Kematian yang Tidak Ditakuti Cioran

Siapa yang tidak takut dengan kematian? Apakah kalian termasuk golongan orang yang tidak takut mati?.
Beberapa orang memang tidak takut mati, bahkan ada yang rela mempertaruhkan nyawanya untuk melakukan aktivitas yang ia cintai, misalnya memanjat tebing di Green Canyon tanpa menggunakan satu pun alat pengaman—itu sebuah tindakan yang nekat—dan ada orang yang melakukannya.
Bagi orang yang takut mati atau kehilangan nyawanya, tindakan tersebut adalah hal yang paling mereka hindari. Apa yang dilakukan—memanjat tebing di Green Canyon—bukanlah pilihan yang tepat dan cenderung sebagai tindakan bodoh. Kenapa kita harus mempercepat kematian apabila ia (kematian) akan datang dengan sendirinya? Entah karena kecelakaan, sakit, atau usia tua.
Namun, untuk beberapa kasus psikologis yang menyebabkan kematian, hal ini tentu sangat berbeda dan membutuhkan penjelasan lebih lanjut yang tentu saja tidak dapat diperoleh melalui tulisan ini.
Kita mencoba sedikit mengintip tentang rasa takut yang timbul dalam diri seseorang ketika mereka membayangkan suatu kematian dan menelusuri pemikiran filosofis Cioran yang berkaitan dengan kematian.
The deepest and most organics death is death in solitude (Cioran, 1992:6). Melihat hal ini kita dapat membuat asumsi bahwa Cioran melihat suatu kematian yang sangat organik ketika terjadi dalam kesendirian, selaras dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa kita semua pada dasarnya terisolasi dari segala sesuatu.
Rasa Takut Menghadapi Kematian
Setiap orang takut dengan kematian, itu hal yang lumrah. Rasa takut tersebut timbul sebagai respon psikologis, alami, dan menjadi bagian dari budaya setempat. Sehingga tidak jarang bagi beberapa orang akan mengalami kecemasan ketika membicarakan tentang kematian, meski jarang disadari.
Beberapa hal yang perlu kita perhatikan kenapa banyak orang yang merasa takut dengan kematian. Pertama, takut terhadap sesuatu yang tidak diketahui, kematian pada dasarnya akan mengantar manusia ke dalam suatu fase yang di mana tidak ada seorang pun yang mengetahuinya di mana akhir dari fase tersebut, terkecuali bagi orang yang telah mati itu sendiri.
Tidak terdapat bukti empiris yang memberikan penjelasan secara akurat kejadian-kejadian yang ada setelah kematian—dalam hal ini penulis tidak berbicara dari sudut pandang teologi—sehingga kematian menjadi suatu misteri yang akan membuat siapapun menjadi ragu dan khawatir.
Kedua, hilangnya kesadaran dan keterlepasan dari eksistensi, faktor ini menyebabkan manusia menjadi resah dan terkadang memiliki rasa khawatir yang berlebihan karena mereka menyadari setelah kematian, diri mereka tidak dapat “eksis” di dunia orang-orang hidup. Artinya, mereka terlepas dari kehidupan menuju fase lainnya yang pada dasarnya kesadaran akan urusan-urusan duniawi tidak lagi dapat mereka rasakan atau jalani.
Ketiga, perpisahan yang memilukan, orang menjadi pilu dengan kematian karena mereka menyadari bahwa suka atau tidak suka, mereka akan ditinggalkan atau meninggalkan orang-orang yang mereka sayangi. Hal ini merupakan tantangan emosional yang luar biasa berat untuk diterima, dan tidak jarang membutuhkan waktu untuk menerima suatu kondisi.
Kematian dalam Pemikiran Cioran
Kita dapat melihat gagasan atau pemikiran Cioran tentang kematian hampir di beberapa karyanya, memang tidak ada susunan yang bersifat sistematis di dalam karyanya, namun kita dapat menemukan bahwa dengan ciri khas kemuramannya, Cioran berhasil membuat seseorang memikirkan tentang kematian dan terkadang dibumbui dengan ketidakhawatirannya dengan kematian.
Cioran melihat bahwa terdapat ketidakseimbangan atau ambivalensi ketika seseorang berbicara tentang kematian, di satu sisi orang merasa takut dan enggan untuk membahas kematian, namun di sisi lainnya mereka memiliki ketertarikan dengan kematian.
Apa yang semakin dikhawatirkan oleh setiap orang terjawab melalui Cioran, ia mengatakan bahwa kematian pada akhirnya akan membuat seluruh yang dilakukan oleh manusia menjadi sia-sia dan tidak bermakna, tentu saja hal ini memastikan bahwa posisi kematian kemudian berubah menjadi jurang yang mengerikan, walau pada akhirnya kita harus menghadapinya (Emil Cioran, 1949).
Kematian dianggap sebagai sesuatu yang menjijikan, merupakan suatu obsesi yang tidak akan bisa menggairahkan, bahkan ketika seseorang menginginkan kematian. Kita perlu menyadari bahwa kita terisolasi dari segalanya. Cioran berpendapat bahwa kematian yang paling organik adalah kematian dalam kesendirian. Dalam kondisi tersebut—terisolasi—seseorang akan terputus dari hidup, cinta, kebahagiaan, teman, bahkan dari kematian itu sendiri. Dan, suatu pertanyaan akan muncul dalam diri kita, yaitu apakah ada apa pun di luar dari ketiadaan dunia dan ketiadaan yang kita miliki?
Bukan berarti menyarankan bahwa kita harus mati dalam kesendirian, tentu di dalam dunia yang wajar dan normal, mati di tengah kesendirian merupakan hal yang menyedihkan dan terkesan kita adalah seseorang yang memang tidak bermakna. Meski dalam kondisi tertentu tidak semua kematian dalam kesendirian akan menyebabkan seseorang yang mati tersebut sebagai orang yang tidak bermakna.
Tawaran Cioran untuk mati dalam kesendirian, bukan berarti mengajak kita secara langsung untuk melakukannya. Tetapi, lebih cenderung sebagai upaya untuk menjadi terbiasa dan mempelajari bahwa kesiapan seseorang untuk menghadapi kematiannya sendiri tidak hanya di saat-saat ramai, namun juga di dalam kondisi terisolasi dari dunia luar. Berbeda dengan philosophical suicide yang dikritik oleh Albert Camus, Cioran mendorong setiap orang untuk menjadi tidak takut untuk membahas tentang kematian meski membahas pada akhirnya tidak memilki makna apa pun.
Pada Akhirnya Kematian akan Datang
Cepat atau lambat, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, percaya atau tidak, kematian akan datang. Dari situ kita perlu memperhatikan banyak cara untuk memaknai kematian, baik secara psikologis, sosilogis, teologis, hingga secara nihilis.
Berbagai pilihan tersedia untuk digunakan oleh setiap orang, tanpa terkecuali apa yang ditawarkan oleh Cioran. Kita mengetahui bahwa pemikiran filosofis Cioran bersifat negatif, gelap, dan nihilis radikal—bahkan penulis sendiri bingung mengapa ia menulis buku, padahal ia mengerti pada akhirnya semua hanya sia-sia belaka—namun, apa yang bisa kita petik adalah pesan-pesan yang tersirat di dalam bukunya.
Ia memang melihat hidup tidak memiliki makna, dan pada kondisi tertentu hidup akan biasa-biasa saja. Dari bukunya kita dapat menyelami kegelapan yang sedikit mencerahkan, hal ini memang paradoks. Dari argumentasi filosofis yang sangat gelap dan mengerikan, kita dapat mempelajari bahwa hal-hal yang bersifat negatif, yang aneh, agony, suffering, dan torture. Ada di dalam kehidupan manusia, tidak dapat dipisahkan, meski pada faktanya kita sering menutupi kejadian-kejadian tersebut dengan mengalihkan fokus kita atau mengatribusikannya kepada sesuatu agar tidak muncul secara konstan di dalam kesadaran kita.
Selayaknya manusia berkontemplasi untuk memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan kematian, entah telah hidup secara utuh atau belum, pada akhirnya manusia akan dihadapkan pada kemisteriusan dan pertanyaan mendasar tentang apa yang terjadi setelah kematian, baik secara filosofis atau teologis.
Artikel Lainnya
-
105129/06/2020
-
70206/06/2021
-
82619/08/2021
-
Dehumanisasi di Tengah Pandemi
250410/05/2020 -
Sutan Riska dan Mitos Tumbangnya Petahana
200431/07/2020 -
“Lockdown” Pariuk Nasi Akan Ambruk
480622/03/2020