Mahasiswa dan Buruh Bersatulah Melawan Penindasan!

Mahasiswa Merdeka
Mahasiswa dan Buruh Bersatulah Melawan Penindasan! 11/05/2025 200 view Politik https://images.app.goo.gl/E7VK8

Akhir-akhir ini, situasi dan kondisi gerakan perlawanan di kota Semarang sedang tidak baik-baik saja. Setelah pecahnya aksi May Day pada Kamis (1/5/2025) di kota Semarang, gerakan perlawanan tiba-tiba saja mengalami kelumpuhan. Hal itu dibuktikan dengan adanya perpecahan dalam tubuh gerakan itu sendiri yang dipantik langsung oleh aparat kepolisian. Selain itu, adanya rencana aparat kepolisian untuk memburu para massa aksi yang dianggap ikut rusuh dalam aksi May Day kemarin turut memperburuk situasi dan kondisi dalam tubuh gerakan perlawanan di kota Semarang.

Kerusuhan yang terjadi pada May Day di kota Semarang dengan cepat menjalar di berbagai lini media massa. Di Tempo, misalnya, dalam artikel Hari Buruh di Semarang Ricuh, Polisi Tuding Kelompok Anarko yang terbit pada 2 Mei 2025, aparat kepolisian menilai bahwa kerusuhan yang terjadi pada waktu May Day dipicu oleh adanya penyusup yang diduga berasal dari kelompok Anarko. Selain itu, artikel dengan judul Polisi Tetapkan 6 Tersangka Kericuhan Demo May Day di Semarang yang terbit di detikNews pada 3 Mei 2025, juga turut memaparkan celotehan aparat kepolisian yang dengan percaya dirinya menuding kelompok Anarko sebagai pemicu kerusuhan di aksi buruh.

Menurut saya, tudingan terhadap kelompok Anarko sebagai dalang kerusuhan ini merupakan suatu kekeliruan yang disengaja. Artinya, ada suatu hal terselubung di balik tudingan-tudingan aparat kepolisian terhadap kelompok Anarko. Sejak awal, tudingan itu memang sudah mereduksi definisi kata Anarko itu sendiri. Karena pada dasarnya, Anarko itu merupakan ideologi yang menolak adanya dominasi dalam arti yang luas.

Simpelnya, Anarko bukanlah sekelompok yang sengaja turun ke jalan untuk bertindak rusuh. Namun, dalam konteks demonstrasi May Day kemarin, Anarko secara teoritis dan praktisnya malah dipertautkan pada hal-hal yang berbau rusuh oleh aparat.

Utak-Atik Bahasa sebagai Senjata Pemecah Belah?

Dari kekeliruan yang disengaja itu, lalu timbullah dalam benak saya, bahwa kekeliruan itu memang murni dilakukan untuk memecah belah gerakan perlawanan di Semarang, terlebih khususnya untuk merenggangkan solidaritas antara mahasiswa dan buruh.

Dengan mengutak-atik bahasa, aparat kepolisian berhasil membenturkan hubungan antara mahasiswa dan buruh. Selain itu, melalui mengutak-atik bahasa, aparat kepolisian juga turut menyerang gerakan perlawanan dengan membangun narasi di media sosial. Contohnya bisa kita lihat di akun Instagram @polisi_konoha (sekarang ganti @polisi_konoha_isback), aparat kepolisian mampu memainkan narasi yang dipersenjatai kekeliruan bahasa untuk memperkuat konotasi negatif dari kata Anarko. Hal ini sayangnya diamini oleh kita yang bersolidaritas untuk membebaskan kawan-kawan yang dikriminalisasi dengan menyebut: “Kawan kami bukanlah Anarko!”.

Bayangkan, alih-alih kita berfokus pada penguatan solidaritas untuk pembebasan kawan-kawan yang dikriminalisasi, kita justru seakan mengamini tudingan aparat mengenai Anarko sebagai dalang kerusuhan dan sibuk saling menyalahkan satu sama lain di dalam tubuh gerakan. Adanya fenomena menerima tudingan dan saling menyalahkan ini menjadi bukti kuat bahwa skema pemecah belah gerakan perlawanan di kota Semarang oleh aparat kepolisian berjalan dengan sukses.

Sudahi Saling Menyalahkan, Waktunya Saling Menguatkan

Kita harus sadar, bahwa kerusuhan di aksi May Day kemarin merupakan bagian dari kewajiban aparat kepolisian dalam menjalankan tugasnya sebagai alat negara, yakni memantik kerusuhan dengan kekerasan yang tidak hanya untuk membubarkan, tetapi juga untuk menjaga stabilitas kekuasaan negara. Kita harus menyadari bahwa tudingan aparat kepolisian terhadap kelompok Anarko merupakan bagian dari skema negara untuk memecah belah gerakan perlawanan di kota Semarang.

Sebagai kaum terpelajar, mari kita renungkan sejenak. Dari mana kita berangkat untuk melawan kezaliman penguasa? Jika jawabannya dari rakyat, maka kita wajib merangkul kembali kawan-kawan kita yang sudah mau turun ke jalan untuk menyuarakan keadilan. Di dalam gerakan, saya percaya bahwa tidak ada yang namanya Anarko, Komunis, Buruh, Petani, dan Mahasiswa. Sebab, dalam gerakan perlawanan, semua sama, dan semua adalah rakyat yang bergerak bersama melawan penindasan.

Oleh karena itu, marilah kita kembali membangun solidaritas dengan tidak saling menyalahkan, apalagi merasa kita berbeda hanya karena kita berangkat dari pemikiran yang beragam. Marilah kita bersatu tanpa saling menyalahkan dan tanpa saling membedakan. Sudah waktunya kita merangkul satu sama lain dan bergerak bersama untuk berkata tidak pada kekerasan negara; pada kezaliman dan pada ketidakadilan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya