Polemik Pajak Sekolah dan Sembako

Saya sih setuju-setuju saja jika ada pajak untuk sekolah dan sembako. Masalahnya adalah, apakah kebijakan tersebut akan membantu memulihkan perekonomian? Seberapa signifikankah pengaruhnya? Ada banyak orang yang menganggap, "bukankah itu sama saja dengan strategi menunda kekalahan (strategi putus asa belaka)?" Artinya kebijakan yang diambil hanya untuk mengulur waktu agar tidak langsung collapse.
Saya sebagai warga negara biasa dan juga rakyat kecil setuju-setuju saja jika sektor tersebut dipajaki. Masalahnya adalah bagaimana kebijakan tersebut diaplikasikan di lapangan? Apakah akan betul-betul terlaksana dengan baik? Tanpa manipulasi dan korupsi?
Bukan tanpa alasan pikiran itu muncul sebab sudah banyak contoh dari kebijakan terdahulu yang pengaplikasian di lapangan sering dimanipulasi (dikorupsi). Contohnya saja bantuan sosial untuk warga kurang mampu (bantuan sembako Covid-19). Dalam kondisi kritis seperti itu saja masih ada orang yang dengan tega mengambil “rupiah” untuk keuntungan pribadi. Bukan tidak mungkin hasil dari pemajakan sekolah dan sembako juga nanti akan dikorupsi. Setidaknya itulah dua masalah yang menjadi curahan hati rakyat yaitu kebijakan yang kurang tepat juga dan ketidakpercayaan pelaksanaan di lapangan karena kemungkinan hasil pajak akan dikorupsi.
Adapun jika suatu saat kebijakan ini memang benar-benar diambil seharusnya ada segmentasi pajak. Jangan dipukul rata. Masak rakyat kecil juga ditarik pajak? Sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari saja sudah sangat pas-pasan. Mereka harus mencari tambahan penghasilan di mana lagi?
Anggap saja harga beras 1 kg Rp11.000, telur 1 kg Rp29.000 maka total belanja setelah pajak ppn sebesar Rp44.000. Memang kelihatannya tidak begitu jauh dari harga sebelum ppn. Namun, bagi rakyat kecil bisa berhemat Rp3000- Rp4000 sudah merupakan prestasi yang luar biasa.
Bayangkan saja jika frekuensi belanja seperti ini satu minggu dua kali, maka dalam sebulan akan menghemat Rp32.000. Kita tahu nominal segitu bagi orang kaya tidaklah berarti apa-apa, tapi bagi masyarakat yang hidupnya pas-pasan sangatlah berharga. Bisa menghemat beberapa ribu adalah kebahagiaan tersendiri. Alasan banyak orang yang menggugat kebijakan ini antara lain disebabkan hal tersebut yaitu menambah beban penderitaan rakyat kecil.
Ditambah lagi kita masih belum keluar dari situasi krisis akibat pandemi Covid-19. Masyarakat kita sedang dalam kondisi yang tidak bagus, baik secara fisik dan mental. Keadaan ekonominya kembang kempis. Banyak yang menganggur karena terkena PHK atau usaha yang bangkrut. Kita sama-sama sedang dalam kondisi sulit, maka jangan diperparah dengan pengambilan kebijakan yang arogan.
Seharusnya tugas negara dan pemerintah di saat seperti ini adalah menggembirakan hati rakyat dengan kebijakan yang taktis. Membuat suatu langkah terobosan untuk mencari jalan keluar dari krisis akibat pandemi Covid-19. Sebab sudah setahun lebih pandemi ini makin lama makin tak terkendali. Jumlah orang yang terpapar semakin tinggi dan penyebarannya merambah masuk ke wilayah-wilayah pedesaan. Artinya banyak ketidakmenentuan dan ketakutan yang melingkupi masyarakat kita. Ibarat kita berada dalam hutan rimba tanpa perlengkapan bekal ataupun peta. Kita tersesat dalam hutan dan tak tahu kapan akan bisa keluar.
Memang Indonesia sebagai negara kepulauan yang mengakibatkan orang akan sering bepergian ke luar pulau untuk urusan pekerjaan atau yang lainnya. Juga terutama di pulau Jawa yang paling banyak penduduknya, lalu lintas orangnya, interaksi antar orang di berbagai tempat. Jangankan yang sering bepergian, orang yang di rumah saja tidak kemana-mana bisa ditulari oleh anggota keluarganya sendiri yang sering keluar rumah untuk bekerja. Apalagi yang pekerjaannya sering bepergian yang risiko tertularnya semakin tinggi.
Pandemi ini memang sulit diatasi jika tanpa aturan yang tegas dan keras (lockdown total). Tapi nanti timbul pertanyaan bagaimana dengan kondisi perekonomian, apa malah tidak ambruk? Meskipun dengan hambatan yang demikian, bukankah Indonesia tidak kekurangan orang-orang pintar seperti akademisi, praktisi, budayawan, atau kiai?
Susunlah sebuah langkah penyelamatan yang bertahap. Sedikit demi sedikit yang bisa merubah keadaan. Proses pemantauan keefektifan kebijakan yang masif. Jika ada ketidaktepatan atau pelanggaran maka harus segera ditindak. Karena sejauh ini strategi yang dilakukan pemerintah kurang mempunyai daya solutif. Sehingga rakyat yang di bawah seakan sudah putus asa untuk mengandalkan pemerintah. Kredibilitas dan kapabilitas pemimpin dan wakil rakyat diuji dan memang perlu dibuktikan di saat seperti ini.
Kembali lagi ke masalah penarikan pajak dari sekolah dan sembako. Kita mungkin bisa menerka seberapa parah kondisi perekonomian negara ini jika sektor-sektor yang tidak boleh ada infiltrasi politik (pendidikan salah satunya) justru akan dijadikan sumber pendapatan negara. Dengan kondisi tanpa pajak saja banyak orang yang tidak mampu untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Apalagi setelah dikenakan pajak. Bisa dipastikan jumlah anak yang melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi akan berkurang.
Dari kacamata negara, kebijakan ini bisa dianggap sebagai satu-satunya penyelamat perekonomian. Di antara banyak sektor perekonomian yang collapse akibat pandemi Covid-19, pajak menjadi harapan terakhir. Sebegitu parahnyakah kondisi keuangan negara ini? Sehingga untuk hal-hal yang seharusnya menjadi “sudah semestinya” dinikmati rakyat juga harus dipajaki?
Artikel Lainnya
-
124126/04/2020
-
89424/01/2023
-
192622/06/2021
-
Masihkah Kita (Pemerintah) Tidak Berlaku Adil Bagi Masyarakat Laut?
151727/02/2020 -
Mudik, Tradisi yang Menjadi Kebutuhan Emosional
103328/03/2021 -
Catatan Redaksi: Rahman Mati Diterkam Corona
249527/03/2020