Pembebasan Napi, Logika Hukum dan Kemanusiaan Kita

Pembebasan Napi, Logika Hukum dan Kemanusiaan Kita 26/04/2020 1295 view Opini Mingguan pixabay.com

Hari-hari ini, persebaran virus corona semakin meluas dan massif. Peristiwa yang terjadi di hampir semua negara termasuk Indonesia saat ini telah mengakibatkan rentetan kasus baru yang sulit dihindarkan. Bagaimana tidak? Stabilitas dalam negeri tengah mengalami masa krisis yang semakin hari semakin mengalami gejolak yang cukup parah.

Pada sisi yang lain kita berupaya untuk tidak terjerumus dalam kubangan “krisis”, sementara pada satu sisi kita diperhadapkan dalam suasana batin dan pikiran yang sangat kacau akibat wabah corona yang semakin destruktif. Tak anyal, sulit bagi kita menyangkal bahkan keluar dari wilayah krisis. Sehingga demi menangkal persebaran pandemi yang terus meningkat, kita harus mengambil peran dan mengupayakan beragam kebijakan, salah satunya membebaskan narapidana yang berada di tahanan.

Tentunya, pertanyaan harus disasar terhadap kebijakan ini, pertama, apakah kebijakan pembebasan napi betul-betul hadir untuk melindungi kemanusiaan terhadap narapidana? Kedua, bagaimana logika hukum kita sejauh ini terhadap persoalan ini sementara pada sisi yang lain narapidana yang dibebaskan masih melakukan tindak pidana kejahatan? Apakah ini paralel dalam upaya melindungi kemanusiaan (narapidana) sementara kondisi sosial tidak malah semakin baik tetapi justru menimbulkan kekacauan dan meresahkan di tengah masyarakat?

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) kembali membebaskan 878 narapidana, termasuk anak binaan melalui program asimilasi dan integrasi. Dengan demikian, total napi yang dibebaskan di tengah pandemi virus corona (covid-19) sampai saat ini menjadi 36.554 orang. (CNNIndonesia;11/04/2020). Pembebasan narapidana tentu mempunyai konsekuensi hukum, politik, sosial ditengah masyarakat. Pertimbangan pembebasan napi yang ditetapkan pemerintah lebih mengerucut pada aspek yang paling fundamental dari manusia yakni melindungi kemanusiaan. Itu berarti, pembebasan napi baru-baru ini dapat dibaca dalam kerangka bahwa praktek hukum dalam “situasi tertentu” harus tunduk pada rasa kemanusiaan.

Bagi saya, dalam situasi yang hari ini semua pihak merasa sulit, panik bahkan takut terhadap ancaman wabah corona, pembebasan napi merupakan langkah konkrit (jika tidak mengatakan sangat diperlukan) demi menjaga semua warga negara tidak tertular pandemi virus corona. Pembebasan ini menurut hemat saya dan sejauh saya memahami, bahwa ruang hukum yang dipraktekan dalam konstitusi kita memberikan andil bahwa semua warga negara dilindungi, diberi rasa aman dan mendapatkan haknya sebagai warga negara dalam situasi yang kian sulit seperti persebaran pandemi covid. Logika hukum semacam ini jika kita memahami dari perspektif sosial (kemanusiaan) merupakan pengejewantahan dan sangat berkelindan terhadap aspek terpenting bagi manusia yakni diakomodir dalam lanskap hukum yang jelas, tepat dan tentunya berkiblat pada soal kemanusiaan.

Namun, logika hukum seperti ini akan menjadi lumpuh jika praktek pembebasan napi dengan mempertimbangkan kemanusiaan mendapatkan balasan yang cukup serius tatkala napi yang baru dibebaskan justru terjerembab dalam sebuah tindakan pelanggaran hukum sekaligus meresahkan masyarakat. Di sini saya akan kembali pada tiga pertanyaan penting yang saya ajukan dalam pembahasan awal, yakni apakah ini melindungi kemanusiaan, bagaimana menyikapi napi yang setelah dibebaskan masih melakukan pelanggaran hukum dan apakah ini paralel dengan misi melindungi aspek kemanusiaan.

Menurut hemat saya, bagian terpenting dari kebijakan ini yakni melindungi aspek kemanusiaan setiap warga negara. Artinya, semua warga negara terinklusi dalam tatanan hukum dan menjadi tugas hukum menginklusi setiap warga negara dari perlakukan hukum yang adil, bukan malah menciptakan suatu kebijakan hukum yang justru mengekslusi warga negara. Dalam kondisi kita hari ini di tengah pandemi virus corona, hukum harus menginklusi setiap warga negara termasuk narapidana.

Sehingga kebijakan pembebasan napi dalam situasi darurat corona hari ini bukan semata-mata demi menjaga agar rumah tahanan tidak tertular wabah corona, namun bagi saya jauh lebih penting dari itu, yakni memberikan jaminan hukum terhadap kemanusiaan setiap warga negara bahwa mereka harus dan perlu mendapatkan perlindungan hukum sesuai yang termaktub dalam regulasi hukum. Namun, menolak pembebasan napi dalam situasi sulit seperti hari ini dengan mempertimbangkan “kejahatan” yang mereka lakukan sebelumnya, bagi saya kita justru sedang memproduksi suatu tatanan hukum yang keliru, dangkal, dan tidak pro kemanusiaan.

Sementara itu narapidana yang masih melakukan tindakan kriminal setelah dibebaskan dari rumah tahanan dapat dibaca sebagai bentuk keteledoran pihak terkait dalam mengawasi narapidana yang telah dibebaskan. Saya melihat kebijakan pembebasan napi demi aspek kemanusiaan sudah sangat tepat, namun yang keliru dan tidak mampu dibaca lebih lanjut ialah aspek pengawasan terhadap narapidana pasca dibebaskan. Bagi saya, pemerintah seharusnya sebelum narapidana dibebaskan, apalagi dalam jumlah yang sangat banyak, perlu ada upaya untuk mengawasi narapidana. Upaya mengawasi narapidana merupakan salah satu langkah yang cukup bagus agar bisa meredam kejahatan yang dilakukan napi pasca dibebaskan.

Petugas lapas dan pihak terkait bisa melakukan upaya sinergitas dan koordinasi dengan pemerintah daerah, seperti pemerintah kota, kecamatan, kelurahan, RW, RT bahkan masyarakat setempat agar mengawasi perilaku napi pasca dibebaskan. Saya menganjurkan solusi seperti ini karena bagi saya seorang narapidana yang berada di rumah tahanan karena kasus tertentu bukan sebagai bentuk untuk memberikan efek jera pada pelaku namun membatasi ruang gerak yang lebih besar dari narapidana untuk melakukan kejahatan yang lebih luas dan dengan tingkat kasus lebih besar. Untuk itu pengawasan sangat diperlukan, semisalkan setiap hari atau 3 hari sekali seorang narapidana wajib melaporkan diri kepada ketua RT ataupun pemerintah terkait. Ini bertujuan untuk meminimalisir kasus kriminal lain yang dilakukan narapidana pasca dibebaskan.

Persoalan inilah yang belum dipikirkan dan dilakukan pemerintah sebelum membebaskan seorang narapidana. Sehingga kasus kejahatan yang dilakukan narapidana pasca dibebaskan bukan merupakan sesuatu yang aneh tetapi justru sesuatu yang sebenarnya wajar karena tidak ada pengawasan yang memang bisa membatasi seorang napi pasca dibebaskan. Tetapi saya harus mengakui kebijakan pemerintah membebaskan napi dalam masa sulit akibat corona merupakan bentuk perhatian terhadap aspek kemanusiaan.

Pada akhirnya, pembebasan napi harus pula didukung dengan upaya pengawasan yang ketat dan terstruktur dari pemerintah. Sedangkan membiarkan narapidana tetap menjalani masa hukuman di rumah tahanan di tengah ancaman wabah corona, bagi saya logika hukum kita sedang mempraktikan apa yang disebut Agamben sebagai “homo sacer” yakni manusia yang dapat dengan mudah ditindas, mengalami segregasi, tidak ada perhatian negara serta tanpa adanya perlindungan hukum yang adil.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya