Seragamisasi, Represi, dan Reduksi Esensi di Dunia Pendiidikan
Hampir saya menginjak masa tahun akhir sebagai pelajar. Masa-masa pendidikan yang senantiasa direproduksi oleh negara ini tentunya sudah menjadi kewajiban universal bin fardu bagi setiap pelajar dan calon pelajar untuk dijalani. Apa yang didapat oleh seluruh pelajar yang telah melewati masa pendidikan tentunya beragam pendapat.
Tetapi mereka tak punya cukup ruang untuk mengungkapkannya. Alih-alih mengungkapkannya, mereka justru tak punya waktu akibat dihantam oleh realitas dunia industri yang menantinya. Maka, sebagai salah satu dari jutaan bahkan miliaran pelajar yang telah melewati masa tersebut, biarkanlah saya mencoba untuk mewakili suara-suara mereka yang tenggelam.
Represi dalam Pengajaran
Pola yang sering kali saya jumpai dalam bertahun-tahun mengenyam pendidikan memiliki beragam corak. Namun berbagai corak tersebut terdapat satu bentuk corak yang selalu ada sejak dulu hingga sekarang: represi dalam pengajaran.
Murid-murid—termasuk teman-teman saya, oleh guru, senantiasa diberikan suatu pemahaman bahwa apa yang dikatakan oleh guru harus selalu ditaati.
Pengajaran yang diberikan guru selalu benar, nir-salah. Kalau pun salah harus kembali pada tesis satu: guru selalu benar. Sehingga, ketika apa yang diberikan oleh guru terkesan menyeleweng dari apa yang sebenarnya, murid akan membeo saja tanpa melakukan gugatan.
Pernah suatu waktu seorang teman SMA mengeluh pada saya. Ia merasa pengajaran yang diberikan oleh seorang guru telah keluar garis dari materi-materi yang telah ditetapkan. “Mengapa koe tak berani bilang?” ucap saya padanya. “Ah, tak perlu,” timpalnya. “Mungkin beliau punya rencana tersendiri.” Rencana! Rencana apa? Jelas-jelas terbukti dengan mata kepala sendiri! Seorang teman saya yang benar bahkan merasa inferior jika dihadapkan pada seorang guru yang salah.
Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Pertama, dominasi pengajaran satu-arah, pasif, dan berorientasi pada guru adalah warna-warna yang menyebabkan kondisi murid-murid kagok untuk melawan bentuk represif terselubung ini. Guru mendikte, murid mencatat tunduk.
Tanpa bertanya, tanpa meragukan sesuatu pun. Steril dari apa yang disebut sebagai perdebatan. Ibarat murid-murid dicekoki makanan yang entah mereka tahu atau tidak apa yang ia makan. Jika pun sadar dan bangkit ingin bertanya hal tersebut, mereka sudah padam nyalinya. Pada akhirnya, terima-terima saja makanan basi atau lezat itu.
Kedua, narasi bahwa guru dianggap memiliki strata tinggi dibanding seorang murid selalu diulang-ulang. Hal ini pun dipercayai begitu saja tanpa sadar oleh murid-murid. Mengutip pendapat Rocky Gerung bahwa kelas sekolah adalah tempat paling bebas di muka bumi ini. Ya, bebas secara harfiah dan literal. Artinya, stratifikasi antara guru dan murid lenyap sama sekali. Murid bisa membantah dan mengkritik seorang guru, vice versa.
Soe Hok-gie, mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Indonesia (UI) cum aktivis ’66, mengungkapkan pelajaran berharganya semasa ia bersekolah di SMA Kanisius Jakarta. Hal ini ia tuangkan dalam Catatan Seorang Demonstran (2019). Ia berkata, “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukanlah kerbau.”
Seragamisasi dalam Pikiran
Akibat bersihnya kelas dari apa yang disebut perdebatan, berbasis orientasi pada guru dan represi inilah, kelas sekolah hanya terisi oleh keseragaman pikiran murid yang dipaksakan oleh seorang guru.
Ditambah lagi, metode-metode pengajaran yang usang telah menambah beban dalam seragamisasi pikiran. Cara kuno dalam pengajaran yang berujung pada tumpulnya untuk memecahkan masalah dan merosotnya nalar kritis.
Chris Wibisana, dalam esai “Pelemahan Daya Argumentasi: Catatan Empiris untuk Esai Ben K. C. Laksana [Bagian 2]”, menulis, “para pendidik di sekolah cenderung lebih senang membuat soal dalam bentuk pilihan berganda daripada menantang siswanya menyusun eksposisi teoretis atau esai dengan tema, kerangka dan batasan tertentu. Tindakan yang terang menumpulkan logika dan nalar kritis ini merupakan cara membunuh daya intelektual secara perlahan.”
Alhasil, murid tak bisa mengembangkan pikiran sendiri di luar arus derasnya keseragaman pikiran dalam pengajaran pasif. Murid tak mempunyai referensi lain selain mengikuti apa yang diucapkan dan diajarkan padanya.
Sekolah tak ubahnya menjadi penjara industri yang nyata bagi seluruh murid. Bangunan yang dinamai sekolah itu dapatlah saya sebut sebagai pabrik yang menciptakan barang mentah menjadi barang jadi sesuai yang telah ditentukan. Sekolah menjadi pencetak produk yang diharapkan memproduksi skema pikiran-pikiran yang telah diatur agar dapat diaplikasikan kepada murid-murid. Tak ada yang berbeda satu dengan yang lain. Tak ada yang baru. Segalanya sama saja.
Apa yang dapat dihadapi oleh seorang murid, setelah ia lulus dari sekolah, pada dunia serba digital? Sementara bekal yang ia punya hanyalah pikiran yang seragam yang tak ada bedanya dari satu dengan murid lainnya? Tentu ia akan tersingkir dari dunia yang cepat berubah ini.
Mereduksi Esensi dari Pendidikan
Dengan metode, praktik, dan ‘kepemimpinan represif’ oleh guru, pada dasar-sedasarnya, telah merusak esensi dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan tak lain semacam cangkokan ilmu yang dipaksakan dari guru pada murid tanpa mengeluarkan inti dari suatu ilmu: berpikir kritis. Pendidikan telah kehilangan jati dirinya. Kita—aku dan kamu—barangkali menjalani suatu pendidikan yang tak bersifat pendidikan.
Coba dengarkan esensi pendidikan dari seorang filsuf India, Swami Vivekananda: Pendidikan bukanlah jumlah informasi yang kami masukkan ke dalam otak Anda dan membuat kekacauan di sana, tidak tercerna, sepanjang hidup Anda. Kita harus memiliki pembangunan kehidupan, pembuatan manusia, dan pembentukan karakter asimilasi ide.
Jika masih terasa kurang nafas arti dari pendidikan, mari menemukan arti pendidikan dari buku Pedagogy of the Oppressed karya Paulo Freire—pendidik Brasil: Pendidikan adalah jalan menuju pembebasan umat manusia dengan cara mengembangkan fakultas-fakultas dalam diri murid.
Mungkin kurang terasa khas Indonesianya, maka kita hadirkan Ki Hadjar Dewantara sebentar saja, untuk menerangkan esensi dari pendidikan itu. Ia berkata: Pendidikan adalah kemerdekaan. Artinya, merdeka bagi setiap orang untuk menjadi apa saja.
Makna pendidikan bagi Ki Hadjar Dewantara berkelindan dengan filsafat progressivisme yang meyakini bahwa kemerdekaan berpikir, bertindak, dan orientasi condong pada murid adalah segalanya. Sungguh-sungguh segalanya.
Pun, menurut Paulo Freire, di mana saya garisbawahi mengenai pengembangan fakultas-fakultas dalam diri murid adalah pokok prinsipiil dalam pendidikan. Lalu apa yang diungkap oleh Vivekananda selaras dengan Ki Hadjar Dewantara ataupun Paulo Freire.
Kemudian dapatlah ditarik benang merah secara induktif bahwa pendidikan adalah sesuatu barang yang memerdekakan. Sesuatu yang membebaskan setiap murid-muridnya untuk memiliki pikirannya sendiri, tidak dogmatis, dan tidak dikteis.
Jika kita cocokkan dengan metode-metode pendidikan Indonesia—represi dan seragamisasi—dewasa ini dan apa yang saya alami selama berkecimpung dalam dunia pendidikan, apakah terdapat keselarasan dengan esensi dari pendidikan? Saya berani katakan, tidak.
Artikel Lainnya
-
109616/09/2024
-
190106/02/2020
-
141510/11/2020
-
Catatan Redaksi: Reaksi Normal Atas Situasi Abnormal
171710/04/2020 -
Menggali Nasionalisme Melalui Sepak Bola
65713/07/2022 -
Catatan Redaksi: Tegakkan Korupsi Atau Mati Syahid
122226/09/2020