Redefinisi Seniman di Tengah Pandemi

Seniman, sebagaimana sebagian besar rakyat Indonesia, adalah kelompok yang sangat terdampak oleh berlakunya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Mereka yang mengandalkan hidup dari kerumunan alias seniman seni pertunjukan adalah yang paling parah. Pertunjukan teater, pagelaran tari, konser musik, hiburan hajatan, panggung kafe-kafe, maupun kegiatan seni lainnya dilarang atas nama darurat kesehatan. Akibatnya, seniman kehilangan panggungan yang berarti kehilangan pendapatan.
Hal macam ini sudah berlangsung sejak masa awal pandemi merangsek di Indonesia. Bedanya, dulu, pemerintah masih punya cukup dana walaupun pun tidak banyak. Untuk seniman, mereka membuat program khusus agar bisa tetap produktif di masa pandemi. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) RI, misalnya. Lembaga yang sempat dipimpin Wishnutama ini, pada Mei 2020 meluncurkan beberapa program edisi Covid-19, diantaranya “Pentas di Rumah”, “Nulis dari Rumah”, “Ngamen dari Rumah”, dan “Pameran dari Rumah”.
Dalam program tersebut, seniman yang lolos kurasi karya mendapat sejumlah uang. Modalnya—tentu selain karya seni itu sendiri—yaitu kuota dan jaringan internet. Sayangnya, jatah yang disediakan sangat jauh dari mencukupi. Misalnya, untuk program “Pentas di Rumah”, Kemenparekraf hanya menyediakan kuota 200 karya terpilih. Sangat jauh dari cukup bila dibandingkan dengan jumlah seniman yang ada di Tanah Air.
Di tahun yang sama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI menyiapkan skema bantuan khusus bagi seniman melalui program Apresiasi Pelaku Budaya. Dalam program ini tidak ada kurasi karya. Hanya saja, proses verifikasi dan validasinya datanya sangat lama. Bahkan ada yang sampai empat bulan.
Mereka yang lolos akan mendapat sejumlah uang yang langsung ditransfer ke rekening masing-masing. Kendati lebih mudah dan tanpa kompetisi, namun kuotanya tetap masih jauh dari memadai. Sangat tidak sesuai dengan jumlah “pelaku budaya” yang ada di negeri ini.
Kecuali bantuan uang dan sembako dari pemerintah pusat melalui program-program edisi corona, pemerintah daerah (pemda) provinsi dan kabupaten juga punya beberapa skema bantuan sosial (bansos) khusus seniman. Sejumlah pemerintah daerah menggelar pentas virtual non-kompetisi bagi seniman atau kelompok seni di daerah tersebut. Mereka yang tuntas pentas akan mendapat uang. Ada juga pemda yang menyalurkan bantuan berupa paket sembako.
Semua itu terjadi tahun lalu, ketika pemerintah, katanya, masih punya cukup dana. Gelombang kedua kondisinya lain. Gubernur Jawa Barat bahkan terang-terangan menyebut bahwa pemerintahannya tak sanggup memberikan bansos kali ini sebab tak ada anggaran yang cukup.
Di sejumlah daerah, hal ihwal bantuan semasa corona ini menimbulkan persoalan lain. Sama seperti bansos kepada masyarakat umum, bansos khusus seniman juga acap kali tidak merata dan tepat sasaran. Ada yang selalu masuk daftar, bahkan sampai berkali-kali terdata dalam satu program. Ada juga yang belum pernah kebagian sama sekali. Biang kerok kekacauan ini adalah data.
Sebagaimana umum diketahui, data adalah masalah klasik di Tanah Air yang hingga kini belum rampung diurusi. Ketimbang yang lain, mendata seniman relatif lebih sukar dan kompleks sebab, pada kenyataannya, kriterianya tak jelas dan kadang kadang membingungkan.
Untuk mendapat bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), umpamanya, ada kriteria tertentu yang musti terpenuhi sebuah keluarga. Keluarga tersebut musti tergolong Rumah Tangga Sangat Miskin (versi pemerintah) yang memiliki ibu hamil/nifas/menyusui dan/atau memiliki anak balita atau anak usia 5-7 tahun yang belum masuk pendidikan SD, dan/atau memiliki anak usia SD dan/atau SMP dan/atau anak usia 15-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar. Kriterianya jelas. Di luar kriteria tersebut, haram hukumnya mendapat bantuan PKH.
Lantas bagaimana dengan seniman? Apa kriteria seseorang patut dan layak disebut seniman? Apakah seseorang yang menciptakan karya seni otomatis menjadi seniman? Apa itu karya seni? Apa itu seni? Apakah donger monyet di lampu merah tergolong karya seni?
Apa bedanya seorang pemain organ tunggal (music keyboardist) berusia 50 tahun yang sembilan puluh lima persen eksistensi keseniannya di panggung hajatan dan kegiatan selebrasi yang tidak pernah memproduksi karya sendiri melainkan merepetisi karya orang lain yang sudah ada versus seorang pemain biola berusia 23 tahun yang bukan hanya eksis di pangung hajatan dan selebrasi namun juga di berbagai festival dan kompetisi musik plus ia menciptakan lagu dan aransemen sendiri? Apa bedanya pengrajin dan perupa?
Pertanyaan-pertanyaan demikian adalah pertanyaan mendasar yang tidak mudah dijawab. UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan juga tidak memuat definisi seniman versi pemerintah. Salah satu regulasi pemerintah yang dapat dirujuk adalah Perpres Nomor 26 Tahun 1960 tentang Pemberian Hadiah Seni.
Dalam pasal 1 huruf c disebutkan bahwa “seniman ialah orang yang bekerja dalam satu bidang atau lebih yang tersebut pada huruf a”. Sementara pasal 1 huruf a, berbunyi “seni ialah seni rupa, seni drama, seni tari, seni suara, seni bunyi, kesusastraan, dan sebagainya”. Batasan seni dan seniman dalam peraturan ini masih terlalu luas dan penuh bias. Apa batasan “bekerja” yang dimaksud pasal tersebut? Apakah bekerja dalam arti itu sama dengan profesi?
Bila seniman adalah orang yang menjadikan seni sebagai profesi utama atau bahkan satu-satunya dalam hidupnya, di Indonesia jumlahnya tidak akan seberapa. Yang kini disebut seniman di Indonesia sering kali juga adalah dosen, guru, ASN, pemilik toko buku, wartawan, pedagang, dan lain sebagainya. Hidup mereka lebih banyak ditopang oleh “profesi sampingan” tersebut ketimbang “profesi utama”nya sebagai seniman.
Akademisi seni biasanya pandai membuat definisi, membuat sekat jelas antara seniman dan bukan seniman. Antara seni dan bukan seni. Namun, di lapangan, segenap sekat tersebut sering kali ambruk dan tak berlaku. Pasalnya, seni berada dalam spektrum yang sangat luas. Seni bisa berstatus profesi, hobi, ekspresi individu, dan lain sebagainya. Hampir mirip dengan memasak.
Dalam sebuah Podcast di kanal YouTube Lampung Kultur, budayawan Afrizal Malna mengatakan bahwa penghapusan Direktorat Kesenian dari Ditjen Kebudayaan Kemendikbud adalah langkah progresif. Ia berargumen bahwa “negara ngga punya hak ngatur teater, (bahwa) ini tari (dan) ini bukan tari….itu semua urusan sipil.”
Pada titik tertentu argumen ini ada benarnya. Besar kemungkinan argumen “penyair gelap” ini bertolak dari akar pemikiran anti otoritas. Dalam kesenian tidak seharusnya ada otoritas. Kesenian dengan sendirinya akan menjadi kesenian bila semesta, atmosfer, dan ekosistemnya menerima itu sebagai kesenian. Namun, dalam konteks bansos khusus seniman, argumen ini jadi dilematis, bahkan berpotensi jadi bumerang yang bikin seniman kerepotan juga.
Dalam kondisi seperti ini, ketika pemerintah tidak punya data seniman yang valid, Dewan Kesenianlah yang musti hadir sebagai “penyambung lidah rakyat”. Sayangnya, di sejumlah daerah, Dewan Kesenian, atau apa pun istilahnya, belum bisa kerja optimal sebab lebih terlatih sebagai kaki tangan atau eksekutor pemerintah di bidang seni-budaya ketimbang representasi seniman. Di kota/kabupaten di daerah, Dewan Kesenian hampir nyaru dengan dinas kebudayaan itu sendiri. Pada level yang lebih parah, bahkan lebih dinas dari dinas itu sendiri.
Persoalan data memang umum, bukan hanya di dunia seni saja. Di masyarakat umum yang kriterianya lebih jelas saja masih banyak masalah, apalagi di masyarakat seni dengan kriteria yang lebih cair dan luwes. Khusus untuk masyarakat seni, demi kepentingan-kepentingan tertentu seperti penyaluran bansos, pemerintah harus cari formula yang lebih pas dalam pendataan.
Untuk kerja telaten ini, perlu ada sinergi antara pemerintah, Dewan Kesenian/Kebudayaan, seniman, akademisi seni, kritikus seni serta masyarakat seni secara umum untuk meracik suatu formula yang paling pas bagi insan seni di Indonesia. Kendati demikian, pada dasarnya apa yang dikatakan Afrizal mengandung kebenaran: negara tidak berhak menentukan mana seni, mana bukan seni.
Artikel Lainnya
-
50120/05/2024
-
148902/05/2020
-
59820/12/2023
-
95023/01/2022
-
Meme untuk Negeri Berdemokrasi
290419/09/2020 -
Kurikulum Merdeka, Siswa dan Dampak Aktifnya.
437815/03/2022