RUU KUHAP dan Ancaman Keadilan

Direktur Lengbaga Politik, Hukum dan Demokrasi Indonesia (Lembaga PHD Indonesia)
RUU KUHAP dan Ancaman Keadilan 05/08/2025 923 view Hukum Ilustrasi (foto/Shutterstock)

Dalam dinamika politik Indonesia, wacana revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi gambaran nyata bagaimana politik berpotensi merusak sendi-sendi penegakan hukum. Ketika proses pembentukan produk hukum didominasi oleh kepentingan politik dan elektoral, hukum yang seharusnya menjadi alat keadilan berubah menjadi instrumen kontrol kekuasaan para elit. RUU KUHAP yang tengah dibahas tidak lepas dari jebakan ini.

Pakar hukum seperti Lawrence M. Friedman dalam teorinya tentang Legal Culture menegaskan bahwa hukum tidak berdiri sendiri dalam ruang hampa sosial politik. Hukum adalah cerminan budaya politik dan struktur kekuasaan di masyarakat. Jika para legislator dan pembuat kebijakan menjadikan produk hukum sebagai alat untuk mempertahankan dominasi politiknya, maka hukum akan kehilangan fungsi utamanya sebagai pelindung hak dan keadilan bagi semua warga negara.

Revisi KUHAP yang berencana membatasi kewenangan penyadapan, memperkuat dominasi jaksa dalam penyidikan, serta mengatur mekanisme Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) yang rentan dijadikan alat intervensi, jelas mengindikasikan campur tangan politik yang kuat. Tidak mengherankan, kritik datang dari berbagai kalangan karena draf RUU ini berpotensi melemahkan KPK dan aparat penegak hukum yang selama ini menjadi tumpuan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang independen.

Lebih jauh, penguatan kewenangan jaksa sebagai bagian dari eksekutif memunculkan konflik kepentingan yang serius. Hal ini sejalan dengan pendapat Hans Kelsen, yang mengingatkan bahwa hukum harus dipisahkan dari politik agar tidak menjadi alat kekuasaan yang represif. Namun, ketika jaksa diberi peran yang melekat kuat dengan kekuasaan politik, maka proses hukum bisa saja dimanipulasi untuk kepentingan tertentu, dan bukan untuk mencari kebenaran.

Praktik legislasi yang tertutup dan minimnya partisipasi publik dalam penyusunan RUU ini memperparah situasi. Model hukum yang tidak transparan dan elitis seperti ini memperkuat pandangan Satjipto Rahardjo tentang hukum sebagai suatu proses yang harus melibatkan dialog sosial yang luas. Tanpa keterlibatan masyarakat dan pengawasan publik, produk hukum akan mudah disandera oleh kepentingan politik sempit dan tidak menjawab kebutuhan keadilan substantif.

Pada sisi lain, dalam realitas politik dan hukum di Indonesia, terdapat adagium yang menyiratkan sebuah ironi mendalam, ketika politik mendominasi proses pembuatan atau penggodokan sebuah undang-undang, maka yang berkuasa bukanlah nilai-nilai keadilan atau kepentingan rakyat secara luas, melainkan kepentingan elit elektoral dan kekuasaan politik sempit. Proses legislasi yang sarat negosiasi politik, kompromi antar partai, dan tarik-ulur kepentingan pragmatis ini seringkali membuat produk hukum yang dihasilkan lebih mencerminkan kepentingan para elite daripada kebutuhan masyarakat.

Dalam konteks ini, produk hukum menjadi alat politik, bukan instrumen keadilan. Undang-undang dirancang untuk memperkuat posisi penguasa dan menjaga stabilitas politik elektoral, bukan untuk melindungi hak-hak warga negara secara menyeluruh. Pendapat ini sejalan dengan pandangan para ahli hukum seperti Satjipto Rahardjo yang menekankan bahwa hukum adalah proses sosial yang tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan politik, sehingga selalu ada risiko hukum menjadi sarana dominasi elit.

Namun, ironisnya, setelah produk hukum tersebut lahir dan diundangkan secara resmi dalam Lembaran Negara, hukum justru mengambil posisi dominan atas politik yang melahirkannya. Sekali undang-undang menjadi bagian dari sistem hukum negara, ia memiliki otoritas normatif yang mengikat semua pihak, termasuk para politisi dan elit yang sebelumnya mendominasi proses pembuatannya. Hukum, dalam tatanan negara hukum yang ideal, menjadi kekuatan yang mengatur dan membatasi politik.

Adagium ini menegaskan dualitas hubungan antara politik dan hukum. Di satu sisi, politik dapat mempengaruhi dan bahkan mengendalikan proses legislasi. Di sisi lain, hukum yang telah lahir menjadi alat pengendali kekuasaan politik itu sendiri. Ini adalah mekanisme penting untuk memastikan bahwa politik tidak berjalan tanpa batas dan bahwa kekuasaan dijalankan sesuai dengan aturan yang telah disepakati secara formal dan mengikat.

Namun, problemnya muncul ketika produk hukum yang dihasilkan oleh proses politik yang tidak sehat ini kemudian sulit diterapkan secara adil karena sudah melekat pada kepentingan politik yang dominan. Hukum bisa jadi hanya menjadi simbol formalitas, sementara substansi keadilan dan perlindungan hak masyarakat menjadi terabaikan.

Karenanya, peran pengawasan publik, kelembagaan yang independen, dan budaya hukum yang kuat sangat penting untuk menjembatani antara proses politik yang tidak ideal dengan penerapan hukum yang benar-benar adil dan berkeadaban. Hukum harus terus dikawal agar tidak sekadar menjadi perpanjangan tangan politik, melainkan menjadi instrumen utama penegakan keadilan dan perlindungan warga Negara.

Dengan demikian, revisi KUHAP bukan hanya masalah teknis hukum acara pidana, tetapi juga soal bagaimana kekuasaan politik bisa mengendalikan hukum demi kepentingan sendiri. Jika ini terus dibiarkan, maka hukum sebagai fondasi negara demokrasi akan tergerus, digantikan oleh sistem yang hanya melayani para elit dan memperlemah perlindungan hak-hak warga negara.

Untuk itu, penundaan pembahasan dan evaluasi ulang RUU KUHAP secara menyeluruh mutlak diperlukan. Proses legislasi harus kembali ke jalur transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik yang luas. Revisi KUHAP harus benar-benar menjadi instrumen memperkuat keadilan, bukan alat politik yang menjauhkan masyarakat dari hak dasarnya.

Masalah Substansial

Salah satu persoalan paling serius dalam draf RUU KUHAP adalah pembatasan kewenangan penyadapan yang selama ini menjadi senjata ampuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan aparat hukum dalam mengungkap kejahatan korupsi. Dalam rancangan baru, penyadapan hanya dapat dilakukan oleh penuntut umum setelah mendapat izin dari hakim pemeriksa pendahuluan. Ketentuan ini, meski bertujuan memberikan kontrol, berpotensi memperlambat dan melemahkan efektivitas operasi tangkap tangan (OTT) yang sangat bergantung pada penyadapan dini dan rahasia. Fakta menunjukkan, banyak kasus korupsi besar terbongkar berkat keberhasilan penyadapan cepat yang sering kali menentukan arah penyidikan. Dengan adanya izin yang harus ditempuh, risiko bocornya informasi dan kegagalan pengungkapan kasus semakin besar, sehingga upaya pemberantasan korupsi justru terancam terhambat.

Selain itu, RUU ini juga memperluas kewenangan jaksa penuntut umum dalam proses penyidikan. Jaksa diberi posisi dominan yang memungkinkan mereka mengontrol jalannya penyidikan sejak awal, sebuah pergeseran yang berbahaya jika dilihat dari aspek independensi. Jaksa sebagai bagian dari lembaga yang berafiliasi dengan eksekutif membuka peluang terjadinya konflik kepentingan dan manipulasi proses hukum, terutama dalam kasus yang melibatkan pejabat tinggi atau kepentingan politik. Tanpa adanya kontrol yang efektif terhadap peran jaksa, proses hukum berisiko kehilangan keseimbangan dan menjadi instrumen kekuasaan.

Pengaturan baru mengenai Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) yang diperkenalkan dalam RUU ini memang tampak sebagai upaya memberikan kontrol yudisial terhadap tindakan penyidik, seperti penangkapan dan penahanan. Namun, dalam praktiknya, mekanisme ini bisa menjadi beban baru yang justru menghambat percepatan penanganan perkara. Jika tidak diimbangi dengan sistem yang transparan dan independen, HPP justru berpotensi menjadi pintu masuk intervensi dari kekuasaan di luar proses hukum, sehingga melemahkan prinsip peradilan yang adil dan cepat.

Yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah minimnya transparansi dan partisipasi publik dalam proses penyusunan RUU KUHAP ini. Proses legislasi yang idealnya terbuka dan inklusif justru dilakukan secara tertutup, tanpa melibatkan secara serius akademisi, praktisi hukum, serta masyarakat sipil. Padahal, keberpihakan terhadap korban dan pencari keadilan hanya bisa terjamin bila suara publik didengar dan dipertimbangkan. Dengan proses yang elitis dan tertutup, RUU KUHAP berpotensi menjadi produk hukum yang jauh dari ideal, bahkan dapat menimbulkan kerugian besar bagi penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya