Revisi UU ITE: Antara Perlindungan dan Ancaman terhadap Kebebasan Berekspresi

Sekarang ini, media sosial dan teknologi informasi sudah jadi bagian penting dalam kehidupan kita. Setiap hari kita pakai platform digital, entah itu buat ngobrol, cari info, atau bahkan menyampaikan pendapat soal isu-isu yang lagi hangat. Kehadiran internet memang membuat semua jadi lebih mudah dan cepat, terutama dalam urusan berkomunikasi. Tapi di sisi lain, kemudahan ini juga datang dengan berbagai tantangan, khususnya soal batasan dalam menyampaikan pendapat secara bebas.
Salah satu hal yang sering dibahas adalah soal UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik). UU ini awalnya dibuat untuk melindungi masyarakat dari kejahatan yang terjadi lewat internet, seperti penipuan online, penyebaran hoaks, dan lain-lain. Tapi, makin ke sini, beberapa pasal dalam UU ITE malah dinilai bisa menghambat kebebasan berekspresi masyarakat, terutama di media sosial.
Dalam kasusnya beberapa pasal dalam UU ITE malah dinilai bisa menghambat kebebasan berekspresi masyarakat, terutama di media sosial. Salah satu contoh yang cukup ramai adalah kasus musisi Jerinx SID. Tahun 2020 lalu, Jerinx dilaporkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) karena unggahannya di Instagram yang menyebut IDI sebagai "kacung WHO". Unggahan itu merupakan bentuk kritik terhadap kebijakan test COVID-19 yang menurutnya menyusahkan rakyat kecil. Tapi bukannya dibalas dengan dialog, Jerinx justru dijerat Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan akhirnya dipenjara selama 10 bulan. Kasus ini bikin banyak orang khawatir karena yang dilakukan Jerinx sebenarnya bentuk opini pribadi, tapi justru dianggap melanggar hukum. Hal ini makin memperkuat kekhawatiran soal UU ITE yang bisa jadi alat untuk membungkam kritik, bukan sekadar mengatur etika berkomunikasi di internet.
Akibatnya, muncul rasa khawatir di masyarakat. Banyak orang akhirnya jadi takut buat ngomong di media sosial, takut dilaporkan, takut masuk penjara. Padahal, di dalam UUD 1945, terutama Pasal 28E, sudah jelas disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat dan berekspresi. Nah, ketakutan yang muncul ini dikenal dengan istilah chilling effect, di mana orang enggan bicara karena takut akan konsekuensi hukum.
Dari sudut pandang ilmu komunikasi, hal ini bisa berdampak langsung ke kualitas komunikasi publik. Komunikasi yang sehat itu butuh ruang yang bebas, di mana orang bisa bertukar pikiran, berdiskusi, dan menyampaikan pesan tanpa tekanan atau rasa takut. Kalau masyarakat merasa dibungkam atau dibatasi, maka kualitas dialog demokratis kita juga bisa terganggu. Apalagi di zaman sekarang, digital sudah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Media sosial bukan cuma tempat hiburan, tapi juga jadi ruang politik, ruang sosial, dan ruang edukasi.
Revisi UU ITE kemudian jadi isu yang penting untuk dibahas. Pemerintah memang sudah mulai membuka ruang diskusi untuk mengevaluasi UU ini, tapi banyak pihak masih merasa prosesnya kurang transparan dan belum menyentuh inti masalah. Masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis hak asasi manusia berharap supaya revisi ini benar-benar bisa melindungi kebebasan berekspresi, bukan malah makin membatasi.
Bukan berarti UU ITE nggak penting, ya. Perlindungan terhadap pengguna internet tetap harus ada. Tapi harus jelas batasannya. Mana yang termasuk kritik, mana yang memang merugikan orang lain. Hukum yang terlalu luas dan bisa ditafsirkan seenaknya justru bisa membahayakan. Niat awalnya mungkin baik, tapi dalam pelaksanaannya malah jadi senjata buat membungkam suara-suara yang kritis.
Sebagai mahasiswa yang belajar ilmu komunikasi, saya melihat ini sebagai tantangan besar. Kita perlu kritis, tapi juga bijak dalam menggunakan media sosial. Di sisi lain, kita juga harus terus mendorong adanya regulasi yang adil, yang bisa melindungi semua pihak, bukan cuma yang punya kekuasaan. Revisi UU ITE ini seharusnya jadi momentum untuk memperbaiki aturan agar lebih relevan dengan kondisi zaman sekarang, bukan justru mundur ke belakang.
Selain itu, penting juga buat masyarakat umum untuk lebih sadar hukum digital. Banyak orang yang nggak tahu kalau postingan mereka bisa dianggap melanggar hukum. Edukasi digital harus ditingkatkan, bukan hanya soal etika, tapi juga soal hak dan kewajiban dalam bermedia sosial.
Kalau kita bicara soal demokrasi, maka kebebasan berekspresi adalah salah satu pilar utamanya. Tanpa ruang untuk menyampaikan pendapat, demokrasi akan pincang. Jadi, sudah seharusnya kita jaga ruang digital ini agar tetap bebas tapi juga bertanggung jawab. Pemerintah dan masyarakat harus kerja bareng untuk cari titik tengahnya. Jangan sampai teknologi yang seharusnya bikin kita lebih terbuka, malah jadi alat untuk membungkam suatu hal yang terbukti kebenarannya.
Artikel Lainnya
-
99303/11/2023
-
249112/04/2024
-
152416/10/2019
-
Trial By The Pres, Dunia Jurnalistik dan Asas Praduga Tak Besalah
661509/05/2022 -
Jangan Ulang Kesalahan di Lembah Anai
101524/05/2025 -
Ekonomi Digital: Strategi Solutif di Tengah Pandemi
158518/11/2020