Koreografer Siberprotes dan Keperkasaan Massa Demonstran
Sebagian besar orang meyakini bahwa siberprotes, yaitu protes melalui postingan status, gambar, maupun video pada akun twitter, instagram, facebook dan youtube, telah membuat massa demonstrasi di Indonesia menjadi lebih perkasa.
Benarkah demikian? Saya punya pandangan yang berbeda.
Secara teoritis, siberprotes memang menentukan keperkasaan massa demonstran. Semakin masif siberprotes, semakin perkasa dan besar jumlah massa demonstran.
Akan tetapi, kualitas siberprotes itu sendiri amat dipengaruhi oleh kinerja koreografer siberprotes, yaitu orang yang mengorkestrasi siberprotes.
Dan menurut pengamatan saya, koreografer siberprotes di Indonesia bersifat semu sehingga siberprotes yang terjadi sebetulnya tidak ideal. Akibatnya, massa demonstran yang lahir relatif rapuh.
***
Bila melihat penelitian yang sudah ada, ada banyak kajian telah bercerita bagaimana dampak siberprotes terhadap massa aksi yang turun ke jalan. Castells (1996 dan 2009), Hardt dan Negri (2000 dan 2005), serta Bennet dan Segerberg (2013) menyebutkan, demonstran yang lahir dari siberprotes bersifat horizontal, tidak memiliki pemimpin (leaderless), spontan.
Dan bahkan memiliki kecerdasan kerumunan yang membuatnya mampu menentukan strategi perlawanan yang paling efektif. Sifat-sifat inilah yang membuat massa demonstran ini menjadi amat perkasa.
Hal itu amat nyata. Contoh terkini untuk demonstran model ini adalah seperti yang terjadi di Hongkong dalam menolak UU ekstradisi beberapa waktu lalu. Demonstrasi di sana punya nafas panjang, jumlah demonstran amat besar dan stabil, mereka memiliki kreatifitas yang tinggi, lintas ideologi dan organisasi, serta cerdas dalam meramu strategi perlawanan di lapangan.
Khusus yang terakhir, strategi perlawanan mereka bahkan menjadi inspirasi bagi demonstran negara lain, termasuk Indonesia. Khususnya ketika harus bertempur melawan gas air mata aparat di jalanan.
Sifat-sifat itu amat kontras dengan sifat massa aksi yang muncul tanpa adanya siberprotes.
Mereka biasanya bersifat vertikal dengan adanya beberapa pemimpin yang kharismatik, strategi aksi sudah direncanakan terlebih dahulu, massa hadir untuk mewakili organisasi atau ideologi tertentu, cenderung tidak cepat dan cerdas dalam menghadapi dinamika lapangan.
Maka sampai di sini dapat dikatakan, siberprotes memiliki korelasi positif dengan ketangguhan massa yang turun aksi di jalan. Semakin masif protes publik dengan menggunakan akun media sosial, semakin perkasa massa demonstran yang dilahirkannya.
Namun ada hal baru di dalam kajian internet politics. Seberapa baik kualitas dan kuantitas siberprotes ternyata ditentukan oleh seberapa baik kinerja koreografer siberprotes.
Dengan kata lain, kerja-kerja yang lahir dari tangan dingin koreografer siberprotes pada akhirnya amat menentukan ketangguhan massa demonstran yang turun ke jalan. Jadi kunci dari ini semua adalah koreografer siberprotes.
Koreografer siberprotes adalah orang yang mampu memahami perasaan publik yang kecewa terhadap kebijakan pemerintah dan menghimpun mereka melalui media sosial (facebook, instagram, dan twitter).
Koreografer siberprotes mewakili dirinya sendiri, bukan organisasi atau ideologi tertentu. Ia menganut horizontalisme sehingga tidak ingin menjadi atau dinobatkan sebagai pemimpin. Follow me, but don't ask me to lead you, tulis Gerbaudo (2012).
Koreografer siberprotes bekerja dengan menciptakan ruang publik melalui akun media sosialnya. Ia memposting konten yang emosional guna merayu netizen untuk mengikuti (follow) akunnya. Ia lalu membiarkan follower-nya berdiskusi mewakili diri mereka masing-masing, bukan organisasi maupun ideologi tertentu.
Ia meyakinkan pula follower-nya itu untuk mengekspresikan protes mereka dalam bentuk konten kreatif yang diposting di masing-masing akun. Terakhir, ia tidak mengintervensi apalagi mendikte rencana demonstrasi jalanan yang dibicarakan para follower-nya itu.
Gelombang massa aksi yang lahir dari tangan dingin koreografer siberprotes adalah seperti yang dilihat oleh Castells, Hardt dan Negri, serta Bennet dan Segerberg di atas. Mereka bersifat horizontal, tanpa pemimpin, spontan, dan memiliki kecerdasan kerumunan dalam meracik strategi perlawanan.
Maka bersambunglah dengan apa yang saya katakan sebelumnya. Semakin baik performa koreografer siberprotes, semakin besar gelombang siberprotes, semakin masif dan perkasa pula demonstrasi jalanan yang akan lahir.
Dengan cara pandang ini Gerbaudo (2012) mampu menjelaskan dengan cukup jernih bagaimana demonstrasi besar di Mesir yang lahir dari kerja koreografer siberprotes mampu menjungkalkan Hosni Mubarak dari kursi presiden.
Demikian pula yang terjadi di Tunisia yang berakhir pada pergantian rezim, serta di Spanyol dan US dengan guncangan yang hampir sama fatalnya.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan koreografer siberprotes di Indonesia? Dan bagaimana pula karakteristik demonstran yang lahir dari kerja mereka?
***
Di Indonesia, demonstrasi jalanan besar terbaru yang disokong oleh penggunaan media sosial terjadi sekitar September 2019 lalu, yaitu terkait tuntutan pembatalan sejumlah ruu kontroversial. Menurut saya, koreografer siberprotes pada peristiwa tersebut bersifat semu sehingga demonstrasi jalanan yang tercipta relatif rapuh.
Alih-alih memiliki sifat horizontalisme, para koreografer siberprotes pada aksi itu justru bersifat vertikal dengan tampil sebagai pemimpin dan mewakili organisasi dan atau ideologi tertentu.
Ada banyak laporan investigatif yang menceritakan bahwa para pemimpin atau koordinator ini sudah menyusun rencana aksi, lengkap dengan lokasi, tanggal, jam dan tuntutan yang disuarakan.
Di dunia virtual, akun media sosial mereka tidak berfungsi sebagai ruang publik, melainkan sebagai alat untuk memobilisasi massa. Netizen yang mengikuti akun media sosial mereka tidak memiliki kesempatan untuk saling berdiskusi, mengekspresikan kekecewaannya, apalagi secara mandiri merencanakan aksi jalanan.
Hanya ada satu narasi dominan: mari turun ke jalan, tanpa benar-benar terlibat dalam sebuah diskusi dan ekspresi yang mendalam.
Implikasinya amat besar. Massa demonstran yang kemudian lahir bersifat vertikal yang ditandai dengan ketergantungan pada sosok pemimpin yang tak lain adalah para koreografer semu itu sendiri.
Massa aksi juga cenderung pasif dengan selalu menunggu arahan, serta tidak mampu membuat ide-ide spontan dan cerdas ketika berada di lapangan.
Yang tak terelakkan pun datang. Massa aksi menjadi rapuh dan demonstrasi mudah dipadamkan pemerintah. Misalnya, keputusan beberapa pemimpin demonstrasi untuk menarik diri membuat jumlah peserta aksi menurun. Karena massa bergantung pada sosok pemimpinnya.
Selain itu, kebijakan represif pemerintah dalam menghadapi para demonstran ditambah lagi situasi lapangan yang amat dinamis membuat massa aksi yang terbiasa menunggu arahan dari pihak lain menemui jalan buntu.
Jadi anggapan banyak pihak bahwa siberprotes sudah menjadi senjata ampuh untuk menciptakan demonstrasi jalanan yang tangguh di Indonesia sebetulnya tidak tepat. Karena koreografer siberprotes masih bersifat semu, siberprotes yang berlangsung di dunia maya juga bersifat semu. Akibatnya massa yang turun aksi ke jalan cenderung tidak perkasa.
Untuk menciptakan demonstran yang tangguh, koreografer siberprotes yang semu harus meliberalisasi gerakan. Caranya adalah dengan melepaskan kepemimpinannya, memberi ruang kepada publik untuk saling berdiskusi dan berdebat, serta membiarkan publik merencanakan sendiri aksinya. Mungkin ini berat, tapi patut untuk dicoba.
Artikel Lainnya
-
169802/11/2020
-
164222/05/2024
-
25009/12/2023
-
Bahagia yang Tercipta di Balik Program Ikoy-ikoyan
74510/08/2021 -
Perkawinan Anak, Upaya Terbebas dari Kemiskinan (?)
95118/09/2020 -
Homo Ludens: Refleksi Folosofi Kerusuhan Arema vs Persebaya
66802/10/2022