Sepak Bola dan Metafora Simulasi Perang

ilyas.samando99@gmail.com
Sepak Bola dan Metafora Simulasi Perang 12/10/2022 648 view Lainnya pxhere.com

1 Oktober 2022 menjadi tanggal yang akan diingat oleh seluruh masyarakat penikmat sepak bola di Indonesia dan akan terus dikenang sebagai Tragedi Kanjuruhan. Tragedi yang memakan korban jiwa sedikitnya 131 orang dalam pertandingan Arema FC vs Persebaya. Setelah peluit ditiup yang menandakan skor akhir 3-2 untuk kemenangan Persebaya membuat suporter di Kanjuruhan masuk ke dalam lapangan. Bentrokan pun tidak dapat dihindarkan antara aparat kepolisian dengan suporter, gas air mata ditembakkan ke arah tribun. Suporter yang panik mencoba untuk keluar dari stadion, dengan keadaan pintu yang sempit dan penuh sesaknya suporter membuat korban jiwa berjatuhan dalam satu hari. Peristiwa yang begitu memilukan dalam sejarah sepak bola Indonesia dan dunia.

Kemudian menjadi pertanyaan bagi kita semua ialah mengapa sepak bola bisa memakan korban sebanyak itu? Bagaimana sejatinya sepak bola yang merupakan olah raga dengan menjunjung nilai sportivitas, perdamaian dan dikenal jauh dari dunia perpolitikan tetapi bisa memicu jatuhnya korban jiwa?

Kompetisi sepak bola di Indonesia biasanya membawa suatu ciri identitas dari suatu daerah. Dalam contohnya seperti Persija Jakarta, Persib Bandung, Arema Malang, Persebaya Surabaya atau klub yang baru muncul seperti Bali United menonjolkan identitas asal daerahnya. Hal ini membuat klub sepak bola diekspresikan sebagai suatu identitas dan para suporter membentuk apa yang dikatakan oleh Ben Anderson (2008) sebagai “komunitas yang terbayang”.

Para suporter melihat klub kebanggaannya ialah perwakilan dari rasa bangganya terhadap daerah yang mereka tinggali yang kemudian menjadi dasar fanatisme mereka terhadap klub. Kita dapat melihat fenomena para suporter yang menjadikan sepak bola sebagai “simulasi perang” dalam media sosial.

Jika melihat beberapa media suporter suatu klub, kita dapat melihat bagaimana suatu postingan dapat memicu gairah para suporter untuk mendukung timnya agar mengalahkan musuh mereka. Hal ini memunculkan komunitas terbayang yang mana para individu yang tidak mengenal satu sama lain mempunyai kesamaan yakni mendukung klub kebanggaannya.

Dari postingan tersebut muncul di kolom komentar seperti bentuk apresiasi serta berbagai bentuk ekspresi bangga terhadap para pemain serta klub. Tentunya hal ini membawa pada bentuk penekanan persatuan terhadap suporter seperti penggunaan identitas daerah serta stadion yang digambarkan sebagai “ruang hidup” bagi para suporter.

Hal ini juga ditimbulkan dengan adanya adu gengsi antar suporter yang memunculkan permusuhan. Sepak bola tidak lagi sekedar olah raga tapi mewakili kebesaran suatu daerah. Ketika klub kebanggaannya kalah, para pendukungnya akan merasa sedih dan ketika menang mereka akan bersuka cita apa lagi ketika melawan klub yang menjadi musuh bebuyutan.

Kemudian ditemukan dalam kolom komentar berbagai tulisan seperti “Harga diri”, “Menang harga mati”, “Pembantaian” membuat kita semakin terbawa suasana bahwa Sepak bola bukan sekedar olah raga melainkan ada sesuatu yang harus diperjuangkan.

Ketika sepak bola tidak dipandang lagi sebagai suatu kompetisi olah raga dan digabungkan dengan berbagai faktor identitas, kesamaan sejarah, kesamaan sependeritaan dan sepenanggungan antar suporter membuat sepak bola seperti suatu media penanaman ideologi terhadap penggemarnya. Seperti jika mendukung klub A maka harus membenci klub B.

Hal inilah yang sepatutnya harus diubah oleh para suporter kita, menjadikan suatu klub sepak bola sebagai penyalur rasa kebencian terhadap orang lain. Mendukung klub kebanggaan tidak salah melainkan bagaimana para suporter mampu bersikap bijaksana dalam menyikapi kemenangan serta kekalahan. Sehingga pertandingan sepak bola yang seharusnya hanya ada di dalam lapangan dan terbatas dalam kurun waktu 90 menit justru tidak terbawa ke luar lapangan dan tidak punya batas dalam waktunya. Hal ini memicu konflik horizontal antar suporter karena salah kaprah dalam mendukung klub sepak bola.

Metafora sepak bola sebagai simulasi perang memunculkan pertikaian yang tiada habisnya bahkan memicu korban jiwa yang seharusnya dapat dihindarkan. Perlu sekali PSSI sebagai induk organisasi pemerintah, klub, pemerintah dan para suporter saling bahu membahu agar tragedi Kanjuruhan tidak terulang lagi.

Tentunya kompetisi sepak bola tidak hanya dikaitkan dengan simulasi perang tetapi juga berfungsi sebagai metode pencegahan perang. Jika pertandingan sepak bola mengarah pada persaingan damai dan saling menghormati sekaligus memenuhi konflik yang simbolis saja, maka kita melihat sepak bola sebagai suatu ajang olah raga untuk mencapai prestasi dan kompetisi yang sehat.

Mari kita bersepakat bahwa tidak ada nyawa yang sebanding dengan pertandingan sepak bola.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya