Home Learning Dalam Lingkaran Stratifikasi Sosial

Home Learning Dalam Lingkaran Stratifikasi Sosial 06/05/2020 1815 view Pendidikan Pixabay.com

Wabah Covid-19 atau virus korona belum usai. Setiap hari di berbagai stasiun televisi dan media sosial, lonjakan kasus kematian terus ditayangkan dan datanya terus diperbaharui. Sektor kesehatan, sosial hingga resesi ekonomi menjadi dampak yang tidak bisa dihindari semua negara. Berbagai jenis kebijakan pun diterapkan seperti lockdown, physical distancing, social distancing hingga yang terbaru kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Kebijakan yang dibuat tentu menyasar pada penurunan angka penyebaran covid-19, tetapi di lain sisi mempengaruhi efektivitas sektor-sektor lain seperti pendidikan. Di Indonesia, sejak diberlakukan kebijakan social distancing hingga PSBB efeknya sangat terasa pada keberlangsungan sektor pendidikan. Proses belajar mengajar tatap muka berbasis ruang kelas tradisional ditiadakan tanpa batas waktu dan juga kepastian.

Kasus yang terjadi di Sekolah Inspektur Polisi di Kota Sukabumi dengan total 300–an siswa yang terpapar virus korona menunjukan bahwa ruang kelas tidak lagi aman untuk terlaksananya proses belajar. Gedung-gedung sekolah berdiri kosong tanpa penghuni. Ya, Covid-19 memang mengubah semua tatanan pendidikan. Perangkat teknologi yang sudah disiapkan untuk menyongong Ujian Nasional (UN) Tahun Pelajaran 2019/2020 menjadi mati gaya dan tak berdaya. Belajar dari rumah (home learning) terpaksa menjadi pilihan agar pendidikan tetap berjalan sekaligus dapat memutus rantai penyebaran Covid-19.

Pendidikan di Tengah Wabah Korona

Pada zaman kerajaan, kita selalu dikelompokan ke dalam kasta-kasta sosial. Pengelompokan ini, dalam bahasa modernnya lebih dikenal dengan istilah stratifikasi sosial. Home learning yang berjalan di tengah pandemi korona sekarang ini pun, tidak luput dalam lingkaran stratifikasi sosial dimana masing-masing kasta/kelompok mempunyai konsekuensi dan masalahnya tersendiri.

Pertama, kelompok kelas bawah dengan pembelajaran berbasis tatap muka ruang kelas tradisional. Metode ini terpaksa menjadi pilihan kelompok kelas bawah sebab kurangnya infrastruktur pendukung seperti ketersediaan jaringan internet, listrik serta perangkat komunikasi seperti android.

Umumnya, metode ini terjadi pada sekolah yang berada di daerah terluar dan tertinggal. Metode ini pastinya tidak berjalan maksimal sebab siswa sedang dirumahkan dalam rangka memutus rantai penyebaran Covid-19 sehingga pemberian tugas mandiri terstruktur menjadi pilihan terakhir.

Pengawasan serta pendampingan dari orang tua di rumah adalah satu-satunya kunci faktor keberhasilan metode ini. Kalau-kalau siswa tidak diberikan tugas saat home learning dan pengawasan orang tua tidak berjalan maksimal, maka yang tersisa hanyalah doa dengan harapan agar pandemi ini segera berakhir. Penulis berandai-andai, jika wabah Covid-19 belum juga usai dalam waktu dekat maka akan ada ribuan anak di daerah terluar dan tertinggal yang akan terabaikan hak-hak mereka dalam mendapatkan pendidikan.

Kedua, kelompok kelas menengah dengan metode online murni. Metode ini sebenarnya sedikit lebih baik dari metode tatap muka ruang kelas tradisional. Kelompok yang menggunakan metode ini adalah siswa dengan ketersediaan infrastruktur penunjangnya sedikit lebih baik. Minimal tersedia HP android ditambah dengan jaringan internet maka metode online murni dapat terlaksana.

Walaupun antara siswa dan guru tidak dapat terjadi tatap muka tetapi minimal terjadi penyaluran pesan dari sumber informasi (Guru) kepada penerima pesan (Siswa). Aplikasi seperti WhatsApp, email, chatroom, bulettin board, telepon dan aplikasi komunikasinya lainnya dapat memungkinkan terjadi komunikasi dua arah yaitu antara siswa dan guru sehingga anak dapat memperoleh haknya dalam mendapatkan pendidikan.

Tentu dengan adanya metode ini proses belajar menjadi lebih hemat waktu dan uang jajan serta siswa tidak perlu lagi berkumpul di kelas tetapi di sisi lain metode ini perlu pengawasan yang lebih ekstra dari orang tua di rumah. Dalam masa pandemi korona ini, ikatan sosial antara guru, siswa dan orang tua yang dahulunya sudah mulai renggang harus kembali diperkuat. Jika tidak, maka home learning pada kelompok kelas menengah tidak akan berjalan dan hanya sia-sia belaka sebab godaan hiburan di internet seperti media sosial, youtube, game online dan aplikasi hiburan lainnya akan mempunyai peluang untuk menjadi penghambat kebijakan home learning.

Ketiga, kelompok kelas atas dengan metode online murni dipadukan dengan tatap muka. Metode ini dinamakan sebagai blended learning. Mereka yang masuk dalam kasta ini adalah siswa kelas atas dengan infrastruktur penunjang yang memadai seperti jaringan internet dan perangkat komputer (laptop).

Metode ini mengombinasikan antara metode online murni dengan tatap muka antara guru dan siswa secara langsung sehingga memungkinkan terjadinya komunikasi yang nyaman serta dapat menjadi ruang untuk mengekspresikan ide-ide yang bebas antara siswa dan guru. Aplikasi seperti Google Meet, Zoom, dan Cisco Webex dapat menjadi wadah untuk terlaksananya metode blended learning.

Metode blended learning dapat menembus ruang dan waktu sehingga memungkinkan guru dapat mengontrol aktifitas belajar siswa secara langsung di rumah tetapi di sisi lain metode ini juga membutuhkan biaya internet yang lebih mahal ketimbang dua metode sebelumnya. Biaya yang mahal menjadi penghambat sebab ekonomi Indonesia bahkan dunia sekalipun sedang lesu akibat wabah Covid-19 sehingga pembelian paket data internet akan memengaruhi pengeluaran atau memberatkan keluarga.

Masalah-masalah yang dialami saat proses home learning pada setiap kelompok/kasta berbeda-beda. Dengan demikian, solusi yang diambil oleh pemangku kebijakan harus berdasar pada masalah yang ada pada masing-masing kasta. Pertama, pengadaan infrastruktur penunjang pembelajaran online harus menjadi prioritas utama bagi kelompok kelas bawah, yaitu sekolah yang berada di daerah terluar dan tertinggal. Jika tidak, maka sampai kapanpun pendidikan hanya akan dirasakan oleh kelompok atas atau mereka yang kuat secara ekonomi.

Kedua, pandemi ini juga harus menjadi momentum untuk membuat negara sadar bahwa negara harus banyak memberikan pelatihan bagi guru dalam penggunaan teknologi agar pembelajaran dapat menjadi kreatif dan inovatif. Sebab yang terjadi selama ini adalah pelatihan pendidikan yang hanya berkutat pada hal-hal adminitrasi guru. Covid-19 memberikan pelajaran bahwa tanpa penguasaan teknologi yang mumpuni pendidikan hanya akan berjalan di tempat.

Ketiga, perlu dibuatkan Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman antara guru dan orang tua. MoU dapat menjadi media kontrol bahwa anak benar-benar terlibat aktif dalam kegiatan home learning. Orang tua harus menjadi garda terdepan dalam pengawasan terlaksananya home learning.

Keempat, iklim kompetisi yang selama ini digunakan seperti penggunaan rangking di pelbagai jenjang pendidikan pada tingkat TK sampai perguruan tinggi harus ditinggalkan jika pandemi ini berakhir. Alasannya sebab terjadi kesenjangan yang sangat jauh antara siswa dengan fasilitas seadanya (kasta bawah) dengan siswa dengan fasilitas mumpuni (kasta atas).

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa wabah virus korona atau Covid-19 saat ini adalah tantangan terbesar bagi dunia setelah berlalunya perang dunia kedua (Kompas,02/04/2020). Jika benar demikian, maka kita perlu belajar dari pengalaman dimana Jepang porak poranda ketika hancurnya Kota Hiroshima dan Nagasaki saat perang dunia kedua. Pendidikan kala itu menjadi fokus pertama Jepang dalam membangun kembali negara mereka.

Indonesia pun harus demikian. Sektor pendidikan harus menjadi fokus pertama dalam membangun kembali sumber daya manusia kita sebab salah satu faktor utama ketidaksiapan kita dalam wabah korona adalah sumber daya manusia yang tidak memadai. Semoga pendidikan Indonesia pasca-korona dapat lebih baik lagi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya