Jangan Ulang Kesalahan di Lembah Anai

Setahun telah berlalu sejak bencana galodo menerjang kawasan Lembah Anai, Sumatera Barat. Banjir bandang yang dipicu oleh curah hujan ekstrem ini menghancurkan sejumlah bangunan, termasuk kolam renang yang berdiri di dekat badan sungai. Kini, kolam tersebut telah dibuka kembali dan dibangun dengan struktur permanen dan daya tarik baru.
Namun, di balik kemegahan yang coba ditampilkan, muncul kekhawatiran serius. Alih-alih menjadi simbol pemulihan berbasis mitigasi, pembangunan kembali kolam renang ini justru tampak sebagai bentuk pengabaian terhadap pelajaran penting dari bencana lalu. Pembangunan ini kembali dilakukan di zona rawan, nyaris di lokasi yang sama, tanpa perlindungan memadai jika galodo kembali terjadi.
Pertanyaannya: apakah kita benar-benar telah belajar dari bencana?
Galodo bukan fenomena baru bagi masyarakat Minangkabau. Sejak lama, banjir bandang telah menjadi bagian dari siklus alam di wilayah dengan topografi curam dan curah hujan tinggi seperti Lembah Anai. Tapi galodo 2024 adalah pengingat yang sangat keras: arus deras bercampur lumpur, batu besar, dan kayu tumbang menyapu bangunan-bangunan yang berdiri di sempadan sungai. Banyak warga kehilangan mata pencaharian, infrastruktur rusak parah, dan wisatawan sempat terjebak di lokasi.
Ironisnya, satu tahun setelah itu, pembangunan kembali dilakukan tanpa memperhitungkan risiko yang sama. Kolam renang yang kini berdiri terlihat lebih menarik tetapi justru lebih membahayakan. Lokasinya sangat dekat dengan aliran sungai utama, di area yang seharusnya menjadi zona penyangga atau sempadan.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air menyatakan dengan tegas bahwa sempadan sungai adalah ruang pengaman, bukan ruang usaha. Di kawasan luar kota seperti Lembah Anai, sempadan sungai harus berjarak minimal 100 meter dari tepi sungai. Fungsi utama kawasan ini adalah sebagai zona resapan, jalur evakuasi air saat banjir, dan penyangga ekosistem sungai.
Namun faktanya, pelanggaran terhadap zona sempadan ini terus terjadi. Bangunan semi permanen, warung, tempat parkir, bahkan tempat ibadah didirikan begitu dekat dengan sungai, tanpa izin resmi, tanpa kajian teknis, dan tanpa pengawasan pemerintah. Kolam renang yang kini dibuka kembali hanya menambah daftar panjang pelanggaran tata ruang yang dibiarkan begitu saja.
Apakah kita menunggu bencana berikutnya sebelum menertibkan semuanya?
Sejak zaman Hindia Belanda, Lembah Anai sudah dikenal sebagai kawasan yang rawan banjir bandang. Catatan iklim dan infrastruktur kolonial menunjukkan bahwa curah hujan di kawasan ini tergolong ekstrem, bahkan sejak awal abad ke-20. Insinyur Belanda yang membangun jalur kereta api dan jalan raya dari Padang ke Bukittinggi harus merancang jembatan besar, saluran air, dan gorong-gorong berkapasitas tinggi untuk menyesuaikan dengan karakter sungai yang dalam dan deras.
Kita seharusnya lebih maju dalam teknologi dan ilmu pengetahuan, tapi mengapa kita justru lebih sembrono dalam penataan ruang? Di mana peran kajian risiko, pengawasan dinas teknis, dan fungsi pengendalian oleh pemerintah daerah?
Sudah saatnya Pemerintah Daerah Sumatera Barat, khususnya Kabupaten Padang Pariaman dan Tanah Datar yang menaungi kawasan Lembah Anai, mengambil langkah tegas dan konsisten. Penertiban bangunan liar dan pelanggaran sempadan sungai harus menjadi prioritas utama. Tidak cukup hanya melakukan sosialisasi atau imbauan; perlu tindakan nyata, termasuk pembongkaran bangunan yang berdiri tanpa izin dan tanpa mematuhi aturan tata ruang.
Lebih dari itu, setiap rencana pembangunan baru di kawasan rawan bencana harus melalui kajian dampak lingkungan yang transparan, melibatkan ahli hidrologi, klimatologi, dan masyarakat lokal. Kawasan wisata bisa dikembangkan, tapi dengan prinsip kehati-hatian, bukan sekadar mengejar keuntungan jangka pendek.
Lembah Anai adalah anugerah alam yang luar biasa. Air terjun megah, udara segar, dan bentang alamnya memikat ribuan pengunjung setiap tahun. Tapi keindahan ini tidak boleh menjadi alasan untuk menutup mata terhadap risiko bencana.
Pembangunan kolam renang baru yang berdiri tanpa perlindungan memadai justru bisa menjadi sumber tragedi berikutnya. Kita tidak sedang melarang pembangunan, tapi menyerukan agar pembangunan dilakukan dengan penuh tanggung jawab.
Galodo bukan mitos, bukan masa lalu. Ia bisa datang kembali kapan saja. Dan ketika itu terjadi, sejarah akan mencatat: apakah kita sudah siap, atau justru sengaja abai.
Artikel Lainnya
-
62309/12/2022
-
36131/05/2024
-
63019/12/2024
-
Childfree dan Ancaman Risiko Kesehatan
265030/08/2021 -
Integritas, Kejujuran, dan Perang Melawan Korupsi
111521/09/2021 -
Polemik Pembebasan Narapidana : Kriminal Lagi Demi Tetap Hidup
156026/04/2020