Lindungi Anak dari Eksploitasi Seksual
Anak-anak adalah masa depan bangsa. Melindungi mereka sama dengan melindungi keberlangsungan bangsa ini. Untuk itu, mereka harus mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Mereka juga harus terhindar dari ancaman, ketakutan, dan eksploitasi. Upaya untuk mewujudkan kesejahteraan dan menjamin terpenuhinya hak-hak mereka merupakan suatu keniscayaan.
Press Release Komisi Perlindungan Anak (KPAI) pada tanggal 6 Mei 2021 menyebutkan bahwa sejak bulan Januari sd April 2021 angka Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan eksploitasi anak belum menunjukkan penurunan. Dari 35 kasus yang dimonitor KPAI, 83 persen merupakan kasus prostitusi, 11 persen eksploitasi ekonomi, dan 6 persen perdagangan anak. Dari kasus-kasus tersebut, jumlah korban mencapai 234 anak.
Sederet kasus yang terjadi sepanjang tahun ini menunjukkan bahwa anak rentan menjadi korban eksploitasi, khususnya eksploitasi seksual. Salah satu kasus yang cukup menghebohkan melibatkan artis Cynthiara Alona pada bulan Maret yang lalu. Hasil penggerebekan Polda Metro Jaya menunjukkan bahwa hotel miliknya (Hotel Alona) telah menjadi tempat prostitusi Pekerja Seks Komersial (PSK) di bawah umur.
Para korban dalam kasus ini ditawarkan oleh muncikari (DA) melalui media sosial Michat. Artis tersebut (CA), akhirnya didakwa dengan Pasal 76I jo Pasal 88 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diancam maksimal 10 tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp200 juta.
Praktik anak yang dilacurkan merupakan salah satu bentuk Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA), yaitu pemanfaatan anak untuk tujuan seksual dengan kompensasi berupa imbalan tunai/bentuk lainnya oleh pembeli jasa seksual, perantara/agen dan pihak lainnya yang memperoleh keuntungan dari kegiatan ini. Anak, dalam fenomena ESKA, pada dasarnya tidak mampu membuat keputusan untuk memilih prostitusi sebagai profesinya.
Selanjutnya, dalam penjelasan UU 35/2014 telah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “dieksploitasi secara seksual” adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari anak untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan. Adapun unsur tindak pidana dalam pasal ini adalah menempatkan, membiarkan melakukan, menyuruh, melakukan, dan turut serta melakukan.
Mengapa anak rentan menjadi korban eksploitasi seksual? Menurut UU 35/2014, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Karena itu anak cenderung mudah dipengaruhi dan emosional dalam mengambil keputusan. Kondisi ketika anak-anak terpaksa belajar via daring selama pandemi berlangsung juga menyebabkan mereka rentan menjadi korban.
Alasan lainnya, saat ini modus eksploitasi seksual anak dengan iming-iming yang menggiurkan terus berkembang di media sosial seiring dengan meningkatnya akses anak terhadap internet. Adakalanya, faktor ekonomi juga menjadi penyebab. Seorang anak dijadikan Pekerja Seks Komersial (PSK) untuk memenuhi kebutuhan hidup atau karena menutupi utang yang melilit keluarganya. Karena tak mampu berbuat apa-apa, akhirnya anak menjadi korban keadaan.
Di sisi lain, budaya yang konsumtif juga dapat pula memengaruhi anak. Meskipun berasal dari keluarga mampu, seorang anak dapat pula mengalami eksploitasi seksual lantaran gagal membendung keinginannya atas beragam kebutuhan. Akhirnya, ketika tawaran menggiurkan datang, anak pun terseret arus dan dieksploitasi.
Kondisi ini perlu disiasati dengan sejumlah penanganan terpadu. Dalam UU 35/2014 juga telah disebutkan bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Selain peran utama orang tua dalam mengawasi anak ketika menggunakan internet di rumah, langkah-langkah strategis dari pihak-pihak terkait juga sangat dibutuhkan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah memiliki layanan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) yang dapat memberikan informasi, edukasi, konseling, konsultasi, rujukan, sosialisasi, dan penjangkauan yang dilakukan oleh tenaga profesional secara gratis di 150 kab/kota. Meskipun jumlah ini belum cukup untuk menyasar seluruh wilayah di Tanah Air, tetapi optimalisasi layanan berbasis hak anak ini perlu terus dilakukan agar memberikan manfaat nyata bagi keluarga yang membutuhkan.
Literasi digital menjadi poin sentral dalam menanggulangi eksploitasi seksual terhadap anak. Sebagaimana dikutip dari situs resmi Kominfo (20/05/2021), Presiden Joko Widodo telah meluncurkan Program Literasi Nasional pada bulan Mei tahun ini. Menurut presiden, salah satu tantangan di ruang digital adalah meningkatnya kejahatan yang salah satunya adalah eksploitasi seksual terhadap anak. Karena itu, ruang digital perlu dibanjiri dengan konten positif untuk meminimalkan konten negatif yang terus bermunculan.
Pada dasarnya, eksploitasi seksual membuat anak tercerabut dari kehidupan normalnya sebagai seorang anak. Hal ini tentu berdampak negatif terhadap tumbuh kembang anak. Karena itu lebih baik mencegah dari pada mengobati. Seorang anak perlu dibimbing dan diberikan pemahaman sejak dini agar terhindar dari hal ini. Orang tua dan lingkungan sekitar harus lebih meningkatkan kepedulian dan berperan aktif untuk melindungi anak dari upaya-upaya eksploitasi seksual.
Artikel Lainnya
-
316727/03/2022
-
118724/05/2021
-
30715/08/2025
-
Di Balik Kemewahan Pemuka Agama, Ada Dompet Jamaah yang Terkuras?
32021/09/2025 -
Pandangan Imam Al-Ghazali tentang Kehendak Bebas dan Takdir
117609/12/2024 -
‘New Normal,’ Lelucon Lama Konservatif yang Terus Direplikasi
163531/05/2020
