Januari, Janus, dan Manusia

Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere
Januari, Janus, dan Manusia 02/01/2020 3058 view Budaya Wikibuku

Tak terasa kita sudah meninggalkan tahun 2019. Sebuah tahun yang tentu di dalamnya kita sudah merasakan pengalaman keberhasilan yang mendatangkan kegembiraan dan tentu juga kegagalan yang mendatangkan kesedihan.

Tahun yang sudah berlalu bukan hanya angka: 2019. Ada nama, sejarah, kesedihan, kegagalan, luka dan kekecewaan yang menitikkan butiran-butiran air mata, tetapi ada pula kesuksesan, kegembiraan dan kebanggaan yang membuat hati tenteram dan diekspresikan melalui senyuman yang manis.

Untuk berbagai pengalaman yang telah kita lalui bersama tahun 2019, sudah sepantasnya kita menyampaikan syukur, terima kasih, maaf dan mohon pamit untuk kembali berpetualang dan mengukir kisah bersama tahun yang baru, 2020.

Matahari 2020 telah terbit pada tempat yang sama seperti sebelumnya, 2019. Segala sesuatu seperti semula. Tahun yang telah berlalu tidak memiliki perbedaan dengan tahun yang baru, 2020. Manusia berusaha mengukir cerita dalam ruas waktu yang sama: detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun.

Lembaran kalender Januari 2020 telah tersibak. Ada 364 hari yang akan dilalui dengan berbagai kisah yang akan terukir di dalamnya. Beberapa orang mungkin bertanya: mengapa setiap tahun mesti selalu dimulai dengan Januari, bukan Maret, Mei, Juli, September, Desember, dan lain-lain?

Penempatan Januari sebagai yang pertama, bukan suatu kebetulan. Januari sebagai yang pertama dalam setiap tahun tidak terlepas dari asal-usulnya sendiri. Nama bulan ini diadopsi dari nama dewa Bangsa Romawi Kuno, Janus.

Menurut kisah, Janus adalah seorang dewa yang bertugas untuk menjaga pintu gerbang. Mitologi Bangsa Romawi Kuno menjelaskan bahwa Dewa Janus memiliki dua wajah yang saling bertolak belakang. Pada kedua wajah tersebut memiliki sepasang mata. Hal ini memungkinkannya mampu melihat ke segala arah.

Sebagai penjaga pintu gerbang, kualitas Dewa Janus tidak boleh diragukan lagi. Apabila Dewa Janus hidup pada zaman sekarang, pasti dia menjadi figur yang diperebutkan untuk menjaga keamanan di tempat-tempat yang sangat rentan terhadap pencurian.

Mitologi selalu menawarkan kisah-kisah yang serba aneh. Namun, yang aneh itu tidak berarti bahwa dia tidak berguna sama sekali. Yang aneh bisa juga menjadi bahan pelajaran penting bagi manusia untuk berbenah diri demi kesuksesan dan kebahagiaan.

Dewa Janus memang sangatlah aneh karena memiliki dua wajah yang saling bertolak belakang dengan sepasang mata pada setiap wajahnya. Pertanyaannya adalah: apa makna dari keanehan Dewa Janus bagi manusia?

Kedua wajah dengan masing-masing sepasang mata yang dimiliki oleh Dewa Janus merupakan lambang tatapan masa lalu dan pandangan ke masa depan. Janus yang kemudian menjadi Januari adalah gambaran bulan untuk selalu mawas diri, yaitu sebagai pemisah tahun lalu dan tahun baru.

Manusia adalah makhluk yang hidup dalam cakupan waktu masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Setiap cakupan waktu memiliki kisahnya masing-masing. Kisah hidup di masa lalu menjadi dasar pijakan bagi manusia untuk hidup di masa sekarang.

Setiap manusia selalu berusaha agar kisah hidup di masa sekarang harus lebih baik dari kisah hidup di masa lalu. Orang bijak pernah berkata: “Hidup yang lebih buruk dari hari kemarin adalah sebuah kutukan, hidup seperti hari kemarin adalah sebuah kesia-siaan dan hidup yang lebih baik dari hari kemarin adalah sebuah rahmat”.

Pertanyaannya adalah bagaimana cara manusia agar kisah hidupnya di masa sekarang harus lebih baik dari masa lalu? Mitologi Dewa Janus dapat membantu manusia untuk menjawab pertanyaan tersebut. Mitologi tersebut mengajak setiap manusia untuk bersedia kembali menatap masa lalu.

Berbagai kisah yang telah tergores di masa lalu, entah kisah kegembiraan maupun kesedihan, keberhasilan maupun kegagalan tidak pernah boleh dilupakan. Kita tentu sepakat bahwa melupakan kisah-kisah di masa lalu sama halnya kita melupakan diri sendiri, sebab diri kita sendirilah yang telah mengukir kisah-kisah tersebut.

Lebih jauh, melupakan kisah di masa lalu juga berarti bahwa kita menutup diri terhadap perubahan, sebab perubahan hanya akan terwujud jika adanya kesiapsediaan untuk belajar dari masa lalu. Kisah dan pengalaman di masa lalu mampu menjadi guru terbaik. Untuk itu, kisah dan pengalaman di masa lalu tersebut harus selalu diingat, dipelajari dan diambil maknanya dalam rangka menata kehidupan masa kini yang lebih baik dari masa lalu.

Bagi saya pergumulan dengan masa lalu adalah sebuah keniscayaan untuk pembaruan berbagai aspek kehidupan seperti politik, sosial, hukum, ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Jika ada kekerasan dan ketidakadilan politik di masa lalu, maka perlu ada pemetaan yang jelas dan bertanggung jawab bagi para pelaku dan korban.

Kalau ada ketidakadilan dalam menjatuhkan hukuman kepada tersangka, maka harus ada catatan yang jelas tentang para pelaku dan korban. Jika ada ketidakmerataan dalam menyalurkan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan, maka mesti ada evaluasi bagi para stakeholder.

Melupakan sama sekali kekerasan, ketidakadilan dan ketidakmerataan di masa lalu adalah pembenaran terhadap kekerasan, ketidakadilan dan ketidakmerataan tersebut, dan ini akan berdampak lanjut pada kemunculan kekerasan, ketidakadilan dan ketidakmerataan yang lebih parah lagi. Melupakan secara total para korban yang mengalami kekerasan dan ketidakadilan di masa lalu adalah sebuah bentuk penganiayaan kedua terhadap para korban.

Janus yang kemudian menjadi Januari, selain mengajarkan manusia tentang pentingnya menatap masa lalu demi kebaikan hidup di masa sekarang, juga mengajarkan manusia tentang perlunya tatapan ke masa depan sebagai modal untuk perubahan.

Tentang hal tersebut, John F. Kennedy berpendapat bahwa change is the law of life. Those who look only to the past or the present are certain to miss the future (perubahan adalah hukum dari kehidupan. Siapa yang hanya melihat masa lalu atau masa sekarang pasti kehilangan masa depan).

Berbeda dengan masa kini yang akan menimbulkan ketakutan, dalam konfrontasi dengan masa depan, seseorang bisa saja dihantui oleh kecemasan. Berbeda dengan ketakutan yang berkaitan dengan objek nyata dan konkret, kecemasan selalu berhubungan dengan objek yang abstrak.

Seorang nelayan merasa cemas kalau-kalau ketika melaut, dia tidak mendapat ikan dalam jumlah yang banyak. Seorang pengusaha merasa cemas jangan-jangan usahanya di masa mendatang tidak mendatangkan keuntungan. Dalam hal ini, kecemasan, adalah sebuah pengalaman nyata yang dialami oleh semua orang.

Meskipun seseorang memiliki kecemasan tentang masa depannya, itu tidak berarti mematikan potensi, kreativitas dan usaha untuk mengukir pengalaman keberhasilan dan kegembiraan setahun mendatang. Kecemasan mesti menjadi semacam pelecut semangat untuk mengukir pengalaman kesuksesan setahun mendatang.

Masa depan juga selalu berkaitan dengan mimpi, harapan, proyek, dan idealisme yang mesti diselesaikan. Tentu ada banyak harapan dan idealisme yang dimiliki oleh setiap manusia di masa depannya. Harapan dan idealisme tersebut memungkinkan setiap manusia dengan gagah berani meletakkan dasar atau membangun pondasi hidup yang kuat selama satu tahun ke depan.

Kecerahan masa depan menjadi dambaan semua orang. Dambaan tersebut yang akan melahirkan komitmen dalam diri untuk terus berjuang mewujudkannya. Setiap orang berusaha untuk menata hidup masa sekarang dengan sebaik mungkin, sebab apa yang dituai pada masa sekarang akan dipanen pada masa depan.

Itu berarti bahwa menyiakan-nyiakan hidup di masa sekarang dengan hal-hal yang tidak berguna akan membatalkan kecerahan masa depan. Yang ada nantinya hanyalah kesuraman masa depan.

Akhirnya, selamat berpetualang bersama tahun baru, 2020 untuk kita semua. Jangan sekali-sekali melupakan masa lalu, jangan menyia-nyiakan hidup di masa sekarang, tetaplah menatap masa depan dan berjuang meraih kecerahan masa depan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya