Perihal Azan dan Penghormatan Kita Terhadapnya

Pegiat Rumah Baca Philosophia, Makassar
Perihal Azan dan Penghormatan Kita Terhadapnya 26/02/2022 1246 view Agama Foto oleh Dmitriy K. dari Pexels

Selain menjadi penanda waktu salat, azan juga bisa berfungsi sebagai pembagi waktu aktivitas keseharian. Azan yang berkumandang di subuh hari adalah penanda telah dimulainya kesibukan. Orang Islam membuka harinya dengan salat. Setelah itu, dia bisa mempersiapkan hal lain untuk segala urusan hidupnya per hari itu. Beberapa orang berangkat kerja, beberapa lagi sibuk di dapur, dan beberapa lagi berangkat ke sekolah.

Siang hari, ketika bayangan tepat berada di atas objeknya, azan zuhur kembali berkumandang. Melakukan aktivitas sejak pagi membuat tubuh dan pikiran terasa lelah. Azan zuhur bisa menjadi penanda agar kita mengambil jeda sejenak dari rutinitas keseharian. Tidak lama, hanya sekitaran lima belas menit untuk salat dan segala persiapannya. Setelahnya, orang-orang bisa menikmati makan siangnya, minum kopi, bersantai atau tidur sejenak, sebelum kembali melanjutkan rutinitasnya.

Bekerja lewat tengah hari membuat pikiran dan tubuh lebih cepat lelah ketimbang bekerja di pagi hari. Karena itu, ketika bayangan sudah lebih panjang ketimbang objeknya, azan asar kembali berkumandang. Orang yang menegakkan salat, akan melemparkan semua urusan dunianya ke belakang ketika menghadap Yang Maha Mengurusi. Itu adalah momen-momen istimewa antara hamba dan Tuhannya yang tidak ada satupun urusan dunia yang boleh masuk mengggangu.

Setelah menyelesaikan momen sakral tersebut, pikiran dan tubuh akan lebih segar kembali. Sebab dia baru saja meletakkan segala beban duniawi dari pundaknya saat salat. Energi dan semangatnya akan kembali baru luntuk merampungkan kegiatan di hari tersebut sebelum azan magrib dikumandangkan.

Malam datang, dan orang-orang pun mulai menghabiskan waktu bersama keluarganya di rumah. Tapi umat Islam masih harus melakukan salat sekali lagi setelah azan isya. Setelah itu, dia sudah bebas melakukan apa saja. Bisa kembali bercengkrama dengan keluarga, belajar, mempersiapkan keperluan esok hari, menonton televisi, dan sebagainya. Jika tidak ada urusan yang penting, mereka disarankan untuk tidak begadang. Agar mereka bisa merasa segar untuk bangun ketika azan kembali berkumandang di subuh hari.

Petani-petani di kampung saya, memahami benar pembagian waktu berdasarkan azan tersebut. Azan bukan hanya sekedar panggilan waktu salat, tapi juga sudah diintegralkan sebagai pembagi waktu dalam kehidupan keseharian. Ada beberapa kegiatan yang biasanya harus dirampungkan sebelum zuhur atau yang bisa dilanjutkan kembali setelah zuhur atau asar.

Waktu bertamu juga terkadang disesuaikan dengan jadwal azan tersebut. Tidak terlalu kaku sebenarnya, tapi jika memilih bertamu di malam hari, waktunya ya, antara magrib dan isya, atau setelah isya itu.

Di kampung saya di Bone, dan di tempat saya tinggal sekarang di salah satu perumahan di Gowa, azan tidak pernah menjadi persoalan. Di Bone, radio disetel otomatis untuk mengumandangkan selawat sepuluh menit sebelum azan. Setelahnya, Imam salat hanya menggunakan speaker (pengeras suara) dalam kalau memang diperlukan. Kadang juga tidak digunakan kalau makmumnya hanya segelintir orang saja. Di tempat saya di Gowa lebih longgar lagi. Speaker luar masjid hanya digunakan saat azan dan iqamah, tanpa selawatan sebelumnya.

Hari Jumat sedikit berbeda. Selain azan dan iqamah, ceramah Jumat juga menggunakan speaker luar. Tapi karena semua orang di kampung adalah penganut agama Islam, tentunya tidak ada yang mempermasalahkan. Di kota-kota dengan penduduk yang heterogen, situasinya mungkin berbeda. Terutama sekali jika konten ceramahnya cenderung menyinggung hal-hal sensitif dan disampaikan dengan berapi-api.

Penghormatan terhadap Azan dan Masyarakat Sekitar

Semua orang paham kalau azan dan iqamah merupakan dua ciri khas penting dalam Islam. Tapi di negara-negara barat, ketika agama Islam menjadi minoritas, tidak melantunkan azan dengan pengeras suara adalah wujud toleransi. Orang-orang non-Islam telah menunjukkan toleransi dengan energi sama selama berpuluh-puluh tahun di Indonesia: mendengarkan panggilan azan lima kali sehari meskipun seruan itu tidak ditujukan untuk mereka.

Menariknya, orang-orang yang diseru langsung lewat azan itulah yang justru sering mengabaikan panggilan azan. Setelah diingatkan oleh muazin lewat Toa yang disetel keras-keras, beberapa orang masih tidak bersegera mendirikan salat. Padahal penghormatan terhadap azan, atau kecintaan kita akan suara azan terletak pada bersegeranya kita menjawab panggilan tersebut.

Dua tahun lalu, ketika larangan salat berjamaah di masjid dikeluarkan, ada banyak orang yang mengutuk kebijakan tersebut. Namun anehnya, ketika larangannya dicabut, orang yang datang ke masjid untuk salat berjamaah masih orang-orang itu saja. Hal yang sama, menurut saya juga akan terjadi di masalah aturan penggunaan Toa masjid ini. Kalaupun misalnya imbauan tersebut dicabut, orang-orang yang akan salat di masjid sepertinya masih itu-itu juga.

Jadi apa yang sebenarnya dibela dari larangan salat berjamaah dan aturan penggunan Toa masjid? Menurut saya, ini lebih ke reaksi kekhawatiran terhadapnya hilangnya kontrol atas ruang publik. Lagipula, sedari awal sudah ditekankan kalau SE ini mengatur penggunan Toa umat Islam untuk menjaga perasaaan umat beragama lain.

Bagi beberapa orang, terutama kalangan yang sering merasa agama Islam dipojokkan beberapa tahun belakangan ini, aturan tersebut terdengar tidak adil. Ini seperti Anda diminta memundurkan sedikit agama Anda dari ruang publik untuk memberikan ruang kepada umat beragama lain.

Beberapa orang mungkin bisa menerima alasan tersebut. Toh tidak ada masalahnya memberi sedikit ruang kepada orang lain di ruang publik. Namun, beberapa lagi akan menganggapnya sebagai kelemahan dan ketidaktegasan dalam mempertahankan identitas agama sendiri.

Buat apa kita menurunkan kontrol kita atas ruang publik sementara kita adalah penganut agama mayoritas di negeri ini? Analoginya mungkin sama jika pemerintah di negara minoritas Islam, tiba-tiba mengeluarkan izin mengumandangkan azan lima kali sehari, dan meminta semua orang berhenti melakukan aktivitas selama azan sebagai wujud toleransi terhadap agama lain.

Oleh karena itu, kalaupun SE Menag tersebut ingin dilaksanakan, opini yang bagusnya dibangun sedari awal adalah aturan tersebut ditujukan untuk kepentingan umat Islam sendiri. Bukan untuk agama lain.

Perihal Toa perlu diatur karena di daerah di mana banyak masjid berdekatan, suara azan yang dikumandangkan keras-keras seringkali bersahut-sahutan dengan azan dari masjid lain. Azan yang dikumandangkan dengan volume dan suara yang pas, tentu akan terdengar lebih indah sehingga bisa lebih menggugah orang-orang untuk mendirikan salat. Meskipun sejauh ini, saya belum pernah mendapati daerah di mana azan dari beberapa masjid terasa menggangu karena dikumandangkan secara bersamaan.

Namun, tidak seperti azan yang punya jadwal tersendiri, penggunaan Toa masjid untuk kepentingan lain jelas perlu diatur. Terutama sekali untuk kegiatan setelah salat isya dan menjelang subuh. Sekali lagi, tujuannya bukan untuk kepentingan agama lain. Tapi untuk memberikan ketenangan kepada semua orang yang lelah setelah seharian bekerja, orang sakit, bayi, atau anak-anak yang butuh istirahat. Tidak peduli agama apapun yang dianutnya.

Kita sering lupa, kalau memberikan ketenangan kepada tetangga juga merupakan bagian dari ibadah dan bisa diorietasikan untuk kepentingan akhirat. Kabar baiknya, pengajian, ceramah, atau kegiatan keagamaan lainnya tetap bisa dilaksanakan di masjid dengan menggunakan speaker dalam. Jadi ini seperti melakukan dua kebaikan sekaligus dan kepentingan semua orang tetap bisa terpenuhi.

Lebih lanjut, kita yang sering heboh saat Toa masjid dan salat berjamaah diatur-atur, tapi tidak juga menjawab seruan azan dan memakmurkan masjid, sepertinya mengalami kritis identitas keberagamaan. Beberapa kita mungkin hanya ingin mendengarkan azan dikumandangkan keras-keras lewat Toa masjid agar kita bisa mengabaikannya lagi dan lagi, lima kali sehari. Kita lebih mementingkan penghormatan terhadap azan dengan Toa yang disetel keras-keras ketimbang memenuhi seruannya agar bersegera mendirikan salat.

Mungkin kita ini jugalah yang suka menimbulkan kebisingan ketika azan berkumandang. Tindakan kita yang suka memaki di dunia maya, ribut dengan tetangga, menipu orang lain saat berbisnis, termakan hoaks dengan mudahnya, menimbun minyak goreng, dan mencampuri urusan lain saat azan berkumandang, bisa jadi suara-suara memekakkan yang menenggelamkan suara azan itu sendiri. Sehingga tidak peduli sekeras apapun muazin memanggil-manggil kita dengan Toa masjid, telinga kita tertutup oleh berbagai urusan dunia.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya