Prinsip Kerja Pers dalam Demokrasi

Mahasiswa
Prinsip Kerja Pers dalam Demokrasi 30/05/2025 3090 view Politik halaman7.com

Pers adalah anak kandung dari perkembangan teknologi informasi. Realisasi perkembangan teknologi informasi sulit terpikirkan tanpa pers. Hal ini tidak terlepas dari fungsi pers yang de facto beragam. Pers menyajikan informasi-informasi yang tidak terlepas dari realitas kehidupan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat mengakses aneka informasi dengan mudah. Pers juga menjadi corong bagi masyarakat untuk menyatakan hak bersuara atau pendapat di ruang publik. Pers memberi ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan ide, pendapat, suara-suara kritis sebagai respons terhadap aneka isu aktual dalam masyarakat seperti isu seputar politik, sosial, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya.

Di Indonesia, pers dilindungi negara. Hal ini terkonfirmasi dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pasal 4 ayat (1) menegaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Hal ini dipertegas dalam ayat (2) dan (3) yang menyatakan bahwa pers tidak boleh dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelanggaran penyiaran, serta berhak mencari, memperoleh, serta menyebarluaskan informasi kepada publik. UU Pers juga memberikan jaminan hukum bagi jurnalis. Pasal (8) menegaskan bahwa jurnalis berhak mendapat perlindungan hukum terutama saat mengalami ancaman atau kriminalisasi atas karya jurnalistik yang diterbitkan. Dalam pasal 18 ayat (1) juga ditegaskan bahwa barangsiapa yang menghalangi atau menghambat kerja-kerja pers akan dipidana dengan hukuman penjara maksimal dua tahun atau denda hingga lima ratus juta rupiah.

Dalam negara yang berpayung demokrasi seperti Indonesia, pers memiliki peranan yang vital. Pers menjadi salah satu pilar dan tiang penyanggah demokrasi agar tetap berdiri kokoh. Pers hadir sebagai alat kontrol masyarakat terhadap kinerja penguasa. Karenanya, pers dapat mengkritik dan mengevaluasi aturan-aturan yang dibuat penguasa apabila diduga tidak menjawabi kebutuhan masyarakat. Pers juga menjadi sarana komunikasi masyarakat kepada pemerintah untuk menyatakan hak bersuara sebagai ekspresi hak politik berupa aspirasi, kritik, pendapat, usul-saran, terhadap para penguasa apabila kiprah kepemimpinannya melenceng dari koridor demokrasi.

Persoalan Krusial

Akan tetapi, perlindungan pers masih terpenjara dalam narasi. Menjalankan fungsi pers bukanlah tugas yang selalu mudah, mulus, dan tanpa gangguan. Walaupun kerja-kerja pers di Indonesia diakui secara konstitusional, tapi pers kerap mendapatkan tantangan dalam menderma tugas-tugasnya. Ada aneka potret buram yang mewarnai kerja-kerja pers. Para jurnalis kita kerap mengalami perlakuan represif dan intimidatif dari penguasa. Hal ini dijustifikasi aneka fakta yang terjadi belakangan ini.

Menurut Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 yang dirilis oleh Yayasan Tifa, PPMN, dan HRWG bersama Populix, kekerasan terhadap jurnalis masih mengakar kuat, terutama di masa transisi pemerintahan. Dari 760 jurnalis yang disurvei, 25% mengaku mendapat intimidasi, 23% menghadapi ancaman langsung, 26% dilarang memberitakan isu tertentu, dan 44% dicegah meliput di lapangan (Gemazine, 7/4/2025).

Selain itu, ketua umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida, dalam momentum peringatan World Press Freedom Day (WPFD) pada 3 Mei 2025, meyatakan bahwa perlindungan akan kebebasan pers semakin menipis di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran. Kasus kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis meningkat. Pada Maret 2025, AJI mencatat 75,1% jurnalis Indonesia mengalami intimidasi, baik fisik maupun digital. Laporan ini didasarkan pada survei terhadap 2.020 jurnalis di Indonesia. Hal ini berdampak pada merosotnya kebebasan pers di Indonesia. Berdasarkan laporan World Press Freedom Index 2025 yang dirilis Reporters Without Borders (RSF) pada 2 Mei lalu, kebebasan pers Indonesia merosot hingga ke posisi 127 dari 180 negara (AJI, 3 Mei 2025).

Data-data di atas hendak mengandaikan bahwa dinamika demokrasi di Indonesia masih jauh dari api panggang. Urusan politik direduksi sebagai urusan kaum penguasa semata. Hal ini mengantar penguasa pada satu klaim bahwa mereka memiliki hak penuh dalam mendistribusikan dan melaksanakan kekuasaan politik, pembuatan regulasi, dan penetapan hukum. Kemudian, masyarakat didemoniasasi sebagai kumpulan massa mengambang yang tidak paham politik. Sebagai konsekuensi logisnya, hak partisipasi politik masyarakat termarjinalnya.

Pembungkaman pers adalah tantangan nyata bagi tegaknya demokrasi Indonesia. Pembungkaman pers menjadi salah satu indikasi upaya penguasa dalam membunuh demokrasi. Tindakan ini mengekspresikan sikap pemerintah yang kedap kritik. Tentu, sikap demikian kontraproduktif dengan prinsip transparansi, di mana penguasa membuka ruang bagi masyarakat untuk menyatakan hak politisnya, terkhusus pers. Penguasa harus mengakomodasi kerja-kerja pers dalam menentukan arah gerak politik. Melalui pers, masyarakat menyatakan hak politisnya dalam mengontrol kinerja penguasa terkhusus dalam menentukan aturan publik agar sungguh berorientasi pada pemenuhan kehendak umum, bukan untuk mengartikulasikan kehendak parsial penguasa.

Harapan untuk Pers

Pers adalah salah satu benteng kokoh bagi demokrasi yang sehat. Sebagai alat kontrol, tugas pers niscaya dibutuhkan dalam mengawasi kinerja pemerintah agar tidak memungunggi nilai-nilai etis demokrasi. Dengan demikian, potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh penguasa diminimalisasi. Kerja-kerja pers akan berhasil bila pers independen atau tidak mudah terkooptasi oleh kekuasaan mana pun, bersatu untuk melawan represi, menciptakan jurnalisme yang bermutu, dan terus berpihak pada kepentingan publik. Pers harus tidak boleh lelah dan patah semangat dalam menyuarakan kebenaran di hadapan para penguasa yang lalim, korup, egois, dan culas. Hanya dengan pers yang bebas, independen, dan berkelanjutan, demokrasi niscaya bertahan.

Menyadari diri sebagai pemimpin demokratis menjadi keharusan. Menurut mendiang Ignas Kleden, pemimpin demokratis ialah sosok yang tidak pernah berpretensi menjadi pemimpin yang tanpa cacat. Pemimpin demokratis diandaikan bisa melakukan kesalahan, tapi dia memiliki moral courage untuk dikoreksi, dikritik, dan mengakui kesalahan lalu bersedia memperbaikinya. Pemimpin demokratis seyogyannya tunduk pada pengawasan publik, baik melalui hukum yang berlaku maupun kontrol sosial oleh publik melalui pers. Karena dalam demokrasi, pemimpin menjadi baik dan benar karena terhindar dari aneka penyelewengan berkat pengawasan dari orang-orang yang dipimpinnya secara khusus pers. 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya