Pilihan Strategi DKI Jakarta Tangani Covid-19

Pilihan Strategi DKI Jakarta Tangani Covid-19 30/03/2020 1961 view Opini Mingguan analisa pribadi data epid DKI

Hingga 27 Maret 2020, jumlah total warga dunia yang terinfeksi COVID-19 telah menembus setengah juta kasus, suatu jumlah yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, terutama di awal Januari 2020 ketika penyakit ini baru muncul.

Pandemi COVID-19 telah melumpuhkan banyak kota-kota besar di dunia, mulai Kawasan Asia, Eropa dan Amerika dengan prediksi masa resesi ekonomi dunia yang sudah mulai terasa. DKI Jakarta sebagai ibu kota negara dan pusat perekonomian nasional pun mulai mengalami hal serupa. Walaupun belum seburuk dampak pandemi yang terjadi di kota-kota Italia, Iran dan Amerika Serikat, namun upaya mengantisipasi sejak awal akan sangat diperlukan.

Jumlah kasus DKI saat ini 598 kasus (lihat grafik) dan analisa untuk prediksi puncak kurva epidemi Jakarta, merujuk pada studi di Wuhan oleh tim WHO, maka penulis memperkirakan puncak epidemi Jakarta di 9 Mei 2020 dengan perkiraan 316.735 penduduk yang terdampak. Definisi terdampak di sini meliputi jumlah orang yang kontak erat, orang dalam pemantauan dan pasien dalam pengawasan. Selanjutnya merujuk pada batasan kapasitas fasilitas kesehatan di wilayah DKI Jakarta yang hanya mampu mengelola dengan 1.075 intensive beds dan 11.330 beds maka maksimal atau batas atas jumlah kasus positif terkonfirmasi DKI Jakarta adalah 7.167 kasus. Artinya Pemda DKI harus berupaya agar angka tersebut tidak terjadi.

Keberhasilan kota Wuhan China dan Seoul Korea dalam mengendalikan pandemi COVID-19 dapat menjadi rujukan kota DKI Jakarta dalam memilih opsi strategi yang akan dijalankan yang tentunya disesuaikan dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki. Inti dari kisah sukses dua kota, Wuhan dan Seoul adalah dengan menerapkan prinsip utama manajemen epidemi atau pandemi, yaitu Test-Trace-Treat-Isolate atau dalam praktek di Indonesia dapat diterjemahkan sebagai upaya tes akurat yang masif, pelacakan kasus yang cepat dan detail, terapi medis terhadap pasien dalam status parah dan kritis guna mencegah angka kematian dan upaya isolasi baik di rumah sakit dan rumah (karantina mandiri) yang dijalankan dengan ketat dan menyasar kelompok populasi rawan menularkan yang tepat.

Ke-4 (empat) intervensi di atas merupakan strategi utama guna mengendalikan COVID-19 dapat menjadi rujukan pemerintah DKI Jakarta dalam menentukan kebijakan paling tepat dan cepat. Kecepatan menjadi sangat penting mengingat kita berhadapan dengan pandemic covid-19 yang memiliki pertumbuhan eksponensial. Studi di CDC Amerika dan juga rekomendasi WHO menyatakan bahwa semakin awal strategi intervensi dilakukan maka peluang keberhasilannya dalam menekan korban jiwa dan kesakitan akan lebih besar. Selain itu, kecepatan dalam memutuskan intervensi strategi yang tepat akan juga mencegah timbulnya kerugian dampak terhadap sektor ekonomi, sosial dan pariwisata.

Pilihan intervensi lockdown yang saat ini menjadi topik diskusi hangat di berbagai kalangan dan forum di Indonesia, merupakan pilihan yang menjadi populer akibat keberhasilan penerapannya di kota Wuhan China. Istilah lockdown sendiri tidak dikenal dalam aturan kekarantinaan kesehatan di Indonesia. Undang-Undang Karantina Kesehatan No. 6 Tahun 2018 memuat istilah karantina wilayah, definisinya serupa tapi tidak sama dengan lockdown. Karantina wilayah dilakukan dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Sehingga jika dipandang perlu akan dilakukan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar oleh Pejabat Karantina Kesehatan.

Sebagaimana terlihat dari pengalaman China, karantina wilayah (lockdown) bukanlah satu-satunya solusi pandemi, melainkan strategi mengulur waktu agar pemerintah provinsi Hubei dapat melakukan prinsip dasar penanganan pandemi secara komprehensif tanpa adanya potensi penularan baru yang signifikan baik di dalam atau ke luar kota Wuhan yang saat itu diperkirakan berpenduduk 50 juta orang. Sedangkan kota Seoul Korea tidak memilih opsi ini karena budaya kemandirian dan kesadaran yang tinggi penduduknya sangat mendukung penerapan strategi epidemi.

Pemerintah DKI Jakarta tentunya memiliki data dan analisa terkait kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya yang juga dibandingkan dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki pemda DKI saat ini. Pertimbangan dimaksud akan perlu disandingkan dengan pertimbangan epidemiologi yang tepat sebelum memutuskan pilihan intervensi karantina wilayah. Pilihan yang tidak didukung pertimbangan tepat akan menyebabkan kerugian. Karena sekali lagi, opsi strategi karantina wilayah (lockdown) bukan solusi tunggal mengendalikan pandemic covid-19, melainkan bagian dari rangkaian strategi. Potensi bahaya yang dapat ketika mengambil opsi karantina wilayah skala besar atau kecil (lockdown) adalah terjadinya siklus berulang epidemi akibat pemerintahnya mengabaikan strategi utama epidemi, Test-Trace-Treat-Isolate.

Berkaca dari kisah sukses kota Wuhan China, dan situasi terkini tren kasus di Jakarta maka opsi strategi karantina wilayah saat ini sudah dapat dilakukan kota DKI Jakarta. Strategi ini dapat dilakukan pada wilayah Kota atau Kecamatan atau Kelurahan hingga RW yang memiliki kluster terbanyak atau dengan jumlah kasus lebih dari atau sama dengan 50, disertai tes skala luas di masyarakat, pelacakan kasus dan isolasi. Pelaksanaanya tentu harus dikoordinasikan dengan Pemerintah Pusat.

Strategi lainnya yang dapat dilakukan DKI adalah pembatasan sosial yang ditujukan untuk mengurangi penularan dan dampak COVID-19 sedini mungkin.

Penutupan sementara sekolah, kampus, perkantoran dan meniadakan izin keramaian ditujukan untuk mencegah terjadinya transmisi lokal. Pemda DKI dapat mengambil kebijakan serupa kota di Spanyol yang hanya mengizinkan toko makanan dan kebutuhan mendasar masyarakat lainnya untuk tetap buka sembari pengetatan aturan jarak fisik. Pengenaan denda atau hukuman kurungan dianggap berhasil memaksa warga untuk mematuhi aturan jarak fisik dan meniadakan acara keramaian.

Selain itu, hal yang sangat penting dilakukan adalah membangun kesadaran masyarakat agar merubah pola keseharian dalam berinteraksi fisik, belajar, bekerja dan aktivitas sosial. Kesadaran ini dapat dimulai dengan keteladanan dari tokoh pemerintahan, figure masyarakat dan himbauan ulama. Saat ini terlihat upaya komunikasi terkait ini masih minim, termasuk pesan masyarakat di berbagai sudut kota perlu ditingkatkan.

Pilihan salah satu hotel untuk menjadi tempat tinggal sementara tim medis DKI Jakarta selama menangani pasien COVID-19 adalah pilihan yang tepat, dan dapat disediakan di berbagai lokasi. Manfaat yang dapat diambil dari kebijakan ini adalah menjamin kesehatan dan keamanan tim medis yang merupakan ujung tombak pelayanan. Pengaturan jaga jarak fisik harus tetap diberlakukan selain juga upaya monitoring harian suhu dan kondisi umum tenaga medis. Hal lain yang sangat penting dilakukan adalah upaya perlindungan para tenaga medis saat melakukan tugasnya, dengan alat perlindungan diri yang memadai. Pemda DKI dapat melakukan kerjasama dengan berbagai Lembaga kemasyarakatan dan perusahaan sektor swasta terkait hal ini.

Kota DKI Jakarta dapat juga merujuk strategi Wuhan dan Seoul yang menyediakan lokasi khusus untuk karantina rumah sakit yang ditujukan untuk memusatkan seluruh kasus positif covid-19 ringan-sedang sehingga akan membantu mengendalikan kecepatan penularan, Lokasi yang dipilih dapat berupa hotel atau Gedung Pendidikan dan pelatihan yang dilengkapi dengan fasilitas layanan kesehatan dasar. Opsi strategi ini akan membantu mengurangi beban rumah sakit, selain juga relatif mudah mengingat sebagian besar kasus ringan-sedang ini tidak memiliki gejala serius dan merupakan pasien mandiri.

Satu hal yang sangat penting dalam rangkaian strategi pengendalian epidemi adalah ketersediaan tenaga epidemiolog yang akan menentukan kualitas pelacakan kasus. Tanpa adanya tim dan strategi epidemiologi yang kuat, niscaya banyak kasus yang lolos alias tidak terlacak yang pada gilirannya berakibat makin meluasnya penyebaran penyakit. Upaya melibatkan para mahasiswa epidemiologi dan dosen epidemiologi di berbagai kampus dapat menjadi solusi awal.

Terakhir yang juga teramat penting adalah kualitas tes covid-19 yang dilakukan harus sesuai rekomendasi WHO. Prinsip efektif dan efisien sangat disarankan dalam kondisi pandemi. Ekstensifikasi dan intensifikasi tes dilakukan dengan melibatkan lebih banyak tenaga laboran, laboratorium swasta dan pihak lain.

Kombinasi berbagai strategi di atas dapat dilakukan DKI Jakarta guna melandaikan kurva epidemi, mencegah beban layanan kesehatan seraya menunggu ditemukannya terapi antiviral dan vaksin COVID-19.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya