Media Sosial dan Kualitas Debat Kita
Perkembangan media sosial mulai merambah ke setiap lapisan masyarakat. Media sosial tidak hanya dimanfaatkan sebagai medium untuk mendapatkan informasi ataupun berkomunikasi, tetapi menjadi tempat yang menumbuhkan adanya debat. Debat mungkin bagi kita (pembaca) sudah tidak asing lagi. Bahkan setiap hari kita selalu mempraktekan dimana saja dan itu merupakan hal menarik yang akan memperkaya wawasan.
Namun bagaimana media sosial kita hari ini menempatkan debat dalam arus informasi dan komunikasi yang semakin berkembang? Di sini saya memulai dengan gagasan awal bahwa kualitas debat kita terutama di media sosial mulai kedaluwarsa. Hal ini sangat berkorelasi dengan gagasan yang makin memperkeruh dan tidak realistis yang seringkali membanjiri halaman media sosial.
Artinya, debat di media sosial seringkali melahirkan bentuk debat yang tidak mencerminkan argumentasi yang kritis. Malah debat yang muncul di ruang media sosial menjadi hambar dan tidak menawarkan solusi praktis. Sebetulnya media sosial menjadi penting bagi siapa saja (netizen) dalam menemukan diskursus baru. Bukan malah menjadikan media sosial sebagai ruang untuk menstigma sesuatu yang dirasa berbeda.
Hal semacam ini justru mempertegas bahwa media sosial yang kita manfaatkan belum bisa melahirkan bentuk baru yang mampu merobohkan sikap ekslusif terhadap pengetahuan. Bagi saya, media sosial harus menjadi basis bagi terbentuknya ruang debat yang mendaraskan argumentasi dari kajian dan telaah kritis. Jika hal ini terpinggirkan, saya yakin keutamaan debat (melalui media sosial) justru akan mengerdilkan makna debat itu sendiri.
Hal demikian akan berdampak buruk bagi keberlangsungan debat yang berkualitas. Karena ruang media sosial malah meminggirkan kualitas debat dan tidak mendukung adanya debat dalam media sosial. Selama ini yang saya temui di media sosial, setiap orang justru enggan berdebat. Anggapan yang muncul pun beragam, mereka tidak suka berdebat lewat media karena kurang menarik.
Anggapan lain mengatakan, debat di media sosial seringkali tidak maksimal tetapi hanya akan memperkeruh sesuatu yang diperdebatkan. Bagi saya kedua anggapan ini (dan anggapan lain yang serupa) justru memperlihatkan minimnya kesadaran untuk berdebat. Jika debat di media sosial kurang beretika, lantas apakah ukuran etika debat harus selalu di ruang terbuka (bertatap muka).
Logika seperti ini mulai membanjiri ruang publik dan dianggap benar. Justru bagi saya kelompok seperti ini tidak memahami esensi penggunaan media sosial dan debat itu sendiri. Mereka malah membentengi diri dengan logika semacam tadi 'tidak beretika debat melalui media sosial'. Di sini saya bisa menyimpulkan (walaupun belum semuanya) bahwa kelompok yang anti debat melalui media sosial belum mampu menjangkar lebih luas dari makna debat yang seharusnya. Dalam logika seperti itu, mereka mulai menanam logika untuk membungkam debat lewat media sosial.
Suatu bentuk kekeliruan yang tidak bisa ditolerir. Karena bagi saya, ruang media sosial dengan adanya debat akan menempatkan akal sehat terus memproduksi khazanah pengetahuan yang jernih, utuh dan akurat. Namun jika media sosial ditempatkan dan dibentur dengan logika sempit seperti itu, bagi saya debat di media sosial mulai mengalami bentuk kedaluwarsa. Setiap individu tidak lagi berkomentar terhadap pandangan individu lain untuk memperdalam pandangan tersebut.
Artinya disini iklim debat mulai terdegradasi dan digantikan dengan bumbu lelucon yang mewarnai media sosial kita. Pada saat yang sama media sosial ikut tenggelam dalam bentuk yang paling buruk yaitu tidak mencerdaskan penggunanya. Karena bagi saya memanfatkan media sosial secara bijak dan cerdas bukan hanya digunakan untuk berkomunikasi, mencari informasi tetapi merupakan media yang mampu melahirkan diskursus baru dan itu dilakukan lewat debat.
Di sini saya sebetulnya menginginkan adanya debat dalam media sosial yang berkualitas. Menurut saya, media sosial harus menghadirkan sebuah debat yang mampu menuntun setiap penggunanya untuk terus berpikir. Debat melalui media sosial menjadi penting dan harus dilakukan. Di sana setiap orang bebas mengutarakan gagasan dengan siapa saja dan membantah gagasan untuk melahirkan gagasan baru.
Jika hal seperti ini terpinggirkan dari kesadaran kita, media sosial tidak lebih hanya sebagai ruang bertamu bagi penggunanya untuk mencari sensasi. Sensasi itulah yang justru melibatkan kita untuk mengkritik apa saja yang ada di media sosial tanpa didukung dengan telaah kritis. Kondisi semacam ini tentu tidak mencerdaskan.
Bagi saya, etika debat dalam media sosial letak utamanya terdapat dalam pola komunikasi dan tata bahasa (diksi) yang kita gunakan. Bukan etika itu tidak mengharuskan debat di media sosial. Barangkali logika seperti ini perlu dibuang agar tidak menyesatkan. Setiap orang perlu menyadari bahwa debat melalui media sosial sangat diharapkan dan harus ditingkatkan. Jika ini dilakukan, media sosial akan menjadi ruang yang melahirkan gagasan yang bernas. Sampai disini kita akan menjadi lebih bijak dan cerdas dalam menggunakan media sosial.
Artikel Lainnya
-
30818/02/2024
-
206419/11/2019
-
156523/09/2019
-
Polemik Kebijakan Hukuman Kebiri Kimia
89011/01/2021 -
Adu Cepat Menutup Kebocoran Data Pribadi
69730/05/2021 -
Kritik Terhadap Film Dokumenter Seaspiracy
177504/06/2021