Perubahan Iklim dan Kepulauan Pasifik

Siapa yang belum pernah mendengar Pasifik Selatan dengan berbagai keindahan alamnya yang menakjubkan? Pulau-pulau kecil seperti Fiji, Tuvalu, Samoa, Tonga, Cook Islands, Vanuatu, dan Kepulauan Solomon merupakan surga indah di Pasifik Selatan selain Australia dan Selandia Baru.
Negara-negara tersebut dihuni oleh indigenous people (masyarakat adat) yang hidup di tanah mereka dengan berbagai aturan dan praktik adat mereka sendiri. Sebuah pepatah terkenal berbunyi “Land is a life, without land there is no life” (Kwa, 2008). Singkat namun sarat akan makna.
Penduduk asli Pasifik Selatan sangat menjaga tanah mereka tanpa rasa takut, sehingga tanah sangat lekat dengan harga diri mereka dan kehilangan tanah bukanlah sebuah pilihan. Pepatah ini ditantang oleh musuh baru era modern ini, yaitu perubahan iklim.
Tanpa kita sadari, perubahan iklim saat ini sangat memengaruhi eksistensi pulau-pulau kecil tersebut. Mengapa tidak? Isu pulau yang akan tenggelam telah ramai diperbincangkan sebagai ancaman yang dihadapi negara kepulauan kecil, sama seperti negara kepulauan Pasifik itu sendiri.
Mungkin hal tersebut masih jauh dari nalar kita, tapi perubahan iklim akan menjadi rintangan besar bagi laju pertumbuhan terutama negara-negara berkembang di Pasifik Selatan. Implikasi dari perubahan iklim itu sendiri akan sangat mempengaruhi keamanan pangan, sumber air bersih, produksi pertanian, keseimbangan ekosistem dan level kenaikan air laut.
Dampak perubahan iklim ini pernah dirasakan oleh penduduk di wilayah Kiribati. Pada tahun 1999 dua pulau tak berpenghuni yaitu Tebua Tarawa dan Abanuea tenggelam. Meskipun memiliki ketinggian maksimal 81 m, namun ketinggian rata-ratanya hanyalah 2 m. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa pulau lainnya juga terancam akan tenggelam sehingga pada akhirnya akan terjadi eksodus penduduk yang hidup di pulau-pulau tersebut ke daerah yang lebih tinggi atau bahkan pulau lain. Jika terjadi hal demikian, mereka akan dihadapkan masalah lain seperti benturan adat dan kebiasaan dengan masyarakat setempat yang berbeda satu sama lain. Mungkin akan ada kemungkinan terburuk yang akan terjadi seperti terjadi konflik etnis.
Isu perubahan iklim memang tidak pernah lepas dari negara Kepulauan Pasifik Selatan. Kondisi geografis yang dikelilingi lautan membuat negara-negara di kawasan ini tidak hanya rentan terhadap level kenaikan air laut, namun juga peristiwa cuaca ekstrem seperti badai dan gelombang tinggi yang sering melanda kawasan samudra Pasifik.
Keadaan di atas semakin diperparah dengan kenyataan bahwa sebagian negara di kawasan ini terdiri dari gugusan atol yang hanya menyediakan sedikit tempat tinggal dan juga ketinggian daerah yang terbatas.
Perlu kita ketahui bahwa per tahun 2030 tinggi permukaan air laut akan bertambah sekitar 8-13 cm, 17-29 cm pada tahun 2050, dan sekitar 35-82 cm pada tahun 2100 (Hemming, 2007). Untuk kepulauan Pasifik Selatan sendiri, kenaikan permukaan air laut adalah 25 milimeter atau 2,5 cm per tahun.
Menurut data World Atlas (2011), negara yang rentan terhadap peningkatan ketinggian permukaan air laut adalah Tuvalu, karena di seluruh wilayahnya, ketinggian tertinggi hanyalah 5 m. Namun hal ini bukan berarti bahwa hanya Tuvalu yang terancam. Kenaikan permukaan air laut sebesar satu meter saja sudah menyebabkan Manuro Atol di Marshall Islands kehilangan 80 persen daratannya. Meskipun hanya satu atol, kehilangan 80 persen daratan sama saja hilangnya tempat tinggal bagi 50 persen populasi seluruh negara. Contoh lain adalah Kiribati, di mana jumlah daratan yang hilang adalah 12,5 persen (Burns, 2003).
Bila kondisi tersebut tidak ditangani dengan serius oleh lembaga-lembaga internasional dan negara lain, maka akan berdampak sangat buruk terhadap keamanan Pasifik Selatan. Perubahan iklim dunia ini akan sangat mengancam keamanan manusia setempat.
Semakin berkembangnya globalisasi dan perang dingin, masalah keamanan internasional telah bergeser dari keamanan konvensional (perang) menjadi isu-isu keamanan yang lebih luas, misalnya terorisme, pembajakan, cyber security, penyakit pandemik, dan perubahan masalah lingkungan.
Semua itu sangat membahayakan kehidupan masyarakat internasional dan tanpa kita sadari perubahan iklim saat ini sangat membawa dampak besar bagi negara-negara kecil yang sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut. Oleh karena itu, masalah ini harus menjadi perhatian internasional dan negara-negara harus serius dalam mencari solusi. Permasalahan ini memerlukan tindakan nyata dari negara-negara terutama negara penyumbang emisi karbon terbesar.
Dalam konferensi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Kyoto, Jepang, beberapa negara sepakat mengatasi perubahan iklim ini dengan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Kesepakatan tersebut kemudian membentuk suatu perjanjian yang dinamakan Protokol Kyoto. Namun dalam perjalanannya, Protokol Kyoto mengalami kemunduran ketika Amerika Serikat dan Australia memutuskan keluar dari perjanjian ini. Peristiwa ini diikuti oleh negara-negara lain seperi Jepang dan Kanada. Pemerintah Kanada beralasan bahwa mereka terpaksa harus keluar dari perjanjian ini karena tidak mampu memenuhi target pengurangan emisi pada tahun 2012.
Dari peristiwa tersebut di atas menunjukkan bahwa kurangnya perhatian dan keseriusan negara-negara besar dalam membantu mengatasi masalah ini.
Sesuai dengan prediksi kaum realis, negara-negara cenderung berpihak pada kepentingan nasionalnya masing-masing sehingga peluang dan harapan para pemimpin negara-negara besar untuk menanggulangi dampak dari perubahan iklim menjadi sesuatu yang bisa dikatakan mustahil.
Dalam merespon hal ini, negara Kepulauan Pasifik Selatan tidak tinggal diam untuk mempertahankan kedaulatan negaranya dari ancaman iklim. Negara-negara tersebut menandatangani Deklarasi Majuro di ibukota Marshall Island (itulah mengapa diberikan nama Majuro).
Dalam deklarasi tersebut, negara-negara Kepulauan Pasifik Selatan sepakat unuk menjadi pemimpin dalam mengatasi isu perubahan iklim. Komitmen ini tertera pada poin ke delapan Deklarasi Majuro di mana mereka menyatakan bahwa “We commit to be Climate Leaders… to lead is to act.”
Hal tersebut dapat kita interpretasikan bahwa ini dapat menjadi langkah bagus bagi mereka untuk menyerukan pada dunia bahwa perubahan iklim benar-benar serius bagi keamanan negara mereka. Seruan ini sekaligus dapat menyadarkan dan menarik perhatian dunia luar untuk melihat “mereka” yang lebih kecil.
Sejauh ini belum ada negara yang cukup berani untuk menjadi pemimpin dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, karena kebanyakan negara-negara besar cenderung menunggu respon antar satu sama lainnya.
Di sisi lain, pernyataan pemimpin perubahan iklim yang diserukan oleh negara-negara yang menjadi “victim” dari ancaman iklim juga sangat memprihatinkan.
Bagaimana tidak? Kepulauan Pasifik paling sedikit menyumbang emisi gas rumah kaca, meskipun masih di atas Sub-Sahara Afrika. Namun hal ini justru ironis karena perubahan tersebut tidak akan maksimal dan ancaman iklim akan terus menjadi ancaman bagi pulau mereka. Justru negara-negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar tidak turut andil dalam mewujudkan keamanan lingkungan ini, padahal perubahan iklim dunia sebagian besar dikarenakan oleh industri besar negara-negara besar tersebut.
Kondisi naas di atas membutuhkan dorongan dan bantuan dari organisasi internasional dan juga kebijakan internasional lainnya. Namun, kebanyakan kebijakan internasional lebih fokus pada migrasi penduduk pulau-pulau kecil tersebut dibandingkan memikirkan solusi jangka panjang bagi penduduk Kepulauan Pasifik Selatan.
Kita mungkin memikirkan opsi migrasi bisa menjadi jalan bagus untuk menyelamatkan penduduk di sana, tetapi seharusnya kita tidak bisa menganggap itu sebagai satu-satunya jalan keluar dengan membiarkan pulau-pulau itu tenggelam.
Tanpa disadari, hal tersebut di atas bukan sekedar permasalahan kemanusiaan, tetapi juga mengancam eksistensi spesies langka yang hanya mampu hidup di pulau itu. Dari sini kita bisa lihat bahwa kepentingan nasional negara-negara terlalu antroposentris, sehingga lingkungan seakan-akan dijadikan korban untuk menyejahterakan masyarakat internasional. Padahal di balik semua itu, masih ada dampak yang merugikan negara lain yang lebih kecil sehingga kurang bisa dijadikan pemicu untuk mendapatkan perhatian negara-negara besar.
Artikel Lainnya
-
39623/12/2023
-
15024/08/2025
-
149127/01/2022
-
Merefleksi Peran dan Fungsi Dalam Keluarga
105602/07/2020 -
Kematian yang Tidak Ditakuti Cioran
52110/09/2023 -
252601/11/2020