Politik Media vs Media Politik

Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, NTT
Politik Media vs Media Politik 21/02/2020 2225 view Politik hackernoon.com

Tak mudah membaca manuver elit politik jelang pilkada. Kadang apa yang diucapkan dan dilakukan selalu menimbulkan kontroversial. Yang dikatakan lima tahun lalu, bisa saja berubah dalam perjalanan waktu atau berbanding terbalik. Sekurang-kurangnya paradoks ini yang kita temukan ketika elit politik gagal merealisasikan janji politik.

Hari-hari ini, suguhan paradoks itu sudah tersingkap ke publik. Ketika elit politik itu kurang mampu merealisasikan janji politik melalui kebijakan-kebijakannya, maka otomatis kepemimpinannya tidak membawa perubahan bagi masyarakat. Sukses dan gagalnya elit tergantung dari apa yang dibuat.

Salah satu cara melacak kesuksesan dan kegagalan elit ialah dengan membaca jejak langkahnya di media, baik cetak maupun elektronik. Kalau dalam media elit politik sering nongol akibat “kegaduhan” dan kegagalan, maka publik perlu membacanya secara kritis-selektif.

Namun, biasanya frame elit politik depan media jelang pilkada selalu baik. Media-media selalu “memodifikasi” berita dan menampilkan citra positif, walaupun banyak kegagalan. Media akhirnya terjebak dalam kerja “politik perwakilan” akibat defisit kerja elit politik. Media menyalurkan aspirasi elit melalui framing tanpa beban. Fakta berubah menjadi kepentingan dan nilai dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik terhadap elit. Akibatnya, media-media mulai terfragmentasi oleh pilihan dan dukungan politik.

Media masuk dalam kutub-kutub kepentingan elit sambil “mengais” rejeki. Inilah pembacaan yang tidak berlebihan, bahkan tidak berdosa. Disinyalir, salah satu faktor krisis dan mandegnya demokrasi di Indonesia belakangan ini ialah karena tergerusnya peran jurnalisme media-media sebagai penyangga demokrasi, alat kontrol kekuasaan.

Peran jurnalisme dalam media-media cetak maupun elektronik semakin melempem akibat dikooptasi oleh oligaraki. Efek dominonya ialah kepentingan oligarki media mendahului dan melampaui kepentingan publik. Segala pemberitaan terkait pembangunan dan kebijakan publik secara pasti dikontrol oleh oligarki.

Maka yang terjadi ialah media berperan sebagai industri kapitalistik yang berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari oligarki. Disorientasi ini menyebabkan kekacauan dalam ruang publik politis saat ini.

Kekacauan itu bukan hanya terjadi pada level akar rumput, melainkan juga kaum akademis. Sebab, polarisasi media ke dalam kutub-kutub meyebakan matinya akal sehat dalam menilai elit politik. Yang disaksikan dan diterima rakyat jelata ialah beragamanya analisis-analisis politik di tingkat elit. Hasil-hasil argumentasi itu di tingkat elit hanya merupakan bentuk apologia untuk melindungi elit-elit politik.

Fenomena ini mengantar publik pada pemahaman Hannah Arendt, seorang filsuf Yahudi tentang pertumbuhan kapitalisme dalam ruang publik demokrasi. Arendt sebagaimana dikutip F. Budi Hardiman menjelaskan bahwa ekspansi pasar ke wilayah-wilayah publik menghasilkan naturalisasi, yakni proses-proses komunikasi dalam kebebasan untuk saling pengertian dalam ruang publik diganti dengan mekanisme survival untuk mengonsumsi atau menaklukkan pihak lain (Hardiman,2010:193). Itu berarti rasionalitas instrumental dan mengkolonisasi ruang publik.

Ruang publik-politis didominasi oleh kepentingan-kepentingan penguasa. Yang disaksikan ialah hegemoni media atas ruang publik-politis dengan mengusung panji politik perwakilan. Sokongan dan dominasi pasar sebagai mesin penggerak akan berdampak pada raibnya ruang publik yang berdaulat itu.

Terhadap hal ini, Colin Hay dalam bukunya Mengapa Kita Benci Politik (2007) pernah dengan gamblang mengatakan bahwa ketika arena politik bekerja hanya untuk melayani rasionalitas kepentingan pragmatis personal elit-elit politik, proses tersebut akan berubah menjadi irasionalitas kolektif.

Irasionalitas itu nampak dalam kerja politik media bersama aktor-aktor politik yang kekurangan cara dalam rangka membangun kepercayaan masyarakat. Karena itu, ada sebagain masyarakat menilai bahwa media-media itu merupakan tangan kanan elit politik dalam memproduksi berbagai kebencian dalam masyarakat.

Sisi lain, penetrasi oligarki yang berkelindan memungkinkan ketertutupan informasi kepada publik. Publik hanya membaca bayang-bayang elit di tingkat akar rumput. Padahal, media memainkan peran penting dalam kehidupan publik saat ini. Bahkan secara etimologis, kata media memiliki makna locus publicus. Akan tetapi, seperti yang mungkin juga terjadi di negara-negara lain, media di Indonesia tampak semakin digerakkan oleh motif keuntungan sesaat-temporal.

Pemahaman lebih lanjut melihat bahwa media tetaplah sebuah ranah yang diperebutkan oleh berbagai kelompok kepentingan, mulai dari politik dan bisnis hingga blok-blok religius-fundamentalis, yang bersaing untuk meraih kendali dan pengaruh, meskipun terlihat jelas satu pihak memiliki kekuasaan lebih dibanding lainnya. Media terlihat dikendalikan oleh akumulasi modal, sehingga industri dapat mengelak dari peraturan-peraturan yang ada.

Hari ini publik masih berharap agar media-media mampu melawan ortodoksi dominasi oligarki. Selain merestorasi misi media melalui penguatan etika jurnalisme, sebaiknya dalam rangka konstelasi politik pilkada media berperan sebagai literasi politik.

Dalam hal ini, kerja media politik tidak berada di dalam ketiak kekuasaan. Berada di luar kekuasaan dan menciptakan iklim pencerdasan publik. Dapat dikatakan sebagai agensi perjuangan kepentingan publik. Kerja media politik bukan memproposalkan kepentingan elit, melainkan tujuan-tujuan masyarakat melalui kontrol. Peran kontrol dapat terwujud apabila media-media mampu mewartakan fakta-fakta sosial-politik tampa dikontrol siapapun, selain kepentingan bersama.

Untuk itu, hemat saya kewaspadaan media terhadap penetrasi oligarki jelang pilkada sangat dibutuhkan publik dengan menampilkan berita-berita tanpa memodifikasi dalam rangka akumulasi kapital. Hanya melalui konsolidasi media secara internal tanpa campur tangan siapa pun, demokrasi semakin sehat.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya