Pendidikan Yang Mendidik

Psikologi pendidikan memiliki peran yang sangat sentral dalam dunia pendidikan. Psikologi pendidikan meninjau aneka sudut pandang pendidikan, baik itu murid, guru, sekolah, kebijakan pemerintah, dan aspek-aspek lainnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keputusan menteri pemdidikan, Nadiem Anwar Makarim, membawa dampak bagi tinjauan psikologi pendidikan. Keputusan "merdeka belajar" membuat pengamatan akan psikologi pendidikan lebih menarik untuk dibahas, terlebih dalam kaitannya dengan keberagaman siswa yang begitu majemuk di Indonesia.
Salah satu isi terpenting dari merdeka belajar ialah penghapusan UNBK dan menggantinya dengan penilaian baru yang lebih holistik. Penilaian tersebut berupa Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan peningkatan motivasi karakter.
Kebijakan ini tentu membawa pro dan kontra dalam dunia pendidikan, namun mari kita singkirkan sejenak persoalan tersebut. Sekarang marilah kita meninjau keputusan ini dalam perspektif keberagaman siswa di Indonesia. Seberapa besar dampak merdeka belajar terhadap dunia pendidikan di Indonesia.
Keberagaman Siswa
Keberagaman siswa adalah sebuah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan situasi siswa yang plural. Dalam perspektif ilmu psikologi pendidikan, setidaknya terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi keberagaman siswa, di antaranya ialah faktor sosial-ekonomi, budaya, bahasa, jenis kelamin, dan keragaman kecerdasan dan gaya belajar.
Faktor sosial-ekonomi, setidaknya terdapat tiga kelas dalam masyarakat, yakni: kelas menengah, kelas pekerja, dan kelas bawah. Kelas menengah ditandai dengan pekerjaan yang menuntut pendidikan tinggi. Kelas pekerja ditandai dengan pekerjaan yang pasti, namun tidak terlalu menekankan pendidikan pada tingkat tinggi. Kelas bawah ditandai dengan ketidakpastian pekerjaan dan kecenderungan untuk tergantung pada bantuan orang lain. Siswa yang berasal dari keluarga menengah ke atas pada umumnya bersekolah di tempat terbaik. Mereka mendapatkan gizi yang cukup. Mereka memiliki aneka fasilitas yang dapat menunjang daya belajar mereka. Hal yang berbeda terjadi pada siswa yang berasal dari kelas pekerja dan kelas bawah. Bahkan tidak jarang mereka harus belajar sambil bekerja untuk sekadar menyambung hidup.
Faktor budaya, kebiasaan dari suku Jawa tentu berbeda dari suku Dayak. Apa yang dianggap wajar di Papua barangkali menjadi hal yang tabu di Sumatra. Religiusitas di Flores barangkali berbeda dengan di Aceh. Di Indonesia, budaya mayoritas lebih dihargai dibandingkan dengan suara minoritas, di Papua misalnya. Di sana terdapat budaya potong jari. Budaya ini tampak begitu sadis bagi kita. Padahal hal tersebut menjadi bentuk kasih mereka kepada kerabat yang telah meninggal. Budaya membuat manusia memiliki sudut pandang tertentu dalam mempresepsikan suatu hal.
Faktor jenis kelamin, banyak persepsi di masyarakat luas bahwa seorang pria haruslah kuat, ia harus lebih banyak menggunakan pikirannya daripada perasaannya. Sementara itu wanita harus lemah lembut, ia harus memiliki perasaan yang sensitif dan yang paling parah adalah wanita harus mengalah dengan Pria. Konsep ini membuat siswa memiliki kecenderungan untuk memilih pekerjaan dan minat yang sesuai dengan jabatan jenis kelaminnya dalam masyarakat.
Faktor kecerdasan dan gaya belajar, terdapat beberapa jenis kecerdasan, yakni: kecerdasan linguistik, matematis-logis, ruang, kinestetik, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan eksistensial. Tiap-tiap orang memiliki kadarnya masing-masing. Mungkin seseorang memiliki kemampuan matematika yang baik, sementara kemampuan bermusiknya kurang. Artinya tiap-tiap orang dapat dikatakan cerdas dalam kategorinya masing-masing. Selain aneka jenis kecerdasan, siswa juga memiliki gaya belajarnya masing-masing. Secara umum gaya belajar dibagi menjadi visual, auditorial, dan kinestetik. Tidak menutup kemungkinan seorang siswa memiliki gaya belajar lebih dari satu atau bahkan terus berubah-ubah.
Dampak Keberagaman Siswa bagi dunia pendidikan
Keberagaman yang kita hadapi membutuhkan sebuah metode pendidikan yang memungkinkan setiap siswa mendapatkan pendidikan yang sesuai baginya. Salah satu jawabannya ialah pendidikan multikultual. Multicultural Education atau pendidikan multikultural adalah jalan yang paling imbang untuk memenuhi kebutuhan semua siswa. Metode ini berusaha merangkul setiap latar belakang yang dimiliki oleh siswa secara khas dan aktual.
Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memberi ruang yang sama bagi setiap orang untuk berkembang dalam caranya masing-masing. Untuk itulah diperlukan sebuah sistem yang mengintegrasikan dan menjamin keberagaman dapat dilaksanakan secara tepat. Ujian ini memaksa semua siswa untuk mengikuti suara mayoritas dengan belajar mata pelajaran tertentu yang telah ditetapkan, padahal terdapat kaum minoritas yang barangkali memiliki ketertarikan yang berbeda.
Pendidikan multikultural adalah salah satu cara memberikan keadilan bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan tersebut adalah pendidikan yang mengoptimalkan bakat, minat, dan kemampuan siswa. Harapannya ialah siswa diberi kesempatan untuk menjadi unik, guru diberi ruang untuk mengembangkan muridnya secara berbeda, sekolah diberi hak untuk secara mandiri menentukan pola pendidikan yang paling sesuai bagi siswa, pemerintah dituntut untuk peduli pada keberagaman siswa yang tidak dapat dielakkan.
Dampak Perubahan kebijakan bagi Keberagaman Siswa
Perubahan kebijakan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengenai penghapusan Ujian Nasional dan menggantinya dengan metode yang baru adalah hal yang cemerlang. Keputusan ini sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12, ayat 1 (b) “mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya”. Artinya sistem pendidikan di Indonesia perlu memperhatikan bakat, minat, dan kemampuan siswa yang sangat beragam. Hal itu rupanya kurang dimuat dalam kebijakan Ujian Nasional yang selama ini dipraktikkan di Indonesia.
Ujian Nasional bukanlah pendidikan multikultural. Ujian Nasional mengeneralisasi seluruh siswa yang beragam. Ujian Nasional, lebih-lebih UNBK adalah sebuah ketidakadilan bagi siswa di daerah-daerah yang mengalami kesulitan akan akses listrik, internet, dan fasilitas publik. Ujian Nasional membatasi terminologi “pandai” sebatas pada nilai ujian yang tinggi yang pada kenyataannya banyak mengalami kecurangan. Ujian Nasional memaksakan standar-standar yang sama di seluruh daerah. Ujian Nasional juga memberikan labeling bagi siswa dan daerah yang hasilnya di bawah standar yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Fokus siswa yang banyak dihabiskan untuk belajar mata pelajaran tertentu akan bergeser jika Ujian Nasional dihapus. Mereka memiliki kesempatan lebih untuk belajar sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya. Metode portofolio dan atau karya tulis, membuat siswa dapat menyelaraskan pendidikan di sekolah dengan kemampuannya. Akhirnya tugas akhir tersebut lebih memiliki makna yang mendalam dan berguna bagi setiap siswa. Siswa diharapkan “down to earth” dengan menerapkan pengetahuan yang ia peroleh di sekolah secara nyata dan aktual.
Pada intinya metode evaluasi hasil belajar yang baru atau metode asasmen hendak memberi siswa kesempatan untuk belajar lebih dan tahu lebih banyak. Mereka memiliki waktu untuk mengembangkan kemampuannya secara lebih longgar. Pendidikan ini sungguh menghargai diversitas dan mewadahi perspektif dari beragam kelompok kultural. Kebijakan ini hendak memberi ruang yang lebih luas bagi siswa yang beraneka ragam untuk dapat berkembang secara lebih maksimal dan otentik.
Satu hal yang perlu diingat bahwa berlakunya sistem penilaian baru ini tidak menghapuskan urgensi mata pelajaran yang selama ini diajarkan. Siswa tetap diminta untuk memenuhi kriteria-kriteria minimum, yakni: kemampuan literasi, kemampuan numerasi, dan peningkatan motivasi karakter. Pengetahuan umum tetap sangat diperlukan bagi masa depan siswa, tapi siswa juga diajak untuk berkembang sesuai dengan dirinya sendiri.
Pendidikan yang mendidik adalah sebuah cita-cita yang diharapkan oleh setiap orang. Pemerintah sebagai penentu kebijakan telah memberlakukan “merdeka belajar” bagi dunia pendidikan di Indonesia. Merdeka belajar adalah kebijakan yang memberi ruang pada keberagaman siswa. Siswa mendapatkan kesempatan untuk secara lebih terbuka memaksimalkan bakat, minat, dan kemampuannya. Siswa tidak lagi dihantui oleh Ujian Nasional yang membuat fokus belajar siswa menjadi terbatas.
Ujian Nasional memaksa siswa untuk belajar bagaimana cara menjawab soal. Pendidikan semacam ini bukanlah sebuah pendidikan yang mendidik. Siswa semestinya belajar untuk memahami materi secara lebih mendalam. Lewat pemahaman inilah diharapkan mereka mampu menatap dunia secara lebih percaya diri dan visioner.
Pada akhirnya pendidikan yang mendidik bermuara pada sistem pendidikan yang terbuka pada keberagaman, adil bagi setiap lapisan, dan berdaya guna.
Artikel Lainnya
-
14320/07/2024
-
79601/12/2021
-
211706/12/2020
-
World Book Day 2020, Perayaan di Tengah Pandemi
125024/04/2020 -
92212/11/2021
-
Hidden Curriculum dan Pendidikan Budi Pekerti Siswa
971425/02/2020