Go Green: Bangkit dalam Harapan Baru

Mahasiswa
Go Green: Bangkit dalam Harapan Baru 13/07/2020 3092 view Opini Mingguan pixabay.com

Dewasa ini, diskursus tentang masalah sampah selalu aktual. Masalah sampah menjadi persoalan yang serius karena berdampak pada kerusakan lingkungan hidup, kerusakan mental dan karakter manusia, serta menjadi problem besar bagi masa depan generasi umat manusia.

Persoalan sampah adalah persoalan tentang bagaimana manusia memahami dan menghidupi konsep tentang dirinya. Sampah organik dan anorganik yang dibuang tidak pada tempatnya merupakan hal yang lumrah bagi manusia yang memandang dirinya sebagai pusat dari sistem alam semesta, dan bahwa dirinya dan kepentingannya merupakan nilai tertinggi yang harus selalu diperjuangkan ketimbang persoalan-persoalan lain, termasuk sampah (antroposentrisme). Sebaliknya, manusia yang memandang dirinya dirinya sebagai salah satu dari sekian banyak kehidupan dan makhluk hidup yang mempunyai nilai di dalam dirinya sendiri akan sangat peduli terhadap persoalan sampah dan bahaya atau ancamannya terhadap lingkungan hidup secara keseluruhan (biosentrisme), (Maku, Jurnal Ledalero, Vol. 16, No. 2, 2017: 185).

Sampai saat ini, sampah menjadi indikator fundamental kehidupan, karena keberadaan sampah menunjukkan keberadaan manusia. Tak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai pemroduksi sampah terbanyak di dunia. Pemerintah telah berkomitmen untuk memaksimalkan segala daya dan upaya yang ada untuk menanggulangi hal tersebut khususnya bagi sampah yang ada di perairan seperti sungai dan laut. Persoalan pengelolaan sampah masih menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia.

Riset terbaru Sustainable Wastle Indonesia (SWI) mengungkapkan sebanyak 24 persen sampah Indonesia yang masih tidak dikelola. Ini artinya, dari sekitar 65 juta ton sampah yang diproduksi di Indonesia tiap hari, sekitar 15 juta ton mengotori ekosistem dan lingkungan karena tidak ditangani. Sedangkan, 7 persen sampah didaur ulang dan 69 persen sampah berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Berdasarkan laporan tersebut, diketahui juga jenis sampah yang paling banyak dihasilkan adalah sampah organik sebanyak 60 persen, sampah plastik 14 persen, diikuti sampah kertas 9 persen, metal 4,3 persen, kaca, kayu dan bahan lainnya 12,7 persen. Ada 1,3 juta sampah plastik pertahun yang tidak dikelola, “ungkap Direktur SWI Dini Trisyanti ketika menyampaikan presentasi risetnya terkait Analisis Arus Limbah Indonesia pada 2017, di Workroom Coffee, Cikini, Jakarta pada Selasa (24/4), (CNN Indonesia, diakses pada 11/06/2020).

Berdasarkan uraian di atas, hemat penulis yang menjadi pemicu terjadinya penyebaran sampah dikarenakan belum adanya pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana memahami dan menghidupi konsep tentang manfaat atau kegunaan sampah.

Absennya pemahaman masyarakat ini sangat berdampak pada kurangnya kesadaran, keseriusan pengolahan sampah dengan tepat, sehingga persoalan sampah selalu memberikan ancaman pada kehidupan manusia dan lingkungan hidup. Melihat persoalan ini, maka pentingnya membangun suatu budaya baru “Go Green” untuk bangkit dengan harapan yang baru yakni menciptakan kepedulian dan lebih bertanggung jawab untuk mendaur ulang sampah yang ada di masyarakat.

Menelusuri Masalah Sampah

Sampah adalah istilah umum yang sering dihasilkan manusia dari suatu proses produksi, baik industri maupun domestik (rumah tangga). Undang-undang No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengartikan sampah sebagai “sisa kegiatan sehari-hari manusia dan atau proses alam yang terbentuk padat” (UU No. 18/2008, pasal 1). Dengan kata lain, sampah merupakan material sisa yang berasal dari hewan, manusia, dan tumbuhan yang tidak terpakai lagi dan dilepaskan ke alam, dalam bentuk padatan, cairan dan gas (Moeliono, dkk., KBBI, 1990: 777).

Persoalan sampah menjadi persoalan yang cukup serius. Persoalan sampah telah menjadi persoalan global yang memberikan ancaman pada kehidupan manusia dan lingkungan hidup. Jika ditelisik lebih jauh, persoalan sampah yang lazim terjadi di Indonesia dikarenakan kebiasaan masyarakat membuang sampah tidak pada tempatnya, walaupun telah tersedia tempat penyimpanan tempat sampah. Akibat dari pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya, kerap kali menyebabkan bencana alam dan ancaman terhadap keberlangsungan hidup bumi dan krisis lingkungan hidup yang berdampak pada pencemaran tanah, pencemaran udara, pencemaran air yang disebabkan oleh manusia.

Sampah adalah bahan yang sudah tidak digunakan lagi dan dibuang. Menurut Dinas Pekerjaan Umum (1986), jenis sampah berdasarkan cara pengelolaan dan pemanfaatan dapat dibedakan menjadi sampah basah (garbage) dan sampah kering (rubbish). Berdasarkan bentuknya sampah dibedakan menjadi tiga, yaitu sampah organik, sampah non-organik, dan sampah B3. Sampah organik berasal dai limbah tanaman, kotoran hewan dan manusia. Sampah non organik sampah yang bukan berasal dari makhluk hidup. Sampah B3 seperti sampah rumah sakit dan poliklinik (Mulyono, 2016: 4-6).

Go Green: Bangkit dalam Harapan Baru

Go green merupakan salah satu upaya manusia untuk merawat bumi supaya kembali baik dan nyaman ditinggali. Ini adalah wujud kesadaran dan kepedulian manusia terhadap alam. Dalam pasal 12 (1) UUPPS, setiap orang diwajibkan melakukan pengelolaan sampah atau memilah sampah dengan cara atau metode yang berwawasan lingkungan. Metode tersebut adalah 3R, yaitu; (Reduce) mengurangi sampah, dalam arti tidak membiarkan tumpukan sampah yang berlebihan, (Reuse) menggunakan kembali sisa sampah yang bisa digunakan, (Recycle) mendaur ulang sampah.

Berdasarkan metode 3R di atas, hemat penulis persoalan sampah sangat miris dan sangat membutuhkan kepedulian dan tanggung jawab yang intensif dari masyarakat. Banyak pihak yang belum memiliki semangat 3R untuk mengelola sampah, seperti mendaur ulang sampah seperti yang dilakukan di Singapura. Hal ini terbukti bahwa, masyarakat di Singapura memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sampah khususnya mendaur ulang sampah dengan membakar, kemudian menjadikannya sebagai energi untuk menghidupkan listrik.

Pada tahun 2000 Singapura pernah mengalami kendala 7600 ton sampah, namun Singapura berhasil menerapkan sejumlah aturan secara cepat dan efesien. Menurut Eugene Tay, direktur eksekutif lembaga non profit Zero Waste SG yang berpusat di Singapura, kota-kota besar di Asia bisa belajar banyak untuk urusan sampah dari Singapura. “Mereka perlu lebih fokus mengurangi (reduce) dan menggunakan lagi (reuse) sampah.

Maka hemat penulis, persoalan sampah disebabkan oleh; Pertama: perlu adanya sosialisasi pengelolaan sampah oleh pihak terkait. Artinya bahwa dengan adanya sosialisasi pengelolaan sampah secara bijak oleh pihak bersangkutan, masyarakat memiliki konsep tentang persoalan sampah yang membawa dampak terhadap lingkungan dan manusia.

Sosialisasi ini juga bertujuan untuk menumbuhkan sikap peduli dan tanggung jawab dalam diri masyarakat terhadap persoalan sampah yang sering terjadi di rumah, komunitas lingkungan, sekolah dan perkantoran.

Kedua: Pengaruh cara hidup modern yang destruktif. Artinya bahwa masyarakat saat ini terpengaruh dengan budaya konsumerisme yang mengglobal, sehingga visualisasi tentang persoalan sampah yang marak terjadi sudah tidak dipertimbangkan secara matang. Masyarakat tidak memiliki rasa peduli terhadap permasalahan sampah yang terjadi di lingkungan hidup.

Ketiga: kesadaran yang serius. Masyarakat dituntut untuk memiliki kesadaran yang serius terhadap persoalan sampah. Masyarakat mesti menyadari tugas dan tanggung jawab untuk melestarikan alam serta menyadari bahwa ada sampah yang memiliki nilai guna. Dengan demikian, konsep tentang go green mesti dihidupi dalam masyarakat sebagai upaya untuk bangkit dalam hidup baru, yakni bebas dari persoalan sampah.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya