Thrift Shop dan Delusi Menyelamatkan Lingkungan
Dewasa ini, atau sejak dua puluh tahun terakhir industri pakaian dunia melesat tinggi, berbagai macam mode, bahan dan pameran diselenggarakan, atas nama industri kapitalisme dan juga nilai lebih yang hanya menjadi tujuan. Fast Fashion adalah istilah yang digunakan oleh industri tekstil yang mengacu pada pakaian yang diproduksi secara massal dan cepat berganti setiap waktu. Pakaian ini diproduksi dengan harga cukup mahal dan cepat berubah setiap waktu untuk memaksimalkan tren saat ini, serta menggunakan bahan baku yang berkualitas buruk, sehingga tidak tahan lama.
Istilah ‘fast fashion’ menjadi banyak diperbincangkan dalam percakapan seputar mode, keberlanjutan, dan kesadaran lingkungan. Karena industri fast fashion seringkali tidak memperhatikan dampak buruk terhadap lingkungan. Industri ‘fast fashion’ biasanya menggunakan warna-warna cerah, motif dan tekstur kain yang menjadi daya tarik industri fesyen diperoleh dari bahan kimia beracun. sehingga dapat menyebabkan pencemaran air dan beresiko terhadap kesehatan manusia.
Imbas terbesar dari produksi fast fashion adalah kerusakan lingkungan, yang melibatkan antara lain; Pertama, air. Di antara dampak lingkungan dari fast fashion adalah menipisnya sumber daya tak terbarukan, emisi gas rumah kaca, dan penggunaan air dan energi dalam jumlah besar. Industri fashion adalah konsumen air terbesar kedua, membutuhkan sekitar 700 galon air untuk memproduksi satu kemeja katun dan 2.000 galon air untuk memproduksi jeans. Pencelupan tekstil adalah pencemar air terbesar kedua di dunia karena residu dari proses pencelupan sering dibuang ke parit, sungai atau laut.
Kedua, mikroplastik. Selain itu, brand menggunakan serat sintetis seperti poliester, nilon, dan akrilik yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai. Laporan tahun 2017 dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) memperkirakan bahwa 35 persen dari semua mikroplastik – potongan kecil plastik yang tidak dapat terurai – di lautan berasal dari pencucian tekstil sintetis seperti poliester.
Ketiga, energi. Produksi pembuatan serat plastik menjadi tekstil adalah proses intensif energi yang membutuhkan minyak bumi dalam jumlah besar dan melepaskan partikel yang mudah menguap dan asam seperti hidrogen klorida. Selain itu, kapas yang banyak menjadi produk fast fashion juga tidak ramah lingkungan untuk diproduksi. Pestisida yang dianggap perlu untuk pertumbuhan kapas menimbulkan risiko kesehatan bagi petani.
Untuk mengatasi limbah yang disebabkan oleh mode cepat ini, kain yang lebih berkelanjutan yang dapat digunakan dalam pakaian termasuk sutra liar, katun organik, linen, rami, dan lyocell.
Secara global, kita sekarang mengkonsumsi sekitar 80 miliar potong pakaian baru setiap tahun—400 persen lebih banyak daripada yang kita konsumsi dua dekade lalu. Paradoksnya, semakin kita menikmati membeli pakaian, semakin kita tidak ingin memakainya.
Industri Thrift Shop
Industri ini sebenarnya sudah ada sejak dulu, mungkin juga sejak dekade 80-an, ketika meningkatnya industri fast fashion di dunia, dalam catatan tertentu Thrift Shop juga ada sejak era Elizabeth, abad 18. Berawal dari badan-badan amal Gereja dan juga bazzar pasar murah. Thrift pada awalnya ditujukan selain sebagai amal untuk kemanusiaan, tapi juga dilakukan agar konsumsi pakaian lebih hemat dengan barang bekas yang layak pakai. Tetapi, dalam lima tahun terakhir terjadi pergeseran tujuan, yang mengakibatkan permasalahan lingkungan yang cukup besar.
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas,tetapi yang terjadi adalah semakin banyaknya toko-toko yang dibangun dengan menjual thrifting.
Pada akhirnya, perkembangan pesat industri fast fashion merupakan salah satu industri yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, sedangkan thrift shop berdalih mereka mencoba untuk mengurangi kerusakan lingkungan dengan cara menjual produk baju bekas layak pakai . Tetapi, pada dasarnya mereka juga import baju bekas tersebut, atau bahasa kasarnya bisa saya jelaskan adalah membeli limbah dari luar negeri untuk dijual di dalam negeri. Sehingga sebenarnya mereka tidak berusaha untuk mengurangi kerusakan lingkungan, yang mereka lakukan malah untuk menyebarkan kerusakan lingkungan dengan menjual kembali baju-baju bekas itu
Perlunya kesadaran bersama yang harus kita lakukan, bersama-sama menyelamatkan lingkungan dengan cara perlahan-lahan mengurangi konsumsi pakaian-pakaian baru atau merayakan bersama kerusakan lingkungan dengan berlindung dari budaya membeli baju bekas?
Artikel Lainnya
-
38727/08/2024
-
132105/01/2024
-
33308/11/2023
-
Akar Bawah Korupsi: Apakah Sudah Menjadi Budaya Kita?
20420/07/2024 -
Cara Berpikir Sistemik Adalah Kunci
1059830/06/2020 -
Quo Vadis Sistem Peradilan Indonesia?
75417/04/2025
