Pulang dan Kerinduan

Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Flores
Pulang dan Kerinduan 10/12/2019 5152 view Budaya pixabay.com

Tak ada yang bertanya mengapa Malin Kundang pulang. Setelah mengembara bertahun-tahun, setelah memperoleh banyak hal dalam hidupnya, apa yang hendak didapatkannya di sisa masa lalu? Ia bahkan tak mengakui (atau mungkin tak mengenali) ibunya di dusun pantai itu. Ia dikutuk. Legenda terkenal ini tak memberi jawab.

Pulang tampaknya sebuah tujuan bahkan alasan yang dianggap lumrah dalam cerita manusia. Asal-usul punya auranya sendiri. Dalam bahasa Indonesia ada kata “tanah tumpah darah”: dramatis, menyentuh, menambat hati. Seakan-akan ada tali pusar yang suci yang mempertautkan aku dan tanah ini, dan melepaskan diri adalah sebuah dosa.

Tetapi semua orang atau perantau tidak berniat pulang, seperti dikatakan sebuah sajak terkenal H.R. Bandaharo. Tak semua, tak selalu, orang mau kembali bertaut dengan tempat kelahiran. Khususnya generasi yang datang kemudian, ketika zaman guncang dan, serentak dengan itu, bumi kian terbentang dan hal-hal yang semula tak dikenal bisa memberi arti.

Bagi para perantau yang beradu nasib di kota seberang, entah yang sedang mencari nafkah dengan bekerja atau yang sedang membenahi pikir dengan menempuh pendidikan, mereka merupakan para perindu yang telah mengecap setiap cairan kerinduan hingga tetesan terakhir. Tak jarang mereka mesti menahan kerinduan yang begitu menggebu pada kampung halaman merindukan rumah beserta orang-orangnya.

Rumah memiliki kekuatan magis yang amat besar untuk mengundang kepulangan para pengembara waktu. Sekuat apapun orang yang memaksa melepas diri dari belenggu rindu, selihai apa pun orang itu meronta, ketika bayangan tentang rumah memenuhi benaknya – maka ia akan memilih patuh pada kerinduannya dan tak ada lagi yang mampu menghentikan hasratnya untuk pulang, apa pun itu.

Rumah. Satu kata yang maknanya sama sekali tak sederhana. Bukan sekadar tempat tinggal atau tempatmu dibesarkan. Tapi di sanalah cerita perjalanan hidupmu dimulai, dan di sana pula kelak cerita itu akan menemui akhirnya.

Saat ini, kamu mungkin sedang berada jauh dari rumahmu. Kuliah di luar kota, bekerja di negara berbeda, atau tinggal di benua lainnya. Jarak yang kini membentang jelas tak bisa dijangkau dalam sekejap mata. Demi bisa pulang ke rumah, kamu harus berkompromi dengan waktu dan isi kocekmu.

Tetapi bukankah menunggu sambil merindu adalah momen yang paling menyenangkan? Karena ketika kelak rindu itu dituntaskan, bahagia yang kamu rasakan tak lagi bisa diungkapkan.

Sudahkah kamu rindu dengan rumahmu, sekarang? Rindu akan rumah tempatmu tumbuh dan menerima cinta yang hangat dari keluarga.

Rindu merupakan rasa yang selalu minta disegerakan. Keberadaannya punya kekuatan yang mampu menaklukkan jiwa setiap orang, agar hadirnya lebih diprioritaskan. Ia akan membelenggu setiap pemilik hati yang mengabai keinginannya. Ketika tak dituntaskan dengan pertemuan, maka akan menyiksa batin orang-orang yang merasakannya.

Meski terkadang banyak orang yang menyukai sensasi dari kerinduan yang menggebu. Tidak ada yang lebih nikmat ketimbang menikmati puncak kerinduan pada detik-detik penuntasannya, demikianlah penilaian mereka.

Akan tetapi, rindu bukanlah sesuatu yang bisa dimunculkan dengan sengaja. Meski benar bahwa rindu akan terasa, seketika ada jarak yang tercipta. Maka banyak orang yang merekayasa jarak, agar rindu segera menampakkan diri.

Barangkali cara demikian akan berhasil mengundang kehadirannya, namun akan disertai pula dengan kedangkalan rasa; hambar dan bersifat semu. Supaya tak seperti itu, cukup berikan ruang untuk rindu hadir secara alamiah, sehingga kemunculannya lebih sarat makna.

Bagi para perantauan, pulang adalah saat yang paling ditunggu-tunggu. Rasanya, tak ada alasan yang membuatmu enggan atau malas pulang ke rumah. Bahkan segala usaha sengaja kamu lakukan demi bisa sejenak menengok rumah untuk menuntaskan rindumu. Rumah dan keluarga adalah tempatmu belajar sebelum keluar dan menjejak dunia yang sebenarnya.

Selain belajar berjalan atau menggambar, di rumah pula kamu diajarkan tentang agama dan bagaimana selayaknya bersikap pada orang yang lebih tua. Ibaratnya, rumah jadi tempatmu menempa diri sehingga dunia yang sebenarnya bisa kamu hadapi dengan lebih mawas diri. Rumah adalah saksi bisu pertumbuhanmu sebagai seorang individu. Rumah akan merekam cerita tentang segala perubahan dalam hidupmu.

Ketika ingat tentang rumah atau sedang meremang karena rindu pulang, wajah-wajah keluarga lah yang akan berkelebat dalam lamunanmu. Ada ayah dan ibumu yang keriput di wajahnya mungkin sudah bertambah banyak tanpa kamu tahu.

Sementara, adikmu yang terakhir kali terlihat masih imut-imut mungkin sekarang sudah bertambah tinggi dan tumbuh besar. Meski tak bisa dekat dengan mereka, setidaknya kamu tetap bahagia. Kamu beruntung karena masih punya keluarga karena setidaknya kamu tahu ke mana harus pulang.

Jalan pulang senantiasa menuntun kita menemukan rumah yang paling sentosa. Terlepas dari rindu situasi sosial kampung halaman, rumah, tidak pernah mengusir penghuninya. Kemudian melekatkannya sebagai pengelana yang kesepian. Banyak yang dijanjikan atas nama kepulangan, selain kampung halaman dan keluarga.

Kembali bertemu kawan main, berkumpul dengan orang-orang lama yang akan kembali terasa baru pasca kembali bertemu. Wajah dan paras, watak hingga perasaan yang baru. Segelintir pengelana akan rela menunda banyak hal yang benar-benar mengerti esensi kembali ke pangkuan sang rumah ibu.

Orang-orang pendatang dari berbagai kampung akan merasa lain. Terlepas dari perasaan masing-masing manusia pada dasarnya memang sudah berlainan, momen pulang kampung sudah menjadi bagian dari perjalanan hidup. Entah telah sampai pada liang kesuksesan atau belum.

Kita selayaknya tulisan dengan koma titiknya, bukan robot yang dari lahir telah terprogram untuk melakukan ini dan itu, hingga pada akhirnya lupa diri. Dan yang paling menyedihkan, lupa kepada tempatnya berasal.

Kita adalah manusia yang membutuhkan jeda untuk sejenak menikmati, apa pun itu, seperti hujan yang reda di sore yang romantis. Bukankah kehidupan seperti itu, pada akhirnya manusia akan dipertemukan dengan kepulangannya yang hakiki.

Satu hal, bahwa kepergian tak selalu mencipta rasa yang bagi mereka, sukar diartikan dengan air mata dan kesetiaan. Ada tubuh yang berkelana, dan yang lain tentu melalui kegelisahan sembari mengisi ketiadaan dengan terus-menerus ingat.

Ketakutan saya satu, yakni menyesalinya dengan benar-benar tahu bahwa ia akan datang. Bagian paling cepat dari segala yang bisa kita kenang, tapi jika berlarut, ia akan menjelma menjadi kutukan, itulah kalimat untuk pejalan yang lupa arah, sengaja melupakannya.

Manusia membangun harapan, rumah masa depan. Agar suatu hari dapat ditemui, atas nama peristiwa-peristiwa dan perasaan-perasaan yang kita sempat alami di waktu yang lampau. Saya sangat ingin, kau menemukanku atau kita saling bertemu tanpa perjanjian.

Kemudian tiba saatnya, harapan itu pecah menjadi beling-beling kenyataan yang kadang melukai. Saya bisa pulang dengan luka, apakah rumah dapat menyambut itu dengan suka cita? Ada sesuatu yang hendak dipecahkan. Celengan rindu atau hal-hal berharga yang sengaja kita tabung selama jarak memisahkan kenyataan kita. Walau kemudian semua orang tahu, termasuk kau. Kita akan pergi lagi.

Semua orang punya kampung halaman, setiap orang selalu ingin pulang, semua orang memiliki kampung. Tetapi tidak semua perasaan bisa merasa pulang. Belum bisa pulang karena belum sukses meraih cita-cita. Semua orang punya keluarga yang bisa dirindukan adalah sebuah keberuntungan. Karena mereka tak pernah mengecewakan, mereka yang pasti membalas rindumu dengan sepadan.

Buktinya, ayah atau ibu adalah yang paling rajin meneleponmu. Sekadar menanyakan kabar atau meyakinkan bahwa kuliah atau pekerjaan yang kamu jalani berjalan lancar. Mereka juga bisa dengan polosnya bertanya; “Kapan pulang? Pulang ke rumah sebagai dorongan rindu. Sebab di dalam rindu ada harap untuk kembali.

Aku ingin pulang. Inilah perihal pulang yang menghiasi perjalanan kehidupan manusia. Rindu yang tak berkesudahan sampai terdorong untuk pulang. Pulang ke pelukan ibu, dan rumah serta anggota keluarga yang lain. Semoga dengan liburan di akhir tahun ini setiap orang memenuhi kerinduan akan kampung halamannya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya