Perempuan dan Ketimpangan Pemakaian Kontrasepsi
			      	
			      	
			      	
			      	Pekan lalu, yaitu pada tanggal 26 September kita peringati hari kontrasepsi sedunia. Momentum hari kontrasepsi sedunia biasanya digunakan untuk mengkampanyekan dan memberikan edukasi terutama kepada Pasangan Usia Subur (PUS) agar memiliki kesadaran mengenai pentingnya Keluarga Berencana, sebagai upaya untuk mengendalikan jumlah anak dalam keluarga dan interval antara jarak kelahiran dengan menggunakan alat kontrasepsi buatan manusia atau pun sterilisasi secara suka rela.
Meningkatnya kesadaran Pasangan Usia Subur (PUS) dalam pemakaian kontrasepsi diharapkan akan mampu menciptakan keluarga yang sejahtera, mandiri, sehat dan tidak ada lagi kehamilan yang tak direncanakan.
Momentum hari kontrasepsi juga bisa dimanfaatkan sebagai upaya untuk meningkatkan partisipasi suami atau pria dalam berKB dengan cara memakai kontrasepsi. Ini dikarenakan partisipasi suami atau pria dalam memakai kontrasepsi masih rendah.
Saat ini, pemakaian kontrasepsi di Indonesia masih didominasi oleh perempuan atau istri dengan ketimpangan yang cukup jauh. Ini setidaknya tercermin dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017, dimana angka kesertaan berKB pria atau suami adalah sebesar 3,3 persen, sementara untuk partisipasi perempuan atau istri adalah sebesar 57,2 persen.
Rendahnya partisipasi pria atau suami dalam berKB dengan memakai kontrasepsi, tak bisa dilepaskan dari ketidakinginan suami atau pria memakai alat kontrasepsi, padahal alat kontrasepsi sudah tersedia untuk para suami.
Akibatnya, banyak perempuan atau istri memakai kontrasepsi dikarenakan terpaksa untuk memakainya atau sekedar untuk memenuhi permintaan suami. Padahal sejatinya mereka juga merasa keberatan.
Namun jika para ibu ini tidak memakai alat kontrasepsi kemudian terjadi kehamilan yang tidak diinginkan atau direncanakan, mereka sering kali menjadi pihak yang dipersalahkan terutama oleh para suami.
Hubungan seorang suami dengan seorang perempuan yang merupakan istrinya adalah hubungan yang sangat penting dalam mendayung kehidupan berumah tangga.
Pengambilan keputusan pada hal-hal penting seperti keputusan yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak, salah satunya adalah pemakaian kontrasepsi seharusnya diputuskan dan direncanakan bersama. Perempuan memiliki hak dan peranan yang sama dalam pengambilan keputusan ini.
Namun patut disayangkan bahwa dalam keluarga, sebagian besar keputusan untuk pemakaian kontrasepsi didominasi oleh para suami. Isteri sering kali dirugikan. Padahal pemakaian alat kontrasepsi berkaitan dengan tubuh dan juga kesehatan seorang perempuan atau ibu.
Lemahnya negosiasi perempuan dalam pengambilan keputusan ini disebabkan antara lain oleh tingkat pendidikan yang lebih rendah dari pada laki-laki, adat-istiadat, budaya serta sumber ekonomi yang di dominasi laki-laki.
Rendahnya pengetahuan suami mengenai pentingnya partisipasi pria dalam berKB dengan memakai kontrasepsi memperparah kondisi ini. Banyak para suami yang tidak tahu bahwa sebenarnya mereka bisa mengikuti program Keluarga Berencana (KB) dengan memakai alat kontrasepsi yang telah tersedia. Pengetahuan suami mengenai alat kontrasepsi rendah.
Lingkungan sosial dan budaya di masyarakat ikut mendukung pada rendahnya partisipasi pria atau suami dalam pemakaian kontrasepsi. Sebagian besar masyarakat terutama suami masih beranggapan bahwa urusan kontrasepsi adalah menjadi kewajiban perempuan atau istri belaka. Akibatnya suami malas memakai kontrasepsi dengan se gudang alasan yang menyertainya.
Perempuan memiliki rasa kesakitan yang panjang dari hamil dan juga melahirkan. Ditambah lagi perempuan juga harus menyusui, menjaga dan membesarkan anak. Rasa kesakitan itu semakin lengkap, mana kala perempuan masih dibebani dengan pemakaian kontrasepsi. Untuk itu sudah saatnya para suami mengambil peran untuk ikut serta dalam pemakaian kontrasepsi.
Memang diakui bahwa metode kontrasepsi yang tersedia untuk suami saat ini masih sangat terbatas, hanya tersedia kondom dan Metode Operasi Pria atau vasektomi. Itupun dilengkapi dengan berbagai mitos negatif yang menyertainya.
Mitos-mitos itu antara lain adalah memakai kondom mengurangi kenikmatan dalam hubungan suami-istri, sementara itu memakai Metode Operasi Pria atau vasektomi ada yang menganggapnya sebagai kebiri. Ada juga sebagian yang masih melarang atau mengharamkan metode ini. Ini juga menjadi faktor mengapa partisipasi suami memakai kontrasepsi rendah.
Untuk itu pemerintah perlu melakukan terobosan dalam rangka meningkatkan peran serta suami atau pria agar mau ikut berKB dengan memakai kontrasepsi. Usaha itu bisa dilakukan dengan melakukan riset pengembangan metode kontrasepsi untuk pria agar metode kontrasepsi pria semakin banyak jenisnya dan bervariasi.
Selain itu pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi, komunikasi, informasi dan edukasi kepada para suami agar bersedia ikut KB dengan memakai kontrasepsi serta memberikan informasi yang benar seputar fakta dan mitos mengenai kontrasepsi pria ini.
Kepedulian suami untuk ikut berKB dengan memakai kontrasepsi sangat dibutuhkan, setidaknya untuk mengurangi beban perempuan sebagai istri. Jika laki-laki sayang istri saatnya suami memakai kontrasepsi.
Artikel Lainnya
- 
		                      
		                      207702/10/2020
 - 
		                      
		                      129215/06/2023
 - 
		                      
		                      162926/04/2020
 
- 
		                      
		                      
Menjadikan Pancasila Sebagai Rumah Bersama
93617/06/2022 - 
		                      
		                      
Koreografer Siberprotes dan Keperkasaan Massa Demonstran
107019/08/2020 - 
		                      
		                      
Kasak Kusuk Partai Politik Dalam Membangun Kerjasama Politik Untuk Pemilu 2024
36119/09/2023 
