Menyoal Manusia Übermensch

mahasiswa
Menyoal  Manusia Übermensch 20/11/2020 4236 view Lainnya redbubble.com

Permenungan seputar manusia pada dasarnya identik dengan pengembaraan. Pengembaraan menunjuk suatu gerak, dinamika, kemajuan dan kemunduran. Hal yang unik dari pengembaraan ialah selalu diwarnai oleh penemuan yang mencengangkan.

Nietzsche sebagai salah satu aktor dari sejarah panjang diskursus tentang manusia harus diakui telah menyingkapkan refleksi yang mencengangkan. Salah satu buah dari permenungannya tentang manusia ialah konsep übermensch. Dalam perspektif penulis, konsep übermensch sejatinya ingin mengafirmasi otonomitas manusia. Manusia diidealkan ke arah individualisme liberalis.

Apa itu übermensch? Siapa itu übermensch? Übermensch adalah makna dari dunia ini. Dengan cara penilaian ini, Nietzsche tidak menaruh kepercayaan kepada setiap bentuk nilai adikodrati dari manusia dan dunia.

Konfrontasinya terhadap nilai-nilai transenden atau adikodrati, secara afirmatif menolak semua nilai-nilai itu dan menganggapnya nirmakna sama sekali. Dengan übermensch ini, Nietzsche memaksudkan agar manusia menjadi realistis atau membuka mata terhadap realitas dunia. Manusia harus kerasan hidup di dunia dan mengakui dunia serta dirinya sebagai sumber nilai tanpa menyisahkan harapan-harapan di balik dunia ini. Tuhan sudah mati dan dengan sendirinya segala nilai absolut ikut terbunuh. Yang tersisa hanyalah übermensch itu sendiri.

Penghargaan terhadap hidup ialah dengan berkata “ya” pada hidup. Mengatakan “ya” memaksudkan orang menjadi tidak asing dalam dunia atau teralienasi, tidak gentar pada segala kenyataan dunia baik itu yang mempesonakan maupun yang menakutkan tanpa berpaling atau mempersonifikasikan apa pun sebagai Tuhan. Dengan ini, manusia mampu memegang kendali atas hidupnya, bertanggung jawab atas segala pilihan dan tindakannya.

St. Sunardi dalam pembacaannya terhadap karya Nietzsche terutama terkait gagasan übermensch menguraikan bahwa dalam Anti-christ ia (Nietzche) menjelaskan bahwa baik adalah apa saja yang meningkatkan perasaan kehendak untuk berkuasa, dan buruk berarti apa saja yang keluar dari sikap yang lemah, bahagia adalah perasaan akan bertambahnya kekuasaan dan keberhasilan mengatasi hambatan.

Proklamasi individualisme libaralis dalam diri übermensch adalah sesuatu yang tidak relevan terutama dalam fakta religiusistas dan societas. Dari sendirinya tendensi tersebut merepresentasikan fenomena terdegradasainya hakekat manuisa-“Aku”. Harus dimengerti bahwa manusia-“Aku” adalah keseluruhan, keutuhan manusia. Mengatakan “Aku” sebagai keseluruhan tentu saja menyangkut komponen-komponen “Aku” itu sendiri. Oleh karena itu, hakekat manusia yang dimargin dan disempitkan oleh konsep übermensch akan diinterpretasi sekaligus dikritisi dalam terang pemikiran Armada Riyanto terutama konsep “Aku”.

Perlu digarisbawahi bahwa konsep übermensch berada dalam horizon pemikiran Nietzsche terutama terkait nihilisme.

Bagi Nietzsche nihilisme berarti melenyapkan nilai-nilai imanen atau adikodrati. Berdasarkan framework ini, übermensch itu sendiri adalah ciri manusia yang menyangkal semua nilai, rohaniah, tradisi, agamis, dan moral yang berkembang dalam masyarakat.

Bagi Nietzsche nilai-nilai adikodrati yang ditawarkan oleh agama-agama mereduksi kebebasan dan kemandirian manusia oleh karena itu ciri moralitas nya ialah “kamu harus”. Jelas sekali bahwa Nietzsche di sini menyempitkan dimensi religiusitas manusia.

Esensi agama adalah prinsip-prinsip hakiki dari agama dimana eksistensinya ialah realitas cetusan konkret hidup beragama dari manusia-manusia.

Cetusan-cetusan tersebut, ialah pertama berkaitan dengan prinsip-prinsip doktrinal, normatif, dan berikutnya menunjuk pada kenyataan penghayatan eksistensial, personal atau si pemeluk agama itu sendiri. Nietzsche mendasarkan nihilismenya terhadap agama dengan menyempitkan agama sebagai seperangkat norma, hukum dan doktrin serta ideologi belaka. Armada menegaskan bahwa model penghayatan seperti itu adalah formal dangkal.

Kodrat manusia adalah jasmani dan rohani. Kodrat rohani inilah prinsip religiusitas manusia. Armada dengan sangat baik menjelaskan narasi religius (kekudusan) bisa bertahan sampai saat ini, halnya mengatakan sesuatu yang mendalam, bahwa religiusitas mengukir pengalaman terdalam dari “Aku’-nya manusia.

Pengalaman terdalam ini memaksudkan intimitas subjek dalam mengolah relasionalitasnya dengan Tuhan, sesama, dan tata ciptaan. Implikasnya, bila Nietzsche meredusir moral, nilai-nilai, dan komponen agama lainnya, justru komponen tersebut menjadi semacam sarana, pedoman, dan barometer yang mengarahkan manusia ke dalam integrasi hidup keagamaan-religiusitas.

Jika dinilai sebagai pengkerdilan kebebasan dan kemandirian manusia, faktanya bahwa nilai-nilai, kebiasaan, dan kodeks moral merupakan struktur essensial dari setiap pemeluk agama, masyarakat, dan menjadi bagian dari hidupnya. Prinsip yang mengintegrasikan semua itu bahwa religiusitas adalah relasi. Relasi tidak sekedar keterpautan, lebih dari itu menjadi semacam energi yang menggairahkan. Nietzsche melewatkan satu hal essensial bahwa manusia-“Aku religius” justru menampilakan kebenaran bahwa manusia adalah mahkluk dengan kedalaman relasi yang mencengangkan. “Aku religius” tidak beku pada konsep-konsep yang dangkal dan pendek seperti dicurigai Nietzsche.

Justru dengan kedalaman relasinya dengan Tuhan, manusia-“Aku” bergerak melampaui aneka hukum agamis dan optimis menghadapi pasang surut kehidupan. Dengan demikian, tidak relevan jika übermensch dengan nihilismenya mengabaikan dan meremehkan religiusitas manusia.

Eksistensi sosial manusia menggarisbawahi syarat keberadaannya yang selalu terhubung dan membutuhkan manusia lainnya. Artinya, eksistensi individu dipertegas dalam ruang sosial atau dalam relasinya dengan yang lain. Kodrat sosial ini merupakan being manusia yang inklusif. Inklusivitas memaksudkan kodrat manusia yang menyambut, merangkul, membuka tangan, atau “bersama-dengan” yang lain. Kearifan kodrati ini, rupanya dalam übermensch justru diredusir.

Übermensch memposisikan diri sebagai entitas yang sendiri, menyisihkan yang lain. Dalam pandangan Nietzsche, übermensch dalam dirinya adalah cita-cita yang diciptakan dan dikejar oleh orang-orang yang terus-menerus diliputi semangat kehendak untuk berkuasa.

Dengan kata lain, übermensch terwujud lewat prinsip kehendak untuk berkuasa. Implikasi dari prinsip ini ialah maksimalisasi kebebasan untuk mengoptimalkan semua dorongan dan kehendak.

St. Sunardi menerangkan bagi übermensch yang ada adalah kebebasan dan “aku ingin (berkuasa) dan satu-satunya ukuran keberhasilan adalah perasaan bertambahnya kekuasaan. Dari sendirinya si übermensch memperoleh kebaikan-kebaikan dan kepentingan-kepentingan bukan dalam dunia sosial, tetapi dalam dirinya sendiri. Impac sosialnya, relasi dengan yang lain bersifat oportunitis belaka.

Apa yang membuat kehendaknya terealisasi dengan maksimal menjadi semacam ukuran relasi dengan yang lain. Bahkan lebih ekstrem lagi kemungkinan optimal bagi übermensch dalam realisasi diri ialah dengan jalan konflik.

Bagi Nietzsche dalam konflik, perang dan konfrontasi lainnya kehendak untuk berkuasa (prinsip übermensch) terasa paling kuat, yaitu kehendak untuk mengatasi atau menguasai. Kodrat “Aku” dalam übermensch sejatinya dimanipulatif dan diredusir. Makna kearifan relasi yang intersubjektif dibalik menjadi subjek-objek.

Liyan menjadi semacam objek untuk meningkatkan dan memenuhi kehendak untuk berkuasa sekaligus maksimalisasi realisasi diri. Armada menandasarkan pemutlakkan kepentingan sendiri bukan hanya dapat menjadi cetusan kesombongan, melainkan juga mengarah kepada sikap-sikap kekerasan menolak keunikan dan kekhasan subjek-subjek lainnya.

Übermensch hanya membatasi relasinya dengan liyan sejauh memenuhi prinsipnya. Artinya, selama relasi itu mengutungkan ia hanya akan memanfaatkannya. Tidak ada citra dan makna persahabatan di sana. Ia hadir untuk menihilkan semua sistem nilai dan norma yang berlaku dan hadir pula untuk merealisasikan dirinya tanpa pegangan apa pun selain prinsipnya untuk berkuasa.

Dari kodratnya, manusia memerlukan kehadiran orang lain yang mensyaratkan eksistensinya. Dalam relasinya dengan sesama, manusia merealisasikan essensi dan eksistensinya. Manusia menjadi lebih manusiawi dalam relasinya dengan orang lain. Dengan kata lain, eksistensi manusia secara pribadi lebih dipertegas dan digarisbawahi oleh keberadaan orang lain. Manusia übermensch dari sendirinya tidaklah relevan dalam kehidupan yang arif secara sosial.

Übermensch tidak hanya menihilkan nilai-nilai yang menjadi prioritas dan keutamaan dalam menjaga keharmoniasan hidup bersama, tetapi juga mendegradasikan eksistensi subjek lainnya. “Aku” dari kodratnya adalah being yang inklusif bukan entitas yang sendiri (übermensch). “Aku” dengan segala pengalaman hidupnya menampilkan framework sosial, yaitu menjadi sahabat (societas) bagi sesama yang lain. Halnya bahwa dalam relasinya dengan sesama manusia menjadi lebih manusiawi. Menempatkan yang lain sebagai “Aku’ yang lain (intersubjektif) mengukir suatu sikap penghargaan, penghormatan, kesederajatan, dan manusiawi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya