Omnibus Law, Oligarki, dan Krisis Ekologis

Kehadiran Omnibus Law sebagai paradigma pembangunan yang tersentral pada upaya peningkatan ekonomi tidaklah bebas nilai dan non-afiliatif. Melainkan sangat berserat, baik secara politis maupun ekonomis. Paradigma, secara empiris lebih dekat dengan deskripsi pemikiran Michele Focault ketimbang pemikiran Guston Buchelard.
Paradigma tidak terpisah dengan relasi politis, namun itu bukan merupakan problem mendasar. Problem mendasar muncul justru ketika hal yang politis dari sebuah paradigma pembangunan mengalami ketidakjelasan, antara kepentingan populis rakyat yang ingin diintegrasi atau kepentingan Oligarkis Investor/kapital yang ingin diintegrasikan. Wilyah yang tidak memiliki kejelasan inilah yang secara prinsipil, menjadi perdebatan yang tak berujung pangkal hingga saat ini.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), Melalui Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011, tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Inonesia atau yang disingkat MP3EI, telah melahirkan berbagai gerakan protes sosial, terutama yang mendominasi aksi protes tersebut adalah kelompok Activis-Agraris, hal ini disebabkan penilaian mereka atas kebijakan tersebut tidak melibatkan hak masyarakat petani, kuasa petani atas tanah mereka, dan hilangnya perlindungan bagi kelestarian ekologis.
Pada masa pemerintahan Joko Widodo, publik mengalami keresahan yang kurang lebih sama, akibat munculnya sebuah pendekatan pembangunan yang disebut sebagai Omnibus-law, sebuah pendekatan ekonomi yang dalam pidato pak jokowi secara hemat, bisa kita simpulkan sebagai upaya penyerdehanaan undang-undang, dan sebagai mekanisme yang terbuka untuk menerima investasi sebesar-besaranya.
Semangat ini didukung pula oleh penjelasan resmi pemerintah, yang beberapa waktu lalu mengatakan AMDAL atau Analis Mengenai Dampak Lingkungan dan IMB Izin Mendirikan Bangunan, adalah sebagai penghalang untuk peningkatan ekonomi dibidang investasi.
Sebuah pendekatan yang jelas-jelas tidak berbasiskan HAM dan Ekologis. Serta tidak demokratis, dikarenakan tidak melibatkan rakyat dalam konstruk kebijakan nasional tersebut. Pengajuan beberapa draft Omnibus law, ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah langkah formalisme politis semata, dan bukan merupakan mekanisme atas Rule Trias Politica yang sebenarnya, kenapa demikian ?
Sebab Eksekutif dan Legislative sama-sama dikuasai oleh partai pemenang pemilu, jadi bila rakyat mengharapakan adanya filterisasi saat pembahasaan di DPR nantinya, ini adalah sebuah kemustahilan, semua akan berjalan mulus menuju pengesahan, argumentasi ini selaras pula dengan kekosongan oposisi dalam kekuasaan politik tanah air saat ini.
Oligarki Atau Rakyat Sebagai Subjek Pembangunan ?
Sebagaimana yang tercermin atas dinamika politik tanah air, Jefrey Winters yang merupakan seorang ilmuan politik asal Australia, mejelaskan bahwa pola kekuasaan di Indonesia tidak lagi relevan bila hanya ditinjau melalui otoritas kekuasaan semata, melainkan juga harus dilihat pada aspek otoritas modal.
Setiap kandidat yang ingin berkompetisi secara nasional tidak hanya membutuhkan otoritas legitimasi kekuasaan seperti dukungan dari Partai Politik, tetapi juga membutuhkan donatur modal, sebagai basis utama yang paling sentral untuk menopang kampanye memperebutkan kekuasaan.
Kesepakatan politis yang sejak awal terbentuk, antara oligarki sebagai donatur kampanye, dan kandidat sebagai aktor yang akan menjalankan kekuasaan inilah yang berkibat melahirkan diskrimniasi peran Masyarakat sebagai Subjek Pembangunan.
Masyarakat hanya dijadikan sebagai objek sekalipun secara konstitusional masyarakat adalah subjek sekaligus memiliki kedaulatan penuh atas kekuasaan.
Omnibus Law, tidak bisa dipungkiri merupakan bagian dari balas jasa politik pemerintah kepada para oligarki, yang telah berperan penting memenangkan kontestasi politik. Narasi Urgensi Omnibus law sebagai mode pembagunan ekonomi yang dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat adalah kebohongan yang dipropagandakan secara masif oleh media hanya untuk membenarkan dan memperoleh legitimasi publik.
Sedemikian empirisnya di indonesia, dapat kita rasakan sendiri, bahwa kemajuan dan peningkatan ekonomi tidaklah menjamin adanya dampak yang mendorong kehidupan masyarakat ke arah yang lebih sejahtera, namun kebijakan yang tidak melibatkan Rakyat, HAM, dan Aspek Ekologis, sudah pasti menindas dan berdampak buruk bagi kehidupan masayarakat.
Selama pembiyayaan politik mengalami kekosongan, disitulah oligarki mengisinya dengan baik, bahkan memanfaatkan dengan sangat maksimal, argumentasi dan sistem demokrasi juga tidak mampu untuk mengekang peran oligarki, sebab praktik predatoris tersebut akan tumbuh lebih subur dalam negara demokratis dibandingkan negara yang otoriter.
Komparatif ini bisa dilihat dari Oligarki Orde baru yang terkekang oleh sentralisasi kekuasaan, dan oligarki yang tumbuh pasca reformasi/masa demokratis, yang lebih leluasa dengan memanfatkan segala berbagai agenda kelompok neo-liberal. Terdapat diferensiasi dan progres yang sangat signifikan.
Secara substansial, Omnibus law adalah murni kepentingan Para oligarki, dan bukan untuk kepentingan rakyat, hal ini terukur secara jelas, dalam berbagai paradoks yang terkandung didalamnya, pada satu sisi ingin meningkatkan perekonomian semu, namun pada saat yang sama mengahncurkan kehidupan masyarakat.
Masa Depan Ekologis, Oligarki, dan Fragmentasi
Alam dapat tumbuh subur tanpa manusia, namun manusia tidak dapat tumbuh dan hidup tanpa alam
Sebuah adagium yang tidak hilang dalam sejarah sebagai pengingat. Sebagai manusia, alam adalah tempat manusia menggantungkan hidupnya, menghancurkan alam sama halnya dengan mengahancurkan peradaban spesies Manusia dimasa depan.
Setiap pergantian rezim selalu meninggalkan jejak penggusuran dan perampasan ruang hidup, baik bagi Manusia, Hewan, maupun Tumbuhan. Kehadiran Omnibus Law, merupakan agenda besar untuk mengartikulasi kepentingan politik Oligarki, keterdesakan pemerintah dalam hal pengesahan serangkaian draft omnibus law adalah bukti adanya kekuasaan yang melampaui otoritas negara. Negara mengalami kegalalan total, apabila ada kekuatan lain yang melampaui secara demikian, sebab akibatnya rakyat tidak akan ditempatkan sebagai subjek sekaligus tujuan dari pembangunan.
Modal Ekonomi yang dimiliki oleh kelompok oligarki merupakan kekuatan yang mampu mendikte dan mendistorsi segala dinamika bernegara. Hal ini mengkonfirmasi tunduknya negara atas kekuasaan para pemodal. Hal ini dapat terdeteksi sejak lahirnya argumentasi penyederhanaan undang-undang, penghapusan Izin Mendirikan Bangunan dan Penghapusan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Dengan adanya AMDAL, IMB, serta berbagai undang-undang yang mengatur mekanisme berinvestasi, penggusuran dan perampasan ruang hidup tetap muncul dihadapan kita, apalagi bila hal-hal tersebut ditiadakan melalui Omnibus Law ? Bagaimana masa depan Ekologis bangsa ini ? Bagaimana peradaban spesies manusia kedepan ?
Terlepas dari ragam penafsiran atas Omnibus law, ini adalah proyek oligarki yang bertujuan mengambil surplus ekonomi dengan cara menghancurkan lingkungan. Kemunduran progresif dalam berbagai pasal juga cukup mengerikan, sebagai contoh, bila sebelumnya ada unsur pemidanaan bagi para insvestor yang terbukti melakukan pencemaran/pengrusakan lingkungan, kini dengan hadirnya Omnibus Law, para investor hanya diberikan sanksi Administratif.
Civil Societe dan berbagai kelompok Social Movement harus mengambil peran secara bersama dan masif untuk menggagalkan agenda ini, sebab langgengnya kuasa oligarki dan pengabaian atas Masa depan ekologis, tidak terlepas dari konstribusi kondisi Fragmentasi dalam kelompok gerakan sosial, keterbelahan ideologis dan egoisme setiap sektor gerakan harus diakhiri. Kekosongan oposisi atas kekuasaan seharusnya diresahkan sama halnya dengan kehadiran omnibus law.
Apabila tidak ada konsolidasi yang kuat dan masif pada tataran pergerakan sosial, mustahil agenda besar ini bisa diruntuhkan. Bila sejarah bangsa ini adalah sejarahnya pemuda, dan belum lama ini bangsa kita, dan publik internasional menyaksiskan gerakan #Reformasidikorupsi yang bangkit setelah lama terdiam pasca reformasi, ini adalah momentum yang tepat, gerakan sosial harus dimasifkan dari sekarang, saat ini juga.
Artikel Lainnya
-
176605/06/2020
-
24427/08/2024
-
103120/12/2021
-
Transparansi Dana Desa Dalam Penanganan Covid-19
187223/05/2020 -
Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi ala Umar bin Abdul Aziz
27114/08/2024 -
Perppu Covid-19 dan Lubang Korupsi
167510/05/2020