Soe Hok Gie dan Relevansi Idealisme di Era Pragmatisme

Penulis Lepas
Soe Hok Gie dan Relevansi Idealisme di Era Pragmatisme 10/03/2025 286 view Lainnya alif.id

Soe Hok Gie adalah sosok yang selalu diingat sebagai intelektual muda yang teguh dalam memegang idealismenya. Tidak hanya sebagai aktivis mahasiswa yang kritis terhadap pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, ia juga dikenal sebagai pemikir yang menjadikan idealisme sebagai kompas dalam setiap langkah perjuangannya. Tulisan-tulisannya menunjukkan betapa ia menolak segala bentuk kompromi dengan ketidakbenaran, meskipun konsekuensinya adalah kesepian dan keterasingan dari kelompok-kelompok yang lebih memilih pragmatisme.

Pemikiran Soe Hok Gie tentang idealisme bukanlah sekadar utopia atau angan-angan kosong. Ia meyakini bahwa seorang intelektual harus berani bersuara, meskipun suara itu tidak populer. Sikapnya tercermin dalam kritik tajam terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang korup dan menindas rakyat. Ia percaya bahwa perubahan sejati hanya dapat terjadi jika orang-orang yang memiliki kesadaran intelektual tidak takut untuk berkonfrontasi dengan sistem yang rusak.

Namun, pertanyaan besar muncul dalam konteks dunia saat ini: apakah idealisme masih relevan di tengah derasnya arus pragmatisme? Banyak aktivis atau intelektual muda yang pada awalnya idealis kemudian terseret dalam kompromi politik dan kepentingan pribadi. Gie sendiri menyadari bahwa perjuangan tidak selalu berakhir dengan kemenangan, tetapi ia menolak tunduk pada pragmatisme yang mengorbankan nilai-nilai kebenaran.

Krisis Idealisme di Era Pragmatisme

Saat ini, banyak mahasiswa dan kaum intelektual yang dihadapkan pada dilema antara mempertahankan idealisme atau menyesuaikan diri dengan kenyataan politik yang penuh dengan kompromi. Banyak yang memilih jalur pragmatis dengan alasan realitas politik dan ekonomi yang keras, sehingga menjadikan idealisme sebagai sesuatu yang dianggap utopis dan tidak realistis. Akibatnya, banyak gerakan mahasiswa yang kehilangan esensinya dan justru menjadi alat bagi kepentingan tertentu.

Salah satu fenomena yang dapat kita lihat adalah bagaimana gerakan mahasiswa saat ini sering kali dituduh sebagai "pasukan bayaran" yang hanya bergerak ketika ada kepentingan tertentu. Soe Hok Gie pernah menuliskan, "Jika kalian demo untuk nasi bungkus, mending pulang! Tapi jika demo untuk keadilan, lawan sampai amplop-amplop itu dibakar jadi penerang jalan!" Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa perjuangan sejati harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, bukan sekadar kepentingan sesaat.

Gie telah membuktikan bahwa menjadi idealis bukan berarti hanya bermimpi, tetapi berani bertindak tanpa takut kehilangan kenyamanan. Dalam kondisi saat ini, tantangan bagi generasi muda adalah bagaimana menjaga semangat idealisme tanpa kehilangan kemampuan untuk bergerak dalam realitas yang kompleks. Idealisme harus tetap menjadi pijakan dalam setiap perjuangan, tetapi tidak boleh menjadi dogma yang membutakan.

Mengadaptasi Idealisme Tanpa Kehilangan Esensi

Salah satu kritik terhadap idealisme yang terlalu kaku adalah bahwa ia sering kali tidak mampu beradaptasi dengan tantangan zaman. Soe Hok Gie sendiri memahami bahwa perjuangan tidak boleh hanya sebatas penolakan terhadap ketidakadilan, tetapi juga harus mencari cara yang efektif untuk memperbaiki sistem yang ada. Dalam konteks saat ini, idealisme harus tetap relevan dengan cara-cara yang lebih strategis dan inovatif.

Generasi muda harus belajar dari Gie bahwa idealisme bukanlah penghalang untuk berpikir realistis. Justru, idealisme yang sehat adalah yang mampu beradaptasi tanpa kehilangan esensinya. Ini berarti bahwa perjuangan melawan ketidakadilan tidak harus selalu dilakukan dengan cara konfrontatif, tetapi bisa juga dengan membangun sistem yang lebih baik dari dalam.

Contohnya, dalam dunia politik dan birokrasi, banyak orang idealis yang akhirnya masuk ke dalam sistem untuk mengubahnya dari dalam. Namun, tantangannya adalah bagaimana tetap mempertahankan nilai-nilai idealisme tanpa terjebak dalam pragmatisme yang koruptif. Banyak yang pada awalnya masuk dengan niat baik, tetapi akhirnya terseret dalam arus kepentingan yang menggerus nilai-nilai awal yang mereka perjuangkan.

Pesan Soe Hok Gie bagi Generasi Muda

Soe Hok Gie meninggalkan warisan intelektual yang sangat berharga bagi generasi muda. Ia mengingatkan kita bahwa "Nasib terbaik adalah mati muda dengan idealisme menyala, daripada tua sebagai pengkhianat." Idealisme, menurut Gie, adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda. Jika kita melihat kondisi saat ini, di mana banyak anak muda lebih memilih kenyamanan dibandingkan perjuangan, maka pesan ini semakin relevan.

Namun, idealisme yang diperjuangkan harus memiliki arah yang jelas. Jika sekadar menolak tanpa menawarkan solusi, maka idealisme akan kehilangan relevansinya. Generasi muda harus belajar bagaimana menyeimbangkan antara idealisme dan strategi perjuangan yang efektif. Ini berarti bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan tidak hanya dilakukan dengan demonstrasi, tetapi juga dengan inovasi, edukasi, dan partisipasi aktif dalam membangun sistem yang lebih baik.

Soe Hok Gie tidak hanya mengajarkan kita untuk berani melawan ketidakadilan, tetapi juga untuk tetap berpegang teguh pada prinsip, meskipun dunia di sekitar kita semakin pragmatis. Ia adalah simbol dari perlawanan yang tulus, tanpa kepentingan pribadi, dan tanpa takut kehilangan kenyamanan.

Bagi mahasiswa dan intelektual muda saat ini, tantangan terbesar bukan hanya mempertahankan idealisme, tetapi juga menemukan cara terbaik untuk mewujudkannya dalam dunia nyata. Sebab, seperti yang ditulis Gie, "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan."

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya