Sebuah Omong Kosong Tentang Penerimaan dan Sisyphus yang Menjadi Gila

Orang yang terjebak
Sebuah Omong Kosong Tentang Penerimaan dan Sisyphus yang Menjadi Gila 30/03/2025 150 view Lainnya nationalgeographic.grid.id

Beberapa waktu lalu, saya telah menulis sebuah artikel yang berjudul Ketidakbermaknaan dan Kebenaran di Tengah Manusia Pasar Pencari Makna. Sebuah artikel hasil permenungan saya dalam kehidupan di tengah absurdnya dunia saat ini. Terlebih lagi, banyak fenomena-fenomena yang saat itu cukup relevan menurut saya untuk direfleksikan secara filosofis dalam terang filsafat eksistensialisme Albert Camus. Ditambah lagi dengan sedikit mempelajari filsafat di bangku kuliah di sekolah filsafat, maka saya berani menulis refleksi filosofis tersebut. Karena, jujur saja, ketakutan akan salah baca dan kurangnya pemahaman akan tulisan saya dari para pembaca adalah hal yang saya takuti.

Di dalam artikel itu, saya cukup keras mengkritik orang-orang yang terjebak dalam utopia semu yang diciptakan oleh kalangan tertentu untuk kepentingan pribadi mereka. Jika masih memiliki akal, tentu saja orang-orang akan mengerti apa maksud artikel saya. Namun ternyata dugaan saya tentang adanya salah baca dan kurangnya pemahaman akan tulisan saya terbukti. Beberapa saat setelah artikel itu terbit, muncul artikel yang entah apa judulnya dan siapa penulisnya, yang mengkritik artikel saya dengan mengutip perkataan Albert Camus tentang membayangkan Sisyphus tersenyum dan lain sebagainya, dan mengatakan bahwa saya hanya orang pesimis yang kurang pemahaman.

Bukannya mau menyombongkan diri, saya mempelajari filsafat kurang lebih selama 4 tahun di S1 jurusan filsafat keilahian. Berbekal hal itu, saya memberanikan diri menulis refleksi filosofis tersebut. Jika hanya belajar otodidak dengan membaca buku atau menonton podcast di YouTube saja, saya tentu tidak berani, karena filsafat itu banyak sekali terminologi yang sulit dipahami jika hanya belajar secara otodidak.

Kembali ke permasalahan absurditas tadi, orang tersebut mengatakan kita tidak boleh pesimis dan lain sebagainya, karena banyak hal di dunia ini berada di luar kendali kita. Dari pendapat pertama ini, sangat tampak bahwa orang ini hanya maniak filsafat Stoa yang dibaca dari buku filsafat teras atau sekadar menonton YouTube. Argumen ini akan saya sanggah dengan beberapa fakta. Pertama, hidup tidak sesederhana itu, dan jika benar hidup semudah yang diajarkan oleh kaum Stoik, sudah pasti tidak akan ada yang bunuh diri di dunia ini. Kedua, jika kaum Stoik itu benar dan menjalani hidup hanya berdasarkan hal yang dapat dikendalikan dan yang tidak, maka kita tidak lebih dari orang yang apatis dalam menjalani kehidupan.

Absurditas tidak sesederhana itu. Jika sesederhana itu, sekali lagi saya tekankan, tidak ada orang yang akan bunuh diri, tidak ada orang yang akan merasa terasingkan dari dunia, depresi, dan menjadi gila. Seharusnya fakta absurditas itu cukup untuk membuka mata para maniak yang isi pemikirannya hanya idealisme tentang utopia yang berisi bunga-bunga.

Kedua, tentang Sisyphus dalam karya Albert Camus. Camus memang meminta kita untuk membayangkan jika Sisyphus tertawa. Namun, pernyataan para filosof juga sarat akan ambiguitas yang menuntut kita untuk berefleksi di dalamnya. Mungkin ada benarnya bahwa Sisyphus tersenyum atau bahkan tertawa terbahak-bahak, tetapi saya juga mengajukan sebuah pertanyaan untuk kita semua supaya kita sadar bahwa terkadang realita dalam menjalani kehidupan itu tidak selalu tentang akhir yang bahagia. "Jika Sisyphus tertawa atau tersenyum, apakah benar dia tersenyum karena menerima hukumannya, atau dia menjadi gila karena penderitaan yang ia jalani?"

Hal ini saya tanyakan karena selama saya hidup di dunia, saya tidak pernah melihat orang yang dihukum penjara, hukuman cambuk, maupun hukuman mati itu menerimanya dan tertawa, kecuali mereka sudah gila.

Untuk itu, penerimaan absurditas hidup bagi saya adalah sebuah omong kosong yang orang atau sistem buat untuk tetap menjebak manusia dalam harapan palsu akan utopia yang mereka ciptakan. Hidup tidak seindah dan secerah itu. Terkadang kita juga harus melihat dengan mata terbuka bahwa hidup itu juga gelap dan tragis. Jangan selalu menjual kebahagiaan kepada orang-orang yang menderita dan terjebak dalam keabsurditasan hidup, karena itu tidak menyembuhkan mereka dari penderitaan yang ada. Hal itu malah sebaliknya, semakin memperburuk keadaan mereka.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya