Local Lockdown: Dari Subjektivisme Etis hingga Spirit Parrhesiastis

Mahasiswa STFK Ledalero
Local Lockdown: Dari Subjektivisme Etis hingga Spirit Parrhesiastis 30/03/2020 1506 view Opini Mingguan pixabay.com

"Jalan ke arah subjektivisme etis ialah kebebasan yang bertanggung jawab. Artinya, manusia dilegitimasi sebagai subjek etis apabila ia bisa mempertanggungjawabkan kebebasannya sendiri."_Michel Foucault.

Michel Foucault pernah menjelaskan relevansi antara subjektivisme etis (the etique of subjectism) dan kebenaran yang bertanggungjawab (the truth of responsibility) yang ada dalam diri manusia. Menurutnya, jalan untuk menjadi manusia etis ialah dengan mempertanggungjawabkan kebebasannya.

Sebagaimana jalan, tentu saja kebebasan yang bertanggungjawab tersebut memiliki medan berbeda, tipografi jalannya yang tidak selalu rata, bisa saja bergelombang, penuh kerikil tajam, dan berliku-liku. Selain itu, ia juga tidak selalu berhenti pada satu titik start namun terus membentuk diri dalam titik-titik yang berkesinambungan dan penuh dengan tantangan. Pada titik-titik inilah kebenaran tersebut ditantang untuk selalu bersikap responsibel, bertanggungjawab melewati tantangan-tantangan tersebut.

Pada aras ini, kita bisa melihat bahwa tantangan manusia (baca: warga Indonesia) saat ini ialah adanya pendepakkan atas kebenaran dari yang lain dan afirmasi ketat atas kebenarannya sendiri. Hal ini sangat berbahaya sebab ia tidak lagi terbuka dengan pandangan dari yang lain berikut eksklusivitas terhadap kebenaran dari orang lain pun tampak artifisial. Dalam diskursus seputar local lockdown saat ini misalnya, kita bisa melihat bahwa masih ada orang-orang tertentu yang memupuk singularitas kebenaran (sebagaimana James Madeison) dalam dirinya.

Ambil misal, lockdown mandiri ala Jogja. Meskipun ditolak pemerintah, warga kampung-kampung di Jogja tetap memasang bambu perintang di jalan protokol desa. Dilansir dari tirto.id (diakses pada Sabtu, 28/3/2020), kampung-kampung di kecamatan Pakem Sleman Yogyakarta mulai menerapkan penutupan wilayah atau lockdown lokal. Mengingat kampungnya yang belum ada kasus positif virus korona, mereka tetap khawatir kalau virus tersebut menyebar di kampung mereka.

Ketua RW 24 Dusun Cepet, Desa Purwobinangun, Pakem Suwarso, mengatakan jalan akses masuk menuju dusun telah ditutup sejak Jumat (27/3/2020) untuk mengantisipasi persebaran virus korona. Lanjutnya, hal ini untuk mengantisipasi warga pendatang dan yang sudah di dalam tidak boleh keluar-masuk. Meskipun belum ada orang yang dinyatakan positif terinfeksi virus korona di dusunnya dan belum ada banyak pergerakan warga yang pulang kampung, namun penutupan ini dilakukan sebagai langkah antisipasi.

Penutupan ini, kata dia, juga berkaca dari kampung tetangga, yakni Dusun Beneran dan Jamblangan yang memulai menutup akses jalan ke pemukiman. Menurut Suwarso, dusunnya ditutup atas kesadaran warga untuk menjaga kesehatan publik, khususnya masyarakat Dusun Ceper yang terdiri atas 99 kepala keluarga. Semua warganya sepakat untuk local lockdown. Lebih lanjut, camat Pakem Sleman, Suyanto, menyebut ada 5 dusun di daerahnya yang menutup akses dengan memberikan tulisan lockdown.

Dalam diskursus tentang local lockdown seperti contoh di atas, tidak sedikit warga kampung di Jogja yang mendikte kebenaran pribadinya kepada orang lain. Orang lain di sini ialah pemerintah setempat. Dikatakan orang lain, sebab sedari awal masyarakat itu melihat adanya keberlainan pendapat yang terjadi antara dia dengan pemerintah. Alhasil, karena ketidakcocokan pendapat, yang dibuatnya ialah mencari jalan sendiri. Di sini, ia tidak lagi mengindahkan diskursus panjang, lantas mengambil kebijakan sendiri tanpa campur tangan pemerintahnya.

Buah pikir untuk segera mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan kaca mata orang lain ialah sebuah bentuk penegasian atas pluralitas kebenaran. Di sini, kebenaran hanya milik diri sendiri dan timbul ketakutan bila terbuka bagi kebenaran yang lain. Inilah yang disebut Michel Foucault sebagai antitesis subjektivisme etis.

Menurut Foucault, subjektivisme etis terjadi ketika manusia mulai menyadari diri sebagai subjek etis lewat sekian banyak wacana yang dihadapi. Karya utama yang berbicara tentang pokok ini adalah The Use of Pleasure dan The Care of the Self, juga “Discourse on Truth: The Problematization of Parrhesia”, kumpulan seminar-seminar yang dibawakan selama bulan Oktober dan November 1983 di Universitas California di Berkeley. Karya ini kemudian dihimpun oleh Joseph Pearson dan diterbitkan dengan judul Michel Foucault: Fearless Speech.

Di sana individu menjadi sadar bahwa ia harus bertanggung jawab atas dirinya. Oleh karena itu, yang paling penting bagi Foucault di sana ialah kebebasan dan tanggung jawab setiap orang akan kebenaran asasi yang ada dalam dirinya. Mengikuti dan melaksanakan semua tuntutan moral yang dikonfrontasikan dengan kebenaran yang ada dalam dirinya ini, membuat seorang manusia menyadari dirinya sebagai subjek etis (bdk. Konrad Kebung, "Membaca Kuasa Foucault dalam konteks Kekuasaan di Indonesia", Jurnal Melintas, Vol. 33, No.1, 2017: hlm. 39).

Pada konteks local lockdown di atas, proses subjektivasi itu mesti berlangsung sehingga masyarakat bisa melihat dirinya sebagai subjek etis. Sebagaimana Kebung, di sini masyarakat disadarkan bahwa ia juga adalah subjek kebenaran dan kebenaran ini ada dalam dirinya sendiri. Karena menyadari bahwa kebenaran yang mau disampaikan ada dan hidup dalam dirinya, ia juga sadar bahwa ia mampu untuk mengatur atau memimpin dirinya (care of the self), dan dengan demikian ia juga mampu untuk mengatur dan memimpin orang lain (care for others). Pada konklusi ini, masyarakat beberapa kampung di Jogja diajak untuk mengatur dirinya sendiri tetapi perlu juga mengkondisikan dengan anjuran baik dari pemerintah setempat.

Akhirnya, dalam melampaui masalah local lockdown saat ini, Foucault menambahkan sikap "Parrhesiastis" dalam diri masyarakat Indonesia khususnya warga di beberapa kampung di Jogja yang melakukan local lockdown. Sikap ini mengajak warga tersebut untuk mengungkapkan kebebasan berpendapatnya demi segala sesuatu yang ada dalam pikirannya (action de tout declarer, tout exprimer) namun tetap ingat bahwa kebebasan itu harus bertanggung jawab.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya