Sengkarut Pembebasan Narapidana

Penulis Buku Cerita Anak 'Si Aropan'
Sengkarut Pembebasan Narapidana 26/04/2020 1236 view Opini Mingguan pixabay.com

Demi upaya memutus rantai penyebaran virus Covid-19 di lingkungan lembaga pemasyarakatan (LP) dan rumah tahanan (rutan), pemerintah membebaskan puluhan ribu narapidana yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kebijakan itu diambil berdasarkan Peraturan Menteri Kementerian Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimiliasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Sebelumnya instruksi pembebasan narapidana terkait dengan merebaknya virus corona juga telah dikeluarkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan sudah direspon beberapa negara seperti Amerika, Braazil, Iran, Inggris, Jerman dan Italia.

Seperti yang dilansir dari laman Kompas.com, jumlah penghuni LP dan rutan di seluruh Indonesia mencapai 270.386 orang. Sebanyak 35.676 narapidana dibebaskan per 8 April 2020. Dari jumlah itu, 33.861 (33.078 orang dewasa dan 783 anak) dibebaskan lewat program asimilasi. Sedangkan sisanya, 1.815 merupakan tahanan yang dibebasan melalui program integrasi.

Sekadar informasi, asimilasi merupakan pembinaan narapidana dewasa dan anak dengan membiarkan mereka hidup berbaur di lingkungan masyarakat. Sementara integrasi adalah narapidana yang sudah memenuhi syarat-syarat pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas.

Memantik Masalah Baru

Pembebasan para narapidana ini menjadi kebijakan yang tidak populer dan menuai kritik tajam. Sebab sekembalinya mereka ke masyarakat dikhawatirkan malah akan membawa persoalan-persoalan lain.

Sejujurnya, tidak ada jaminan bahwa para eks residivis itu sudah bertobat seratus persen. Katakanlah ada yang benar-benar telah insyaf. Tapi, apakah mereka tidak perlu menyambung hidup? Dengan kondisi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan Physical Distancing yang diterapkan di hampir seluruh wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa mereka akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan.

Ujung-ujungnya keluarga menjadi tumpuan hidup. Beban keluarga yang sudah berat karena pandemi virus corona pun akan kian berat dengan kehadiran mereka. Itu juga kalau ditampung dan ditanggung oleh keluarga. Jika tidak, mereka akan terlunta-lunta.

Dalam keadaan serba tidak jelas dan perut yang terancam tidak terisi, sekuat apa pun niat untuk berubah kemungkinan besar akan goyah juga. Pada akhirnya mereka bisa saja mengambil jalan pintas: mencuri, merampok dan membegal!

Dan kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kencenderungan seperti itu. Kumparan melaporkan setidaknya di Bali, Sulawesi Selatan, Surabaya, Palembang, dan Malang ditemukan kasus-kasus pelanggaran hukum seperti narkoba dan pencurian yang melibatkan mantan narapidana yang baru beberapa hari menghirup udara bebas. Kompas.com memberitakan bahwa Polri menangkap kembali 13 orang mantan narapidana yang melakukan kejahatan setelah sebelumnya dibebaskan lewat program asimilasi. Bisa jadi jumlah itu akan meningkat di hari-hari mendatang.

Risk assessment atau penilaian resiko terhadap kemungkinan para narapidana kembali berbuat jahat itulah yang mungkin tidak diestimasi dengan baik—untuk tidak menyebut diabaikan— oleh pemerintah.

Dan untuk hal ini, tidak boleh ada dalih yang mengatakan bahwa jumlah mantan narapidana yang kembali berbuat jahat jauh lebih kecil atau tidak signifikan apabila dibandingkan dengan total keseluruhan yang dibebaskan.

Pertama, pandangan seperti itu menunjukkan sikap nir empati kepada korban kejahatan. Patut diingat, kerugian yang dialami korban kejahatan tidak hanya sebatas kerugian materiil. Mereka juga mengalami kerugian-kerugian dalam bentuk traumatis, goncangan psikologis dan dampak-dampak lain yang tidak bisa dilihat semata-mata dari barometer angka.

Kedua, motif kejahatan sama atau baru yang berpotensi untuk dilakukan para mantan residivis akan meningkatkan kecemasan, kekhawatiran dan rasa tidak aman secara kolektif di masyarakat. Artinya, beban masyarakat semakin bertambah berat. Setelah berjibaku dengan urusan menyambung hidup yang kian sulit lantaran virus corona, mereka harus dipusingkan lagi dengan persoalan meningkatkan kewaspadaan dan keamanan akibat ancaman pelaku kejahatan.

Penjara adalah Isolasi

Jika alasan utama pembebasan para tahanan adalah murni karena ingin mencegah masuknya virus corona, ada yang aneh sebetulnya. Dalam Peraturan Menteri Kementerian Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tadi, syarat asimilasi dan integrasi diperuntukkan bagi narapidana yang telah menjalani 2/3 masa hukuman dan tahanan anak yang sudah menjalani 1/2 masa tahanan sampai dengan 31 Desember 2020.

Dengan syarat-syarat tadi, muncul kesan seolah-olah ada kaitan antara penyebaran virus corona dengan masa tahanan seorang narapidana. Kalau karena alasan kemanusiaan, seperti yang sempat dicetuskan oleh Menkumham Yasonna Laoly dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) tempo hari, kenapa kemudian ada kriteria-kriteria tertentu, mana yang bisa dibebaskan dan mana yang tidak? Padahal jelas sekali bahwa virus tidak pernah memilih-milih siapa yang akan dijangkiti. Sekali lagi, kalau karena alasan kemanusiaan, justru seharusnya semua tahanan dibebaskan.

Penjara sendiri sebetulnya sudah merupakan tempat isolasi. Artinya, di dalam penjara protokoler-protoker yang selama ini sudah kita lakukan seperti PSBB, physical distancing, karantina, dan lain-lain sudah terlaksana. Dengan demikian, kemungkinan para tahanan untuk tertular seharusnya lebih kecil.

Kalau pun penjaga rutan, petugas kebersihan, dan keluarga tahanan (yang datang membesuk) dianggap berpotensi membawa virus dari luar, antisipasi terhadap kemungkinan untuk itu relatif lebih mudah dilakukan.

Celakanya kondisi LP dan rutan di Indonesia mengalami overcapacity alias kelebihan kapasitas. Konon, jumlah narapidana yang mampu ditampung hanya sebanyak 131.931. Akibatnya bisa ditebak: terjadi penumpukkan tahanan di setiap sel. Tidak hanya itu. Kebersihan sel tahanan juga buruk. Faktor-faktor inilah yang dianggap sangat rentan memicu penyebaran virus corona. Sebab sekiranya ada satu tahanan saja yang positif terjangkit, maka tahanan lainnya akan dengan sangat mudah tertular.

Patut disayangkan sebetulnya karena masalah ini sudah terjadi cukup lama dan berulang kali mendapat sorotan media. Sekiranya sejak dulu kondisi LP dan rutan dibenahi, mungkin pemerintah tidak perlu mengambil kebijakan yang mendatangkan polemik ini.

Sekarang pemerintah mau tidak mau harus benar-benar kerja ekstra. Di satu sisi, para mantan narapidana yang jumlahnya ribuan itu harus diawasi secara ketat. Aparat kepolisian harus patroli rutin setiap hari demi mencegah potensi tindakan kejahatan yang sewaktu-waktu bisa muncul dan menjaga agar situasi masyarakat tetap kondusif. Di sisi pemerintah dituntut untuk secepatnya memperbaiki kondisi carut-marut LP dan rutan yang ada di Indonesia.

Tidak ada pilihan lain. Itulah konsekuensi logis dari kebijakan yang sudah terlanjur diambil.
 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya