Sekolah Unggul Garuda: Solusi atau Kebijakan Elitis yang Diskriminatif?

Sekolah Unggul Garuda: Solusi atau Kebijakan Elitis yang Diskriminatif? 18/01/2025 84 view Pendidikan kompas.com

Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan rencana untuk mendirikan "Sekolah Unggul Garuda," sebuah sekolah asrama yang dirancang khusus untuk siswa dengan kecerdasan di atas rata-rata. Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Stella Christie, menyatakan bahwa sekolah ini mungkin akan melibatkan beberapa guru asing untuk memberikan wawasan global. Menteri Pendidikan Tinggi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, menyebut inisiatif ini sebagai upaya memberikan pendidikan terbaik bagi siswa berbakat

Namun, gagasan ini langsung memicu perdebatan. Apakah Sekolah Unggul Garuda benar-benar solusi atas tantangan pendidikan di Indonesia, atau justru menjadi kebijakan elitis yang memperburuk ketimpangan pendidikan di negeri ini?

Pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan mendasar. Di daerah terpencil, banyak sekolah yang beroperasi dalam kondisi memprihatinkan: ruang kelas rusak, minim fasilitas, dan tenaga pendidik yang tidak mendapat pelatihan memadai. Masalah ini bahkan terjadi di daerah-daerah yang dekat dengan pusat kota, menunjukkan betapa seriusnya ketimpangan pendidikan di negara ini.

Dalam kondisi seperti ini, mendirikan sekolah eksklusif untuk siswa "cerdas di atas rata-rata" justru memperlihatkan prioritas yang keliru. Apakah pemerintah lupa bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah hak semua anak, bukan hanya kelompok tertentu?

Pendidikan harus bersifat inklusif dan merata, seperti yang diamanatkan UUD 1945. Sebaliknya, rencana ini justru mengarah pada eksklusivitas, di mana hanya siswa yang memenuhi kriteria tertentu yang akan diuntungkan. Konsep ini mengabaikan fakta bahwa banyak siswa dari keluarga kurang mampu tidak memiliki akses ke pendidikan berkualitas sejak dini, yang pada akhirnya membatasi peluang mereka untuk bersaing masuk ke sekolah seperti ini.

Sekolah Unggul Garuda tentu akan memerlukan anggaran besar, mulai dari pembangunan infrastruktur hingga operasionalnya. Namun, pertanyaan yang mendasar adalah: apakah ini merupakan prioritas terbaik untuk sektor pendidikan saat ini?

Alih-alih mendirikan sekolah baru, pemerintah seharusnya mengarahkan anggaran ini untuk memperbaiki sekolah yang sudah ada. Fasilitas belajar, laboratorium, perpustakaan, hingga ruang kelas yang layak merupakan kebutuhan mendesak di banyak daerah. Selain itu, kesejahteraan guru juga perlu diperhatikan, mengingat banyak guru honorer yang masih menerima gaji jauh di bawah standar layak.

Menginvestasikan dana publik untuk peningkatan kualitas pendidikan secara menyeluruh akan memberikan manfaat yang jauh lebih luas dibandingkan dengan membangun institusi eksklusif yang hanya melayani segelintir siswa.

Konsep Sekolah Unggul Garuda mencerminkan pandangan elitis terhadap pendidikan. Dengan memusatkan perhatian pada siswa dengan kecerdasan di atas rata-rata, pemerintah seolah-olah mengesampingkan prinsip dasar pendidikan sebagai hak universal.

Sebagai negara demokrasi, Indonesia seharusnya mendorong pendidikan yang inklusif dan dapat diakses oleh semua kalangan, terutama mereka yang berada di kelompok ekonomi bawah. Namun, rencana ini justru berisiko memperburuk kesenjangan antara mereka yang "pintar" dan yang dianggap kurang pintar.

Lebih ironis lagi, siswa dari keluarga yang mampu secara ekonomi kemungkinan besar akan lebih diuntungkan dalam proses seleksi. Mereka memiliki akses ke bimbingan belajar mahal, sekolah dengan kurikulum internasional, dan fasilitas pendidikan lain yang tidak terjangkau oleh keluarga kurang mampu.

Salah satu aspek kontroversial dari rencana ini adalah kemungkinan melibatkan guru asing. Wakil Menteri Stella Christie berpendapat bahwa guru asing dapat memberikan wawasan yang lebih luas. Namun, apakah ini benar-benar diperlukan?

Indonesia memiliki ribuan lulusan sarjana pendidikan setiap tahunnya. Guru-guru ini memiliki pemahaman mendalam tentang konteks budaya dan sosial lokal, sesuatu yang mungkin tidak dimiliki oleh guru asing. Sayangnya, potensi mereka sering terabaikan karena kurangnya pelatihan, dukungan, dan kesejahteraan yang layak.

Daripada mengimpor tenaga pengajar dari luar negeri, pemerintah seharusnya fokus pada pemberdayaan tenaga pendidik lokal. Memberikan pelatihan berkelanjutan, menaikkan gaji guru, dan memperbaiki sistem rekrutmen dapat menjadi langkah konkret untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Pemerintah juga mengusulkan model sekolah asrama untuk Sekolah Unggul Garuda. Konsep ini dipromosikan sebagai solusi untuk memberikan pendidikan yang lebih intensif dan terfokus. Namun, apakah ini benar-benar solusi yang inklusif? Bagi siswa dari keluarga kurang mampu, model sekolah asrama dapat menjadi beban tambahan. Biaya hidup di asrama, kebutuhan sehari-hari, dan berbagai pengeluaran lainnya mungkin sulit dijangkau oleh mereka. Akibatnya, siswa dari keluarga yang lebih mampu akan kembali mendominasi populasi sekolah ini, mempertegas kesan bahwa kebijakan ini diskriminatif.

Daripada berinvestasi pada proyek ambisius seperti Sekolah Unggul Garuda, pemerintah harus kembali ke akar permasalahan pendidikan di Indonesia. Beberapa langkah prioritas yang dapat diambil meliputi: peningkatan kesejahteraan guru dengan memberikan gaji layak dan pelatihan profesional bagi guru untuk meningkatkan kualitas pengajara, perbaikan fasilitas sekolah dengan membangun infrastruktur yang layak di sekolah-sekolah yang kekurangan fasilitas, melakukan reformasi kurikulum dengan menyusun kurikulum yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman dan berorientasi pada pengembangan keterampilan praktis dan peningkatan aksesibilitas dengan memberikan beasiswa dan subsidi pendidikan untuk siswa dari keluarga kurang mampu.

Sekolah Unggul Garuda mungkin terlihat sebagai langkah maju dalam memberikan pendidikan berkualitas bagi siswa berbakat. Namun, kebijakan ini berisiko menciptakan lebih banyak masalah ketimbang solusi. Dengan mengedepankan eksklusivitas dan mengabaikan kesetaraan, rencana ini tidak sejalan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa yang inklusif.

Pendidikan adalah hak semua anak bangsa, tanpa memandang latar belakang ekonomi, sosial, atau tingkat kecerdasan. Jika pemerintah ingin membangun masa depan yang lebih baik, maka fokusnya harus pada peningkatan sistem pendidikan secara menyeluruh, bukan menciptakan institusi elitis yang hanya melayani segelintir individu.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya