Karena Rumah Bukan Sekedar Hunian

Anda tentu pernah mendengar wejangan lawas “Sejauh apa pun kaki melangkah, rumah adalah tempat untuk kita kembali.” Makna pepatah ini tidak sembarangan. Meski secara fisik hanyalah benda mati, rumah sesungguhnya menyimpan nilai-nilai filosofis bagi kehidupan kita.
Rumah adalah tempat ternyaman untuk melepas kepenatan usai melakoni setumpuk aktivitas di luar. Rumah menjadi simbol kehangatan karena di dalamnya keluarga berkumpul bersama, bersenda gurau, saling bercerita dan mencurahkan isi hati. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa setiap orang punya impian untuk memiliki rumahnya sendiri.
Apalagi, di masa pandemi Covid-19 sekarang, bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah dari rumah menjadi tren yang dilakoni banyak orang. Ini semakin mengafirmasi peran esensial rumah. Betapa tidak, bagaimana mungkin kita berharap bisa bekerja secara efektif, belajar secara bermutu dan beribadah secara khusyuk apabila tidak ada ketenangan dan kenyamanan di dalam rumah. Maka, jangan pernah sepele ketika hendak memutuskan untuk mencari hunian.
Transisi ini—khususnya bekerja dari rumah—begitu menarik untuk dikaji. Sebab sebelum kehadiran wabah virus corona pun ternyata moda bekerja dari rumah atau yang kerap disebut WFH (Work From Home) sudah mulai membudaya. Data Global Workplace Analysis menunjukkan bahwa sejak tahun 2005, jumlah pekerja yang beralih ke WFH meningkat sebesar 140%.
Di Indonesia sendiri pada tahun 2001 telah terbit Instruksi Presiden No. 6 tentang Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika sebagai respon terhadap kemajuan teknologi dan telekomunikasi. Artinya, payung hukum yang mengatur urusan WFH sudah ada cukup lama. Aturan yang sudah dibuat itu malah kian kuat dengan kehadiran Perpres No. 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Perpres ini menginstruksikan agar portal-portal pelayanan publik bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Rumah Bagi Milenial
Kita sebetulnya tidak perlu merasa kaget ketika beberapa waktu lalu pemerintah mewacanakan ASN (Aparatur Sipil Negara) bekerja dari rumah. Karena jika melihat perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi yang melejit begitu pesat, banyak aspek dalam bekerja yang bisa dilakukan dari rumah tanpa mereduksi efektivitas dan efisiensi pekerjaan itu sendiri. Malah, pada konteks tertentu WFH punya potensi menghemat anggaran.
Coba bayangkan ketika rapat dan pertemuan reguler bisa dilakukan dengan teleconferencing di rumah masing-masing. Tentu biaya-biaya yang lazimnya dialokasikan untuk akomodasi, transportasi, konsumsi dan uang saku peserta bisa dialihkan ke sektor-sektor yang lebih memerlukan. Oleh karena itu, keberadaan rumah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kaitannya dengan pergeseran tatanan budaya bekerja tadi. Pendeknya, rumah harus mampu menjadikan penghuninya lebih produktif.
Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebut bahwa pada tahun 2019 terdapat sekitar 81 juta generasi milenial yang membutuhkan rumah. Jumlah itu diyakini akan terus bertambah. Pertanyaannya: mengapa kaum milenial? Tanpa bermaksud mengabaikan penduduk kaum non-milenial, paling tidak ada tiga alasan fundamental.
Pertama, Indonesia akan mengalami bonus demografi pada rentang tahun 2030 hingga 2040. Saat itu, jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) diprediksi akan lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Dengan kata lain, penduduk usia produktif ketika negeri ini berada dalam fase bonus demografi nanti didominasi oleh para generasi milenial.
Kedua, berkaitan dengan alasan pertama, sebagai orang-orang yang berada di garda terdepan menghadapi bonus demografi, generasi milenial memegang peran sentral dalam menentukan berhasil atau tidaknya bangsa ini menyongsong Indonesia Emas pada tahun 2045 atau masa 100 tahun kemerdekaan Republik Indonesia.
Ketiga, generasi milenial adalah kelompok usia yang paling ‘melek’ terhadap teknologi. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 171,17 juta pengguna internet Indonesia pada tahun 2018. Dari jumlah itu, 91 persen merupakan kaum milenial. Dan sebagaimana yang kita lihat, WFH sangat erat kaitannya dengan kemahiran menggunakan teknologi. Sehingga, teramat wajar bila generasi milenial berada pada pusaran perhatian.
Pemberdayaan Sikasep
Menyikapi fenomena itu, pemerintah mengambil langkah responsif dengan meluncurkan program Sikasep. Seperti yang dilansir dari laman https://ppdpp.id/, Sikasep (Sistem Informasi KPR Subsidi Perumahan) merupakan aplikasi buatan Badan Layanan Umum Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (BLU PPDPP) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Tujuan aplikasi ini adalah untuk menyalurkan dana bantuan pembiayaan perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Caranya sangat mudah. Hanya bermodal sebuah ponsel pintar, Sikasep dapat diunduh melalui aplikasi Playstore dengan terlebih dahulu mengaktifkan GPS. Setelah meng-install, Anda akan diminta mengisi data-data diri dengan kelengkapan dokumen seperti KTP dan NPWP yang dilanjutkan ke tahap melakukan swafoto wajah dengan KTP.
Sikasep menyediakan fitur-fitur yang memungkinkan pengguna mencari rumah subsidi di wilayah yang diinginkan, pada lokasi provinsi, kabupaten/kota atau kecamatan. Selanjutnya, aplikasi ini akan membawa pengguna menuju pilihan pada bank-bank pelaksana yang bermitra dengan pemerintah, baik syariah maupun konvensional, untuk pengajuan KPR. Pada fase ini, tanda hijau mengindikasikan bahwa pengguna lolos tahap subsidi checking sementara tanda merah menunjukkan sebaliknya, sehingga tidak bisa meneruskan pada proses lanjutan.
Bagi pengguna yang lolos, Bank KPR FLPP yang telah dipilih akan memproses pengajuan KPR dan melakukan verifikasi sesuai prosedur standar. Jika permohonan pencairan dana disetujui (biasanya dalam waktu tiga hari kerja), maka pengguna sudah berhak memiliki Rumah Sejahtera FLPP. Sederhana bukan?
Anda bahkan dapat melakukan semua itu tanpa harus keluar rumah—hal yang sangat membantu di tengah pandemi Covid-19 ketika mobilitas fisik dibatasi demi alasan kesehatan dan keselamatan.
Sistem yang didesain dalam Sikasep menghubungkan masyarakat, bank pelaksana dan pengembang dalam sebuah Big Data yang terintegrasi sehingga akuntabilitasnya tidak perlu diragukan. Per 26 Juni 2020 pukul 19.00 WIB pengguna Sikasep telah mencapai 175.510 orang dan 143.438 calon debitur telah dinyatakan lolos subsidi checking. Bahkan sebanyak 70.335 pengguna Sikasep sudah menerima dana FLPP. Dan di waktu yang sama, data nasional oleh 19 asosiasi pengembang di Indonesia yang beranggotakan 6.001 menunjukkan 10.408 lokasi perumahan yang telah didaftarkan dan sebanyak 29.135 rumah sudah tersedia. Ini menjadi bukti bahwa Sikasep menjadi jawaban atas kebutuhan hunian masyarakat Indonesia, terutama yang berpenghasilan menengah ke bawah.
Pemerintah lewat Kementerian PUPR diharapkan terus berbenah untuk meningkatkan kualitas layanan dan, yang tak kalah penting, menambah jumlah lokasi dan ketersediaan rumah. Pasalnya, jika membandingkan rasio antara jumlah calon debitur dan jumlah rumah yang ada, masih terdapat ketimpangan yang cukup besar.
Ini penting sekali. Bagi sebagian besar kaum milenial, rumah bukan hanya sumber kebahagiaan, tapi juga menjadi sumber mata pencaharian. Mereka adalah para pionir bisnis digital yang berselancar di dunia maya lewat pemanfaatan teknologi dan internet. Dari sana mereka meraup pundi-pundi uang untuk kesejahteraan hidup. Fleksibilitas kerja dari rumah adalah segala-galanya. Dan soal fleksibilitas itu jugalah yang menjadikan para milenial mampu bekerja dengan baik dari rumah. Maka, mencari rumah tanpa keluar rumah pun sesungguhnya merupakan narasi yang tak terpisahkan dari diri mereka.
Artikel Lainnya
-
18616/12/2024
-
43107/11/2023
-
235825/09/2023
-
Mudik Tak Mudik dan Segala Kompleksitasnya
136328/03/2021 -
Agama dan Kesalehan Yang Salah Kaprah
155810/01/2020 -
Bersembunyi di Balik Citra Seragam
103405/06/2021