Filsafat Stoa Sebagai Evergreen Philosophy

Mahasiswa Aqidah & Filsafat Islam UIN Sunan Ampel
Filsafat Stoa Sebagai Evergreen Philosophy 10/12/2024 264 view Lainnya pexels.com

Tolak ukur mengenai bagus atau buruknya suatu pemikiran merupakan perdebatan. Sebagian menilai konteks sosial merupakan penentu sebuah pemikiran dianggap bagus. Sebagian yang lain menganggap bahwasannya pemikiran yang baik adalah yang dapat memberi manfaat secara luas dan masif. Sepertinya, perspektif yang kedua ini merupakan cara pandang yang banyak digunakan orang dalam menilai kualitas berbagai pemikiran dalam sejarah.

Dalam dunia filsafat, terdapat banyak sekali ide maupun gagasan yang dicetuskan oleh berbagai tokoh. Latar belakang seperti sosiokultur, merupakan salah satu faktor munculnya ide-ide cermelang tersebut. Di antara pemikiran-pemikiran tersebut, banyak yang tidak terlalu populer bahkan hanya populer di zamannya sebagai solusi atas permasalahan di kala itu saja. Akan tetapi, terdapat beberapa pemikiran filsafat yang tetap bertahan di generasi setelahnya hingga era kontemporer. Evergreen Philosophy merupakan istilah yang pantas diberikan pada filsafat yang senantiasa mempertahankan kesegarannya di berbagai masa. Salah satunya adalah filsafat teras atau filsafat Kaum Stoa.

Filsafat Teras

Dalam relik sejarah, Stoisisme merupakan sebuah aliran filsafat dari Yunani kuno yang berkembang pada abad ke-3 SM. Zeno dari Citium merupakan pencetus dari aliran ini. Di kemudian hari, Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius merupakan tokoh-tokoh besar yang mempopulerkan pandangan Stoik. Secara umum, pemahaman mengenai ajaran Stoa didapat dari buku-buku ataupun surat-surat yang mereka tulis.

Secara latar belakang, filsafat Stoa muncul di era Hellenisme, di mana filsafat tidak lagi berfokus pada pembahasan ontologis dan logika sebagaimana terjadi di era Sokratik. Fokus kajian di era Hellenisme berubah menjadi antroposentris yang membawa buntut konsekuensi penekanan yang mendalam pada etika. Hal ini dibuktikan pada teman sejawat pemikiran Stoikisme seperti Epikurianisme dan Skeptisisme yang tentunya memiliki produk unggulan dalam bidang etika

Secara singkat, Stoikisme berfokus pada pengendalian diri, kebijaksanaan, dan ketenangan jiwa dengan cara menerima kenyataan apa adanya. Inti ajarannya adalah memilah antara hal-hal yang dapat kita kendalikan, seperti sikap, pikiran, dan tindakan, dari perkara-perkara yang berada di luar kendali, seperti opini orang lain ataupun peristiwa tak terduga. Dengan pemilahan tersebut, manusia menjadi sadar terhadap potensi yang dimiliki dan perihal yang tidak dapat ia kuasai. Pembebasan ketidakbahagiaan manusia menuju ketenangan dan kebahagiaan jiwa merupakan penghujung yang dicari dalam aliran ini.

Dalam langkah-langkahnya terdapat tiga poin menarik yang dapat diambil dari filsafat Stoikisme. Pertama, mengontrol respons terhadap situasi, yakni tidak bereaksi berlebihan terhadap tekanan eksternal baik dalam keadaan senang maupun sedih. Kedua, fokus pada nilai diri atau hal-hal yang bersifat intrisik. Dalam pandangan stoa, kebahagiaan sejati berasal dari kebajikan, kejujuran, dan pengendalian diri, bukan semata bersumber dari kekayaan maupun status sosial. Ketiga, menghadapi hidup dengan tenang. Segala tantangan hendaknya dilihat sebagai peluang untuk belajar dan tumbuh, sementara kenyataan diterima dengan lapang dada.

Faktor ‘Keabadian’ Stoa

Filsafat Stoa merupakan salah satu filsafat yang sennatiasa digaungkan, diajarkan, digunakan dan diimplementasikan selama lebih dari dua millenium. Ketenangan hidup dan kontrolnya merupakan poin-poin ajaran yang terus-menerus dipromosikan. Pemikiran Stoa yang selalu lestari tidak dapat dipisahkan dari faktor keabadiannya yang utama, yaitu relevansi. Pemikiran Stoikisme memiliki relevansi dalam setiap fragmen sejarah umat manusia.

Di saat aliran-aliran filsafat membahas tentang rasio, logos, eksistensi Tuhan, realitas transendental dan lain sebagainya, Filsafat Stoa memilih menyibukkan diri pada manusia itu sendiri. Etika kebahagian yang ada dalam Stoa tentunya tidak akan habis digerus oleh waktu, selama manusia masih memiliki kesadaran untuk berfikir. Hal ini tentunya berbeda dengan fokus kosmosentris yang mana susunan tata surya menurut Pyhtagoras dengan ilmu astronomi modern sangatlah berbeda jauh.

Apabila diselidiki lebih jauh kunci dari keabadian Stoa adalah kontrol. Dalam pemahaman dualisme seperti jahat-baik, hitam-putih, tinggi-pendek dan semacamnya, terdapat dua sisi yang saling bertentangan. Serupa dengan dimensi etis dlaam diri manusia terdapat kejahatan dan kebaikan. Kebaikan merupakan hasil dari menuruti nilai kebaikan ataupun ajaran Tuhan. Sementara kejahatan merupakan bentuk perlawanan akan perintah tuhan dan menuruti keinginan individu. Dengan Stoa, keinginan individu tersebut di arahkan menuju kebaikan.

Mudahnya pemahaman Stoa akan kontrol melambangkan inklusifitas, penghargaan akan keberagaman dan moderat. Dengan kontrol, keinginan diri sendiri tidaklah dijauhi ataupun dibunuh yang mana tentunya menghilangkan makna manusia itu sendiri. Begitu pula sebaliknya, dengan kontrol keinginan jadi terarah dan tidak terejerumus pada kejahatan. Secara keseluruhan, kontrol terhadap diri yang berada dalam jangkauan dan menyadari akan perkara-perkara yang berada di luar jangkauan merupakan konsep yang akan tetap relevan di mana pun dan kapan pun itu.

Filsafat Stoa di Era Digital

Dalam era digital sekalipun, dengan Stoikisme, seseorang tidak akan mudah terjerumus dalam tekanan di dunia digital. Komentar maupun respon yang diberikan setiap warga negara digital merupakan hal yang di luar kontrol manusia. Mengabaikannya dan berfokus pada intropeksi dan peningkatan diri merupakan solusi yang paling baik. Sehingga, kesehatan mental akan terjaga.

Dalam materialisme sekalipun, manusia tidak akan ‘tersiksa’ dengan kebaikan. Melalui prinsip stoa, keinginan bukanlah hal yang durjana lagi hina, melainkan sesuatu yang perlu dikontrol. Membeli barang-barang yang membuat senang merupakan hal yang diperbolehkan selama mendahulukan kebutuhan dan tidak berlebihan. Solusi ini dapat menumbuhkan citra ‘nyaman’ dalam berbuat baik, di mana kebaikan bukanlah melarang seratus persen, melainkan mengkontrolnya dengan bijak.

Dalam kehidupan modern di mana realitas virtual dan nyata susah dibedakan, Filsafat Teras menjadi relevan untuk mengelola stres dan mencapai kedamaian batin. Dengan prinsip-prinsipnya yang sederhana, ajaran ini dapat membawa perubahan besar dalam cara kita memandang hidup dan menjalani hari-hari dengan lebih bermakna. Fleksibilitas Stoa merupakan kunci pemikirannya yang tidak akan berkarat walaupun berbagai ombak samudra silih berganti menyapu.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya