Ketimpangan Gender dalam Tradisi Nenek Moyang
Isu mengenai kesetaraan gender tak akan pernah habis untuk dibahas, selalu saja ada cela yang terus diperdebatkan oleh kaum perempuan dan laki-laki. Dalam keseharian, kita kerap kali menyaksikannya baik di dunia maya maupun dunia nyata. Padahal beberapa peraturan terkait kesetaraan gender telah diterbitkan. Namun rasanya hal itu belum cukup jika tidak diimplementasikan.
Contohnya ketersediaan ruang laktasi untuk ibu menyusui, yang masih jarang sekali ditemukan di tempat umum seperti mall dan tempat rekreasi lainnya. Padahal telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 15 tahun 2013, tentang tata cara penyediaan fasilitas khusus menyusui dan/atau memerah air susu ibu. Hal ini menunjukan bahwa hak perempuan masih belum terpenuhi yang nyatanya itu merupakan sebuah kebutuhan.
Budaya yang diturunkan dari nenek moyang kita menjadi salah satu pemicu minimnya implementasi kesetaraan gender di masyarakat. Dari zaman dahulu perempuan ditugaskan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga saja dan melayani kaum laki-laki. Sedangkan kaum laki-laki dididik untuk melakukan pekerjaan di luar rumah seperti berburu, mencari nafkah dan sebagainya.
Tradisi ini berlanjut ketika masa Kerajaan, Di mana seorang raja dan para prajuritnya seringkali melakukan aktivitas di luar kerajaan seperti berperang. Sedangkan ratu dan para dayang-nya (perempuan) selalu melakukan aktivitas yang dalam lingkup kerajaan saja, jarang sekali mereka keluar dari kerjaan.
Dari sini kita bisa melihat bagaimana ketimpangan gender telah dibentuk sejak dulu kala, laki-laki diberi kesempatan untuk mengenal dunia luar yang sangat luas sementara perempuan tidak diberi kesempatan akan hal tersebut. Hal ini membuat laki-laki memiliki pemahaman yang baik akan dunia luar sedangkan perempuan memiliki pemahaman baik akan dunia dapur dan melayani laki-laki.
Di era sekarang pandangan bahwa perempuan hanya boleh melakukan pekerjaan dan melayani suami masih terpelihara di masyarakat. Masih jarang perempuan yang sampai pada puncak karirnya karena stigma masyarakat yang beranggapan bahwa tugas mencari nafkah merupakan tugas laki-laki saja.
Zaman sekarang dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, perempuan masih mendapatkan diskrininasi dalam dunia kerja. Selain itu, perempuan masih jarang duduk di posisi strategis dalam perusahaan, posisi startegis tersebut dominan diisi oleh laki-laki.
Toeti Adhitama dalam buku “Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme dan Hiburan” yang diterbitkan tahun 2002 menyatakan bahwa perempuan mengalami tiga bentuk segregesi yaitu pertama segregesi vertikal terjadi ketika perempuan memperoleh status yang lebih rendah dari laki-laki sekalipun tugas pekerjaanya sama.
Kedua segresi horizontal ialah perempuan diberi jenis-jenis pekerjaan yang khas dan pas untuk perempuan. Contohnya ketika perempuan bekerja di media. Perempuan akan cenderung ditugaskan untuk menulis topik-topik yang berkaitan dengan perempuan seperti life hack pekerjaan rumah tangga, tips mengurus anak, tips diet dan sebagainya. Jarang sekali perempuan ditugaskan untuk menulis topik-topik yang berat seperti politik.
Ketiga segregasi sosial terjadi ketika perempuan dikelompokan dengan perempuan dan laki-laki dikelompokan dengan laki-laki. Hal ini bisa kita lihat ketika perjamuan.
Dalam series “Gadis Kretek” yang berlatarkan tahun 1960-an juga menggambarkan bagaimana laki-laki meremehkan perempuan. Dimana perempuan dilarang untuk masuk ke dalam ruang racik saus. Konon katanya ketika perempuan masuk maka saus kretek tersebut akan berubah, perempuan hanya diperbolehkan melinting saja. “Tidak boleh ada perempuan di ruang saus kretek”, salah satu dialog dalam cuplikan series tersebut. Namun Dasiyah terus mencoba untuk masuk ke dalam ruangan tersebut dan mencoba untuk meracik saus kretek, Dasiyah akhirnya bisa masuk dan mencoba meracik saus. Aroma dan rasanya tak kalah enak bahkan laku banyak di pasaran.
Melalui film tersebut, lagi-lagi kita menyaksikan diskriminasi yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Perempuan selalu dianggap lemah, hanya bisa melakukan pekerjaan rumah, mengurus anak dan memasak. Perempuan dinilai tidak mempunyai keterampilan. Nyatanya perempuan mampu melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki, asalkan perempuan diberi ruang untuk mengeksplorasi diri, diberi ruang untuk belajar. Bahkan kemampuan perempuan bisa lebih baik dari laki-laki, seperti yang dialami oleh Dasiyah.
Melalui series tersebut kita bisa melihat bagaimana perempuan telah sejak dulu kala berjuang agar ketimpangan gender tidak terjadi. Perempuan dan laki-laki mesti memiliki kesempatan yang sama dalam hal apapun.
Di era modern kita juga banyak menyaksikan perempuan-perempuan yang meneruskan tongkat estafet dari pendahulunya yang juga berjuang untuk memperoleh hak perempuan. Di media sosial kita menyaksikan bagaimana mereka gencar menyuarakan terkait kesetaraan gender melalui konten-konten yang diposting di media sosial maupun gerakan nyata seperti aktivis perempuan yang kerap kali mengadvokasi kasus-kasus yang menimpa perempuan. Mereka juga mengadakan diskusi publik yang membahas terkait kesetaraan. Mereka berjuang menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat akan kesetaraan gender.
Kaum muda mesti menumbuhkan kesadaran dan mengimplementasi kesetaraan gender baik perempuan maupun laki-laki agar ketimpangan gender tidak dijadikan sebagai tradisi lagi oleh generasi berikutnya. Kaum muda adalah ujung tombak perubahan dari segala hal yang dipercayai masyarakat sekarang. Perempuan dan laki-laki mesti memiliki kesempatan yang sama baik di dunia kerja maupun masyarakat.
Artikel Lainnya
-
80504/03/2023
-
158003/09/2024
-
18613/04/2024
-
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
255310/03/2020 -
Manajemen Waktu Ibadah di Bulan Ramadhan
68517/04/2023 -
Mama Meri Kolimon, Gereja, dan UU Omnibus Law
125310/10/2020