Pandemi Covid-19 dan Stigma Sosial Terhadap Para Perantau
Sejarah peradaban manusia tidak pernah luput dari berbagai krisis dan fenomena diabolik, seperti perang, kelaparan, dan bencana kemanusiaan lainnya. Jika fenomena diabolik cenderung terjadi dalam batas geografis tertentu, pandemi justru hadir secara eskpansif-sporadis karena mengangkangi sekat-sekat geografis dan peradaban manusia.
Awal dan akhirnya pun tidak dapat ditentukan secara definitif. Jika perang dapat diakhiri dengan perjanjian perdamaian, pandemi justru bergerak di luar jangkauan kehendak manusia. Di tengah pergulatan melawan pandemi, manusia harus menerima kenyataan bahwa spekulasi tentang akhir dari pandemi adalah penghiburan yang paling dinantikan. Persis seperti inilah situasi yang dihadapi manusia ketika diserang pandemi virus corona sekarang ini.
Ketika dinyatakan secara definitif sebagai pandemi oleh WHO pada 11 Maret lalu, dunia internasional pun masuk dalam keadaan kritis-problematis. Hingga kini, virus corona adalah petaka internasional yang menuntut setiap negara untuk bergandengan tangan dan meninggalkan egosentrisme demi perjuangan kemanusiaan.
Virus yang kemudian dikenal dengan nama Covid-19 ini pertama kali muncul di Wuhan, China pada akhir tahun 2019 yang lalu. Para ahli mengatakan bahwa virus ini berasal dari rumpun keluarga Corona Veridae dan dinamai ‘corona’ karena bentuknya menyerupai mahkota.
Virus ini sangat mematikan karena mengakibatkan pneumonia, yaitu peradangan paru-paru yang disebabkan oleh patogen berupa bakteri/jamur. Hingga kini jutaan manusia telah terpapar Covid-19 dan ratusan ribu di antaranya harus menerima kematian tanpa disaksikan keluarga.
Bahkan setelah sekitar empat bulan Covid-19 menghantui manusia di berbagai belahan dunia, para ahli belum dapat memprediksi akhir dari keadaan yang mencemaskan ini. Alhasil, di tengah terbatasnya strategi penanganan dan penanggulangan, ratusan negara yang terpapar Covid-19 harus menanggung krisis multidimensional yang tidak dapat diatasi secara komprehensif.
Hal yang sama terjadi dalam konteks Indonesia. Covid-19 telah melumpuhkan roda ekonomi, pendidikan, sosial, politik, hubungan lintas regional, dan bidang lainnya. Demi memutus rantai penyebaran Covid-19, aktivitas perekonomian dibatasi tanpa batasan waktu yang definitif. Ruang gerak masyarakat pun dibatasi dan pemerintah Indonesia memberlakukan social/physical distancing demi meminimalisasi penyebaran Covid-19. Aktivitas transportasi dan hubungan antardaerah juga dibatasi.
Di tengah krisis ini, kehidupan para perantau adalah suatu realitas yang problematis. Perhatian serius dari pemerintah justru tidak dialami para perantau atau pekerja migran baik yang bekerja di dalam maupun di luar negeri. Persedian sembako dan kemampuan mereka untuk menghidupi diri sendiri tentu bersifat terbatas, sebab mereka hidup dari gaji bulanan atas pekerjaan mereka.
Dalam situasi ini, para perantau terpaksa menerobos regulasi pemerintah yang melarang mereka kembali ke tempat asalnya. Di sisi lain, kerinduan mereka untuk kembali ke kampung halaman berbanding terbalik dengan reaksi masyarakat terhadap kehadiran mereka. Lantas, para perantau harus menghadapi dilema yang berkepanjangan tanpa kepastian dan kepedulian serta perhatian dari pihak pemerintah dan masyarakat.
Nasib para Perantau dan Stigma Sosial
Terlepas dari terbatasnya dukungan material dari pemerintah, para perantau sebenarnya dapat dikuatkan dengan dukungan sosial, terutama dari keluarga atau masyarakat di daerah mereka masing-masing. Namun, realitas justru terbalik. Salah satu fenomena destruktif yang melanda perantau adalah beredarnya stigma sosial atas diri mereka.
Stigma sosial atas perantau yang hendak pulang ke daerahnya sendiri tidak terlepas dari ketakutan masyarakat atas bahaya penyebaran Covid-19. Atas dasar ini, masyarakat mengidentifikasi perantau sebagai kelompok yang rentan terkena Covid-19 dan berpotensi merugikan masyarakat di daerahnya.
Kedatangan mereka tidak diterima baik meskipun mereka sudah mengikuti protokol penanganan covid-19. Pemeriksaan kesehatan telah mereka lalui selama perjalanan pulang ke daerah asal. Karantina yang dianjurkan pemerintah telah mereka jalankan dengan baik. Namun, tetap saja stigma negatif tidak dapat dihindari.
Dalam psikologi sosial, stigma sosial didefinisikan sebagai sebuah ciri negatif yang diberikan pada seseorang, sehingga keberadaannya ditolak di lingkungannya sendiri (KBBI edisi ke-5). Menurut Erving Goffman (1968), stigma adalah segala bentuk atribut fisik dan sosial yang mengurangi identitas sosial seseorang, mendiskualifikasikan orang itu dari penenerimaan seseorang.
Unsur fundamental yang mencirikan stigma adalah adanya usaha labelling, identifikasi secara negatif, dan alienasi seseorang dari kehidupan bermasyarakat. Seseorang yang mendapat stigma sosial mengalami perasaan ditolak dan dikucilkan oleh sesamanya. Selain itu, stigma sulit dihapuskan, sehingga dapat menyebabkan beban psikologis yang berkepanjangan. Stigma sosial mengakibatkan terputusnya aktualisasi dan sosialisai diri di tengah masyarakat. Pada akhirnya stigma dapat memisahkan “kita” dari “mereka” yang adalah masyarakat sendiri.
Pada dasaranya, stigma sosial tidak memiliki alasan yang memadai (sufficient reasons). Dalam konteks pandemi Covid-19, pemberian stigma sosial terhadap para perantau disebabkan oleh keterbatasan wawasan masyarakat tentang Covid-19. Keterbatasan wawasan ini membidani lahirnya kepanikan yang berlebihan (over panic) dan sikap antipati serta kecurigaan terhadap para perantau. Akibatnya, semua orang yang pulang dari wilayah lain dianggap telah terpapar Covid-19, walaupun kenyataannya wilayah tersebut masih berstatus ‘negatif’.
Dalam situasi demikian, para perantau tidak menampik jika mereka bisa membahayakan orang-orang di kampung halaman. Demi bertahan hidup, mereka memilih untuk kembali ke tempat asalnya. Di lain pihak, stigma sosial justru menanti kehadiran mereka di gerbang kampung halamannya. Dalam situasi ini, para perantau harus menghadapi dua ancaman sekaligus, yaitu Covid-19 dan stigma sosial.
Pada dasarnya, stigma sosial merupakan virus berbahaya di tengah pandemi Covid-19, sebab stigma merupakan suatu penindasan terhadap kemanusiaan. Para perantau yang mendapat stigma sosial bukan hanya mengalami gangguan fisik, melainkan juga gangguan psikis. Penolakan atas kehadiran mereka dapat mengakibatkan keputusasaan.
Selain itu, pemberian stigma sosial juga berbahaya karena berdampak pada alienasi diri. Seseorang yang mendapat stigma sosial cenderung untuk dialienasi dan mengalienasi diri dari kehidupan sosial, sebab kehadirannya dianggap petaka bagi kehidupan bermasyarakat.
Menghentikan Rantai Stigma Sosial
Fenomena stigma sosial kepada perantau merupakan tindakan yang tidak pada tempatnya. Stigma akan memunculkan masalah sosial baru, yaitu hilangnya keharmonisan dalam masyarakat. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus kembali mengimbau agar warga dunia mengedepankan solidaritas, bukan stigma. Menurutnya perlawanan terhadap stigma sosial merupakan hal penting demi meminimalisasi sikap paranoid, yakni kecemasan berlebihan dan tak berdasar.
Untuk itu, saya memproposolkan beberapa strategi berikut untuk meminimalisasi stigma sosial terhadap para perantau. Pertama, edukasi masyarakat tentang pandemi Covid-19. Perubahan dalam masyarakat tidak dapat tercapai jika mereka tidak dibekali dengan horizon pemahaman yang baik.
Edukasi tentang pandemi Covid-19, baik melalui media informasi dan komunikasi maupun aparat negara, dapat menambah wawasan masyarakat untuk memiliki pandangan yang baik tentang para perantau. Edukasi ini bukan hanya tentang proses-proses mencegah penularan Covid-19, melainkan juga tentang dimensi etis-humanis di balik perjuangan melawan pandemi Covid-19.
Kedua, perhatian pemerintah terhadap perantau. Pembatasan mobilisasi sosial demi mencegah penularan Covid-19 mensyaratkan kebijakan yang fair dari pemerintah. Dalam kasus para perantau, pemerintah harus berusaha untuk memberikan bantuan material dan jaminan psikis serta sosial terhadap perantau, sehingga mereka tetap memiliki optimisme untuk bertahan hidup di tanah perantauan.
Ketiga, optimalisasi pelaksanaan protokol penanganan Covid-19, baik tentang koordinasi atau organisasi maupun tentang pelayanan medis. Hal ini dapat membantu mengurangi kecemasan masyarakat tentang kondisi kesehatan dari para perantau yang pulang ke daerahnya masing-masing. Namun, para perantau sendiri harus mematuhi protokol ini, sehingga dapat memberikan kepastian tentang kondisi kesehatannya. Hal ini dapat membantu mengurangi kecemasan masyarakat tentang para perantau yang pulang ke kampung halamannya.
Masyarakat juga harus mematuhi protokol ini, sehingga dapat mengurangi chaos di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, ketiga langkah di atas merupakan pilihan rasional untuk menumpas rantai stigma sosial terhadap para perantau sekaligus sebagai upaya meminimalisasi kekacauan di tengah masyarakat.
Pandemi Covid-19 kiranya memberi nilai kehidupan kepada setiap orang untuk saling menjaga dan memperjuangkan nilai kemanusiaan di atas segalanya tanpa adanya stigma negatif terhadap sesama. Pandemi Covid-19 merupakan krisis global. Dalam situasi kritis ini, setiap orang dituntut untuk berkontribusi secara positif melalui cara-cara yang etis-humanis. Mari kita bahu membahu dan bekerja sama dengan pemerintah dalam mencegah dan menanggulangi penyebaran Covid-19. Hentikan stigmatisasi, mari bangun optimisme demi kemanusiaan!
Artikel Lainnya
-
90406/01/2021
-
67015/01/2022
-
151324/08/2021
-
Penyerangan di Sigi dan Himbauan Presiden
144229/11/2020 -
Sinetron Azab; Hidayah atau Tata-cara Komedi Bekerja
252117/07/2020 -
Menyoal Revolusi Hijau di Tengah Industri 4.0
237311/12/2019