Saat Negara Terguncang Hebat

Perwakilan Indonesia di Forum Pemuda Internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Saat Negara Terguncang Hebat 24/05/2025 240 view Ekonomi Agence France-Presse (AFP)

Berada di tengah krisis adalah salah satu ujian paling kompleks dan memusingkan bagi seorang pemimpin negara. Saat ekonomi runtuh, nilai mata uang anjlok, pasar keuangan membeku, dan harga kebutuhan pokok melonjak tajam, tidak ada keputusan yang mudah.

Pemerintah dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit: mengajukan pinjaman asing dengan segala syarat yang menyertainya atau membiarkan ekonomi terjerumus lebih dalam. Di saat tekanan eksternal menguat, tekanan dari dalam negeri biasanya ikut menggelora dengan cepat. Rakyat turun ke jalan, memprotes kebijakan, menuntut perubahan, bahkan menjatuhkan pemerintahan. Dalam situasi seperti ini, tidak sedikit pemimpin yang menyerah, mundur, bahkan kabur ke luar negeri untuk melarikan diri dari tanggung jawab.

Krisis finansial Asia 1997–1998 mengguncang fondasi banyak negara. Thailand, tempat krisis ini pertama kali meletus akibat runtuhnya baht, segera mengajukan pinjaman ke Dana Moneter Internasional (IMF). Bantuan senilai 17 miliar dolar AS diberikan untuk menstabilkan ekonomi Thailand yang terpuruk.

Pemerintah Thailand melakukan reformasi fiskal dan moneter secara bertahap. Ekonomi mulai pulih, dan pada tahun 2003, Thailand berhasil melunasi pinjamannya. Namun, pemulihan ekonomi yang menjanjikan itu tidak selalu sejalan dengan stabilitas politik. Dalam dekade-dekade berikutnya, Thailand menghadapi serangkaian pergolakan politik yang terus membayangi kemajuan ekonominya.

Seperti Thailand, Korea Selatan (Korsel) mengalami guncangan hebat di sektor keuangan dan industri. Korsel mendapatkan pinjaman senilai sekitar 58 miliar dolar AS dari IMF dan lembaga donor lainnya untuk pemulihan ekonomi pasca krisis 1997-1998. Respons Korsel ditandai oleh kombinasi yang kuat antara reformasi struktural yang serius dan mobilisasi solidaritas nasional. Dukungan masyarakat luar biasa: sekitar 3,5 juta warga menyumbang emas untuk membantu membayar utang negara. Hasilnya, Korsel melunasi utangnya kepada IMF lebih cepat dari jadwal—hanya empat tahun setelah krisis.

Indonesia juga terguncang hebat di 1997-1998. Nilai tukar rupiah terjun bebas lebih dari 600 persen, inflasi menembus 77 persen, dan sektor perbankan kolaps. Pemerintah Orde Baru menerima bantuan IMF sebesar 43 miliar dolar AS, sementara tekanan sosial dan politik terus memuncak. Ketika harga-harga melambung, pengangguran meningkat, dan kemiskinan meluas, gelombang protes tak terbendung. Akhirnya, Presiden Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun, lengser. Indonesia memasuki era Reformasi, melakukan amandemen konstitusi, memperkuat demokrasi, dan secara bertahap menata ulang struktur ekonominya. Pada 2006 Indonesia juga berhasil melunasi seluruh utang kepada IMF.

Tidak semua negara memilih jalur yang sama. Malaysia, misalnya, menjadi contoh unik karena menolak bantuan IMF dan mengambil langkah berani secara mandiri. Ketika krisis menghantam, Perdana Menteri Mahathir Mohamad menolak resep liberalisasi dan penghematan ala IMF. Sebagai gantinya, Malaysia menerapkan kontrol ketat terhadap arus modal, mematok nilai tukar ringgit, serta membentuk badan khusus untuk menyelamatkan aset bermasalah.

Langkah ini awalnya menuai kritik keras dari pasar global, tetapi hasilnya justru positif: Malaysia berhasil menghentikan pelarian modal, menstabilkan sektor keuangan, dan memulai pemulihan ekonomi tanpa harus tunduk pada syarat-syarat eksternal. Pada 1999, perekonomian mulai bangkit, menjadikan Malaysia salah satu negara yang paling cepat pulih dari krisis—dengan tetap menjaga kedaulatan kebijakan nasionalnya.

Di sisi lain, tidak semua negara yang mengalami guncangan ekonomi 1997-1998 memiliki kisah pemulihan yang manis. Di berbagai belahan dunia, sejumlah negara justru terjebak dalam siklus krisis pahit dan berkepanjangan. Bantuan asing yang seharusnya menjadi jembatan menuju pemulihan, dalam banyak kasus justru menjadi sumber ketergantungan baru.

Salah satu contoh paling mencolok datang dari Argentina. Negara ini memasuki resesi pada 1998 akibat tekanan eksternal seperti krisis Rusia dan devaluasi Brasil, serta persoalan domestik seperti korupsi dan rigiditas fiskal.

IMF mengucurkan pinjaman dalam jumlah besar, namun alih-alih stabil, ekonomi Argentina justru kolaps pada tahun 2001—mengalami default utang terbesar dalam sejarah saat itu. Meski sempat menunjukkan tanda-tanda pemulihan di sekitar 2006, Argentina tak pernah benar-benar bangkit. Hiperinflasi, defisit anggaran kronis, dan instabilitas politik terus menghantui. Hingga hari ini, Argentina masih menjadi peminjam terbesar IMF, dengan utang yang mencapai lebih dari 40 miliar dolar AS.

Kondisi serupa juga dialami Ukraina. Negara ini pertama kali menerima bantuan IMF pada 1998, tetapi program-program reformasi yang disyaratkan kerap terhenti di tengah jalan. Ketergantungan tinggi pada subsidi energi dan lemahnya institusi pemerintahan menjadi hambatan utama. Krisis makin dalam ketika Rusia mencaplok Krimea dan memicu konflik bersenjata sejak 2014. Ukraina kini tercatat sebagai peminjam terbesar kedua IMF, dan reformasi yang tidak konsisten—terutama di tengah tekanan geopolitik—terus memperlambat pemulihannya.

Nasib yang tak kalah pelik juga dialami Ekuador. Krisis ekonomi parah yang melanda negeri itu pada 1998, diperburuk oleh fenomena iklim El Niño dan merosotnya harga minyak, andalan utama ekspor mereka. Pemerintah setempat mengambil langkah ekstrem dengan mendolarisasi ekonomi nasional. Meski langkah itu membawa stabilitas jangka pendek, struktur ekonomi yang rapuh dan ketergantungan pada komoditas membuat Ekuador terus-menerus kembali ke IMF. Sampai hari ini, utang Ekuador kepada IMF masih tergolong tinggi. Ketidakpastian arah kebijakan dan lemahnya institusi fiskal menjadi akar dari kesulitan jangka panjang.

Beberapa negara berhasil pulih dengan bantuan asing, sementara yang lain tetap terpuruk meski juga mendapatkan bantuan dana asing yang bahkan lebih besar. Di sisi lain, ada negara yang justru mampu bangkit tanpa campur tangan bantuan asing, karena memilih pendekatan yang sesuai dengan kondisi domestiknya.

Artinya, yang menentukan bukan pada ada atau tidaknya bantuan asing, melainkan pada bagaimana sebuah negara merespons krisis secara menyeluruh: seberapa kuat kemauan politik untuk melakukan reformasi, seberapa kokoh institusi domestik mendukung kebijakan, dan seberapa besar kepercayaan serta keterlibatan masyarakat dalam proses pemulihan.

Krisis bisa saja datang dari luar, tetapi kekuatan untuk pulih—dan bertahan—selalu datang dari dalam.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya