Membangun Desa dengan Pariwisata

Penulis lepas
Membangun Desa dengan Pariwisata 07/11/2023 276 view Lainnya https://pxhere.com/id/photo/1616956

Kebijakan pengembangan desa wisata yang digiatkan oleh pemerintah untuk memberikan angka pertumbuhan positif bagi ekonomi lokal, kini telah menjadi tren baru bagi kajian pembangunan di desa.

Berdasarkan data dari portal Jejaring Desa Wisata (Jadesta) yang dikelola oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, setidaknya telah terdapat 4.734 desa wisata dari seluruh desa di Indonesia yang menurut Kemendagri (2022) berjumlah 74.961 desa. Keseluruh desa wisata tersebut tersebar dalam beberapa kategori yakni rintisan, berkembang, maju dan mandiri.

Jumlah tersebut tentunya dapat terus bertambah seturut adanya kesadaran dari pemerintah desa dalam optimalisasi alokasi dana desa yang efektif, berimbang dan partisipatif.

Namun terdapat beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan agar maraknya pembangunan desa wisata ini tak hanya menjadi tren semu semata, melainkan dapat memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi lokal, penguatan nilai budaya dan kelestarian alam di perdesaan.

Kepemimpinan Desa Sebagai Inisiator

Kehadiran kepemimpinan pemerintah desa sebagai inisiator pembangunan desa wisata perlu ditingkatkan. Dalam hal ini peran sentral kepala desa dan jajaran perangkat desa dalam menyusun kerangka kerja tak hanya berhenti mengenali potensi lokal untuk disulap menjadi daya tarik wisata.

Lebih dari itu peran kepemimpinan yang partisipatoris dimungkinkan untuk meningkatkan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan rasa kepemilikan dari pembangunan desa wisata yang akan digalakan.

Kepemimpinan desa harus dapat menjadi “dirigen” bagi visi pembangunan desa wisata, agar tata laksana dalam pengembangan menjadi lebih harmonis dan berkelanjutan.

Selain itu melalui kepemimpinan yang baik dapat meningkatkan perluasan skema pendanaan kolaboratif. Selama ini kendala pembiayaan merupakan salah satu masalah yang belum dapat diatasi sepenuhnya oleh kebijakan dana desa yang diberikan oleh pemerintah pusat. Oleh karenanya, diperlukan skema pendanaan alternatif yang memungkinkan pengembangan desa wisata dapat terakselerasi dengan baik. Salah satunya ialah dengan bekerjasama melalui sektor privat yang mampu memberikan skema pendanaan tanggung jawab sosial perusahaan atau lebih dikenal sebagai CSR (Corporate Social Responsibility).

Selain itu kerjasama lintas institusi juga dimungkinkan untuk dapat memberikan dukungan melalui skema dana hibah, investasi, maupun skema kerjasama publik dan privat dalam kerangka Public-Private Partnership (PPP). Namun hal yang perlu diingat ialah bagaimana pemerintah desa dan masyarakat desa dapat dilibatkan sepenuhnya pada bentuk-bentuk kerjasama yang dijalankan agar terjadi kesetaraan dalam perumusan kebijakan pengembangan desa wisata. Hal itu tentu sangatlah sulit diwujudkan apabila masih terdapat pemimpin di desa yang belum secara maksimal peduli, mengerti dan melaksanakan pembangunan dengan baik.

Kolaborasi yang Berkelanjutan

Selain model kepemimpinan sebagai “corong” pembangunan, perlu adanya kolaborasi lintas institusi untuk dapat mengakselerasi pembangunan desa wisata yang berkelanjutan. Dalam hal ini keterlibatan stakeholder yang beragam memungkinkan adanya perluasan pengelolaan potensi sumber daya desa yang sangat sulit apabila hanya dikelola oleh pemerintah desa semata.

Kolaborasi pentahelix yang menempatkan skema kerjasama antara institusi pemerintah, akademisi, pebisnis, komunitas dan media sangat dimungkinkan untuk dapat mengolah kekayaan lokal desa yang mungkin belum teridentifikasi sepenuhnya serta mengenalkannya kepada publik.

Selain itu kolaborasi ini juga harus mampu mengedepankan peran pemberdayaan masyarakat yang partisipatif dalam pembangunan desa wisata.

Selama ini masalah partisipasi masyarakat dalam program pembangunan desa menjadi salah satu kajian penting untuk dapat menempatkan masyarakat sebagai subyek dan obyek pembangunan desa.

Bentuk pemberdayaan ini dapat dimungkinkan melalui metode survei, pemetaan sosial, musyawarah dan Focus Group Discussion (FGD) dengan seluruh elemen masyarakat agar merasa dilibatkan, mempunyai rasa kepemilikan dan merasakan dampak dari pembangunan desa secara langsung, sehingga pada akhirnya masyarakat tak hanya berperan sebagai pelayan dan penonton dari terlaksananya pengembangan desa wisata, lebih dari itu mampu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan sosial, ekonomi, dan budaya di desa.

Inovasi dan Kompetensi yang Perlu ditingkatkan

Penguatan kompetensi teknis pelayan pariwisata dimungkinkan untuk dapat mengemban amanah pembangunan di lapangan. Masalah kompetensi sumber daya manusia pada pengelolaan desa wisata merupakan hal yang cukup serius dan perlu adanya peningkatan yang signifikan.

Kompetensi tersebut mencakup pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki pengelola wisata yang dinilai masih minim. Hal ini dikarenakan adanya pergeseran pola kerja yang semula bekerja di sawah, kebun dan pabrik untuk kemudian menjadi pengelola wisata yang tentunya memiliki disiplin kerja yang berbeda.

Oleh karenanya perlu diadakan sertifikasi profesi pelayan pariwisata oleh pengelola agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan serta inovasi produk wisata untuk bertarung di iklim kompetetif pariwisata lokal dan global yang begitu variatif saat ini.

Terakhir, perlu adanya kesadaran penguatan nilai budaya dan kelestarian lingkungan pada pembangunan desa wisata. Meskipun penguatan pertumbuhan ekonomi dari pengelolaan desa wisata telah dan selalu menjadi instrumen yang menarik. Perlu diingat bahwa pertumbuhan ekonomi ini harus selaras dengan penguatan nilai budaya lokal dan kelestarian alam perdesaan yang terjaga.

Hal tersebut dapat dimungkinkan melalui penanaman nilai budaya lokal dan kelestarian alam pada pengelolaan desa wisata bagi pengunjung.

Dengan begitu didapati aspek keberlanjutan dari pembangunan desa wisata yang berdampak pada indikator Sustainable Development Goals (SDGs) dapat tercapai.

Hingga pada akhirnya harapan akan menyongsong Indonesia Emas tahun 2045 dapat tercapai secara distributif hingga ke pelosok-pelosok desa di Indonesia, tanpa menafikan sisi kebudayaan lokal yang beranekaragam di seluruh tanah air dan kelestariannya dapat terus terjaga dengan baik.

Pembangunan desa wisata tentu hanyalah salah satu instrumen untuk mewujudkannya, di balik itu masih banyak jalan lain yang perlu dipikirkan, direfleksikan dan diimajinasikan ulang untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkeadilan dan berkemanusiaan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya