Indonesia Tersandera Lockdown

Menyambut pergantian tahun menuju 2020, kita semua dikejutkan dengan adanya sebuah virus baru yang muncul di provinsi Wuhan, Tiongkok. Virus tersebut merebak dengan cepat dan membuat banyak korban jiwa di Tiongkok. Secepat kilat virus Corona menyebar ke berbagai negara di belahan dunia. Semua negara yang terpapar virus tersebut segera melakukan daya dan upaya untuk mengurangi tingkat kematian yang ditimbulkan oleh virus Corona.
Keadaan genting yang diakibatkan oleh Covid 19 ini mengundang reaksi WHO (World Health Organization) menetapkannya sebagai pandemik global.
Dunia pun dilanda kepanikan menghadapi virus mematikan ini. Negara yang sudah terpapar virus ini segera mengambil berbagai tindakan yang dirasa perlu. Contoh saja Arab Saudi, Italia, Belgia, Austria dan negara lainnya yang segera menetapkan lockdown.
Secara leksikal arti dari lockdown adalah kuncian. Negara-negara ini sebenarnya melakukan isolasi terhadap penyebaran Covid 19. Warganya diharuskan untuk berdiam diri di rumahnya. Tak boleh bepergian. Jikalau pergi pun harus menunjukkan surat sehat yang diterbitkan oleh pemerintah. Selain itu, para aparatur negara yang berkaitan dengan penanggulangan Covid 19 juga bekerja keras merampungkan tanggung jawab yang ada di pundaknya.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Apakah benar-benar sudah siap menghadapi kasus Covid 19? Atau malah terlena dengan kabar baik bahwa Covid 19 yang dapat disembuhkan?
Sejak kemunculan kasus pertama Covid 19 di Indonesia, ada kekhawatiran yang dirasakan oleh masyarakat. Kekhawatiran itu semakin memuncak dengan pertambahan suspect Covid 19, PDP, dan ODP setiap harinya. Belum lagi ditambah dengan aksi panic buying dan penimbunan alkes. Miris!
Bola liar pun muncul di masyarakat, pemerintah bahkan legislatif. Mereka mewacanakan adanya kebijakan lockdown diberlakukan di negeri ini. Bahkan ada yang beranggapan bahwa dengan lockdown bisa menghentikan penyebaran Covid 19. Lalu,apakah kebijakan lockdown ini menjadi senjata pamungkas dari penyelesaian pandemik Corona di Indonesia? Sebenarnya kebijakan lockdown ini sudah diatur dalam UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Sebelum membincangkan kebijakan lockdown diterapkan di Indonesia, ada beberapa hal yang perlu dipahami bersama. Tentunya kebijakan tidak boleh dilakukan secara gegabah apalagi menyangkut dengan kepentingan orang banyak.
Publik tahu bahwa ketika ada suspect positif Covid 19 diumumkan secara resmi oleh pemerintah. Respon pasar langsung menunjukkan tren negatif. Indeks harga saham langsung anjlok drastis. Bahkan di awal pembukannya pun selalu memperlihatkan tren negatif. Puncaknya ketika nilai tukar rupiah terhadap dollar mencapai Rp. 16.000. Secara ekonomi makro dampaknya sangat mengena bagi para pelaku pasar.
Sedangkan di pegiat ekonomi mikro hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi. Pasar tradisional sepi, ojek daring pun wajahnya muram menunggu orderan, dan banyak pegawai di sektor informal yang hanya duduk termangu menunggu selesainya jam kerja. Pertumbuhan ekonomi sudah mengalami kelesuan.
Pemberlakuan lockdown juga membutuhkan ketegasan dan kepastian dari pemerintah, baik pusat atau pun daerah. Negara yang melakukan lockdown harus berani menjamin kehidupan dan penghidupan warganya. Warga yang melanggar kebijakan tersebut juga harus berurusan dengan jalur hukum.
Menilik hal tersebut, tampaknya Indonesia akan mengalami kesulitan untuk menerapkannya. Warga negara yang terdata dalam jaring pengaman sosial tentu harus mendapatkan perlindungan yang nyata ketika mereka tidak bisa mengakses ke tempat kerjanya. Apalagi jika kita menyimak terjadinya pola komunikasi yang tidak baik antara pemerintah pusat dengan daerah yang mengakibatkan penanganan menjadi tidak terpadu dan terkesan jalan sendiri-sendiri.
Pemerintah juga harus berani menindak para penyebar berita bohong terkait virus Corona melalui media sosial. Adanya disinformasi yang ada di masyarakat membuat hilangnya trust terhadap pemerintah.
Faktor kebudayaan juga perlu dipertimbangkan ketika ingin memberlakukan lockdown. Mengapa demikian? Kadang kala faktor dilupakan dalam mengambil kebijakan. Suka atau tidak suka negara yang melakukan lockdown adalah negara maju yang pastinya konteks kulturalnya berbeda dengan Indonesia yang masih digolongkan dalam hal negara berkembang.
Selain itu, pola kebudayaan di Indonesia menganut sistem polikronik. Pada dasarnya pola kebudayaan ini menganggap waktu itu masih panjang dan bisa dilakukan hari esok. Tidak ada sistematika jelas pembagian waktu. Mungkin ini juga yang mempengaruhi keterlambatan penanganan Covid 19 di sini.
Pemasalahannya lainnya adalah kebudayaan yang berlaku di Indonesia adalah komunal. Setiap individu suka untuk berkumpul satu sama lain. Sehingga jika dilakukan pemisahan (isolasi) secara paksa maka akan muncul keterasingan dan kesepian. Sudah siapkah kita menjadi individu yang tercerabut dari sebuah masyarakat atau komunitas?
Secara geografis sudah pasti dan jelas bahwa sebagai negara kepulauan akan sulit untuk dilakukan pengawasan. Gugusan pulau yang ada di negeri ini tentunya membutuhkan pengawasan yang ekstra untuk mencegah terjadinya mobilitas manusia. Menjadi sebuah tantangan untuk menyampaikan informasi lockdown bagi saudara kita yang berada di kawasan terpencil. Jika ini bisa dilakukan maka ini sebuah hal yang prestasi yang luar biasa untuk pemerintah. Tetapi tampaknya lagi-lagi kita akan berhadapan dengan alasan klasik dengan terbatasnya sumber daya manusia dan sarana prasarana untuk melakukan pengawasan ketika diberlakukan lockdown.
Dimensi lainnya adalah edukasi. Ketika pemerintah mulai memberlakukan adanya tanggap darurat dan social distancing yang terjadi malah mereka semua berbondong-bondong menuju tempat liburan. Sungguh sebuah ironi!
Dibutuhkan sebuah kesamaan pemahaman bagi semua masyarakat ketika menghadapi situasi tanggap darurat seperti saat ini. Baik pemerintah atau pun masyarakat mengalami kegagapan dalam menerima informasi yang beredar luas di dunia maya.
Hal tersebut sebenarnya dapat dikurangi apabila sejak awal pemerintah memberikan edukasi tentang mitigasi bencana secara terus menerus sejak usia dini. Karena yang terjadi di saat bencana adalah adanya satu komando yang harus ditaati oleh semua elemen yang ada di sebuah wilayah. Seperti yang diungkapkan oleh James C. Scott bahwa negara memiliki fungsi untuk mengatur dan memaksa tentunya dalam sudut pandang positif. Tetapi sekarang yang terjadi malah kebalikannya, negara tampak kebingungan dalam melawan Covid 19.
Menutup tulisan ini, kebijakan lockdown diberlakukan apabila memang negara sudah benar-benar mapan dan dapat menjamin kebutuhan masyarakatnya. Bukan hanya sekadar mengisolasi negaranya agar wabah tidak semakin meluas. Tetapi ada efek domino yang harus dipikirkan lebih jauh.
Permasalahan Covid 19 ini bukan hanya melulu tentang kesehatan tetapi ada juga dimensi kemanusiaan, kesejahteraan, dan keadilan yang perlu dipertimbangkan.
Indonesia belum siap melakukan lockdown untuk saat ini. Harapannya suatu saat nanti sudah siap melakukannya jika dalam situasi seperti ini lagi. Semoga.
Artikel Lainnya
-
98613/06/2024
-
299122/04/2022
-
25830/04/2024
-
14502/12/2024
-
Kebahagiaan sebagai Tujuan Akhir: Studi Terhadap Tahsil al-Saadah Karya Al-Farabi
37316/12/2024 -
140513/10/2020