mengandung kadar kebenaran.

Gambaran umum sosial masyarakat Indonesia dalam menerima suatu kabar berita mengandung dua kemungkinan, yakni berita benar atau berita dusta. Sehingga, pada akhirnya masyarakat tidak mendapatkan berita atau informasi yang mutlak benar terjadi.

Dewasa ini penggunaan teknologi (lebih tepatnya gadget) menghasilkan koneksi masyarakat satu sama lain yang cenderung sering mengesampingkan nilai-nilai moral dan etika dalam berkomunikasi dan menyebarkan informasi di media sosial. Lambat laun terbukanya informasi yang sangat luas bagi masyarakat ternyata dapat menghadirkan persoalan baru.

Generasi saat ini menganggap gadget suatu benda terpenting yang harus dibawa kemanapun mereka pergi, ini yang membuat kebanyakan masyarakat memiliki jiwa individualis. Para pelajarpun memiliki moral yang semakin berkurang akibat dari pesatnya perkembangan teknologi yang tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas budi pekerti pelajar.

Adanya perkembangan yang sangat pesat ini dalam kehidupan bersosial memiliki pengaruh besar. Kemenkominfo, merilis data melalui situs resminya bahwa hingga pertengahan 2020 terdapat lebih dari 800.000 situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar hoaks dan berita palsu.

Pola pikir kritisme mungkin bisa kita pelajari dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari, agar kita mampu menjadi manusia yang bersosial dengan baik dan bijak.

Kritisme ini tak terlepas dari pemikiran rasionalisme dan pemikiran empirialisme, yang mana rasionalisme adalah filsafat yang beranggapan bahwa kebenaran dapat kita peroleh dari hasil pembuktian dengan menggunakan akal untuk menangkap suatu pengetahuan, sedangkan empirialisme beranggapan bahwa fakta bisa didapat melalui pengalaman.

Pola pikir kritisisme dikemukakan oleh Immanuel Kant, seorang filsuf yang memiliki pengaruh paling besar dalam 500 tahun terakhir. Manusia sederhana dari Konisberg ibu kota provinsi Prussia Timur (sejak sesudah perang dunia II masuk ke dalam wilayah Uni Soviet dan diganti namanya menjadi Kaliningrad), yang hidup dari tahun 1724-1804 M. Ayahnya adalah seorang pembuat pelana kuda, sedangkan ibunya yang memang rendah dalam pendidikan formal namun memiliki kecerdasan yang amat luar biasa. Kant dibesarkan dalam suasana Pietist yang ketat, sejak usia delapan tahun hingga enam belas tahun ia belajar di sekolah Pietist lokal.

Filsafat Kant lahir dalam perdebatan dua pandangan besar pada saat itu, yakni rasionalisme dan empirisme. Kant berpendapat bahwa rasionalisme dan empirisme harus digabungkan yang bertujuan agar tidak berat sebelah.

Pada abad ke 18 terjadi pertentangan antara aliran rasionalisme dan aliran empirisme yang berkelanjutan di Jerman. Hingga timbul masalah, siapa sebenarnya yang dikatakan sebagai sumber pengetahuan? Apakah pengetahuan yang benar itu dari rasio atau empiris? Menurut Kant, walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal (rasionalisme) tetapi adanya pengertian timbul dari benda (empirisme). Ibarat burung terbang harus mempunyai sayap (rasio) dan udara (empiris).

Empirisme memberikan kepada kita putusan-putusan yang sintetis. Jadi tidak mungkin empirisme memberi pengetahuan yang bersifat umum dan perlu mutlak. Sebaliknya rasionalisme memberikan kepada kita putusan-putusan yang analitis, Jadi tidak mungkin memberi pengetahuan yang baru. Demikianlah baik empirisme maupun rasionalisme tidak memenuhi syarat syarat yang dituntut ilmu pengetahuan.

Jadi, metode berpikir Kant disebut sebagai metode kritis. Kritisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha yang mampu mendamaikan rasionalisme dan empirisme.

Walaupun Ia mendasarkan diri pada nilai yang tinggi dari akal, tetapi Ia tidak mengingkari adanya persoalan-persoalan yang melampaui akal. Sehingga akal mengenal batas-batasnya karena itu aspek irrasionalitas dari kehidupan dapat diterima kenyataannya.

Secara harfiah kata kritik berarti “pemisahan”. Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan tidak murni, yang tiada kepastiannya. Dalam filsafat kritisme, Kant menganggap bahwa pengalaman dan akal manusia sama-sama dapat digunakan dalam mencapai pengetahuan manusia.

Kant membagi tahapan pencapaian pengetahuan manusia menjadi tingkatan, yaitu, pertama, tahap pencapaian inderawi yaitu tahap yang dapat dicapai oleh manusia hanyalah fenomenanya atau gejala yang tampak saja, yang tak lain adalah sintesis dari unsur-unsur yang datang dari luar sebagai materi dengan bentuk a priori ruang dan waktu dalam struktur pemikiran manusia.

Kedua, tahap akal budi, yang tugasnya adalah menyusun dan menghubungkan data data inderawi. Dalam hal ini akal budi manusia bekerja dengan bantuan daya fantasinya. Pengetahuan akal budi baru bisa diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi dengan bentuk-bentuk a priori.

Ketiga, tahap tahap rasio/tahap intelek yaitu kemampuan asasi yang menciptakan pengertian-pengertian umum dan mutlak.

Dari apa yang telah tertulis di atas, penting bagi kita untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis yang kuat. Dengan kemampuan berpikir kritis kita dapat menganalisis, mengevaluasi, dan mengintepretasikan berita atau informasi dengan berhati-hati sebelum menerimanya sebagai kebenaran.

Selain itu, kita dapat melindungi diri sendiri dan orang lain dari penyebaran hoaks yang merugikan. Dalam era digital yang didominasi oleh media sosial, penyebaran hoaks telah menjadi masalah yang signifikan. Pemilik situs yang menyebarkan berita hoaks akan memiliki keuntungan yang sangat besar jika banyak yang mengakses berita tersebut. Hoaks dapat menimbulkan rasa takut, memecah belah, dan merusak kepercayaan pada sumber informasi yang dapat dipercaya.

Ketika pernyataan dianggap benar tentu saja adalah pernyataan yang konsisten dengan berita lain yang sudah terbukti sebelumnya sebagai berita yang benar. Berdasarkan asas kemanfaatan, boleh bagi kita untuk membagikan berita yang telah diasumsikan akan bermanfaat bagi orang lain, tentu dengan catatan bahwa berita tersebut telah teruji kebenarannya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya