Perempuan Dalam Ranah Politik NTT

Diskursus partisipasi politik kaum perempuan di NTT masih luput dari perhatian masyarakat. Belakangan ini, muncul wacana hangat tentang rekruitmen politik perempuan akibat dominasi laki-laki dalam lingkaran kekuasaan. Secara sosio-kultural, masyarakat NTT masih melekat dengan feodalisme-patriarki (Lilijawa, 2010:59).
Masyarakat, terutama laki-laki- cenderung bersikap apatis terhadap keterlibatan politik perempuan. Bahkan dalam lingkaran kekuasaan, perempuan masih tergolong orang nomor dua. Kalau dirunut secara detail, di NTT masih banyak kader perempuan yang memiliki kapasitas dan integritas yang baik.
Namun, persoalan yang muncul ialah bagaimana perempuan-perempuan itu masuk dalam jaringan kekuasaan. Persoalan ini yang tengah kita (baca: perempuan) hadapi.
Sejauh ini, keterwakilan perempuan di eksekutif dan legislatif belum begitu nampak.
Persentase perempuan belum mencapai standar kuota 30 persen dalam politik. Presentase keterwakilan perempuan dalam perolehan kursi untuk DPRD NTT periode 2014-2019 hanya 6 orang (9,23%) dari 65 orang. Periode 2009-2014 ada 4 orang dengan presentase 7,27 % dari 55 anggota DPRD Propinsi NTT. Perbandingan jumlah caleg DPRD NTT 2014-2019 beradasarkan jenis kelamin adalah 9% untuk Perempuan dan 91% untuk laki-laki.
Pada tataran pemilihan kepala (Bupati atau Wali kota) dari 29 kabupaten atau kota di NTT, keterwakilan perempuan hanya 2 orang. Kepala Bupati Rote Ndao Paulina Haning Bullu yang menjadi menjadi perempuan pertama di NTT yang dilantik menjadi Bupati, sedangkan pada kursi Wakil Bupati yaitu Drh, Maria Geong, Ph.D yang terpilih menjadi wakil Bupati Manggarai Barat. Ini adalah salah satu fenomena keterbatasan demokrasi kita dalam mengakomodasi perempuan dalam berbagai pemilu.
Politik seringkali terjebak dalam kerangkeng bias gender. Bahkan, politisi laki-laki cenderung membatasi akses politik praktis bagi politisi perempuan. Sebuah panorama kurang menarik dari kontestasi lima tahunan, hegemoni dan kekuasaan laki-laki begitu kuat.
Dalam skala global dan nasional kita tentu melihat dan mendengar kiprah politisi perempuan yang cukup berpengaruh. Sejarah mencatat misalnya, Presiden RI pernah dijabat oleh perempuan. Itu bukan semata-mata karena anak Soekarno memiliki partai politik, namun ada kapasitas dan integritas yang mumpuni.
Lalu pertanyaan yang muncul ialah mengapa partai politik cenderung mengkaderisasi laki-laki ketimbang perempuan? padahal ada begitu banyak perempuan yang cukup gemilang dalam bidangnya dan mampu mengurusi kesejahteraan bersama. Hemat saya, perlu keterbukaan partai politik dalam merekrut politisi. Sebagian perempuan NTT masih membutuhkan "lirikan" partai politik asalkan pengrekrutannya terbuka, tanpa "kongkalikong".
Di samping itu, bagi perempuan NTT yang memiliki kapasitas dan integritas yang baik dan mau terjun dalam politik mesti "mempromosikan " diri supaya partai politik dengan mudah mencari dan membaca rekam jejak.
Delebrasi Politik Perempuan
Untuk itu, demokrasi mesti menjadi lokus ruang deliberasi yang menganut prinsip egaliter bagi semua kalangan.
Prinsip egaliter menjadi semacam pijakan bagi para politisi laki-laki maupun politisi perempuan untuk terlibat dalam ranah politik praktis di NTT. Deliberasi artinya adanya pertimbangan semua elemen atau pihak terkait pengambilan kebijakan politik.
Resonabless artinya adanya etika tanggung jawab dan memahami satu sama lain dan unsur rasionalitas dalam setiap pemberian argumentasi. Prinsip kesetaraan kedudukan dari demokrasi deliberatif hendaknya disadari oleh politisi laki-laki terkait partisipasi perempuan dalam ranah politik praktis.
De facto begitu banyak perempuan NTT yang memiliki kemampuan dalam mengatur ketatanegaraan, berkualitas dan mampu bersaing dalam pilkada.
Kualitas dan kemampuan perempuan dalam kepemimpinan belum mendapat legitimasi dari politisi laki-laki.
Indonesia sebagai negara demokrasi dengan atmosfer deliberatif mesti menjadi dasar bagi politisi laki-laki pun parpol untuk merekrut perempuan dalam politik praktis. Demokrasi deliberatif dengan atmosfer deliberatif mesti hadir sebagai api yang membebaskan perempuan dari marginalisasi.
Ruang deliberatif itu juga diisi oleh nalar publik. Artinya setiap kepentingan dihindari dalam rangka terciptanya meritokrasi dalam penentuan kandidat.
Rasionalitas publik tercipta apabila ruang privat (kepentingan) tidak terkontaminasi dalam pikiran elit parpol. Bahasa universal yang bekerja, bukan kebenaran partikularitas. Bahasa universal mesti dimengerti oleh semua kalangan. Dengan demikian, unsur ‘orang kita” terlempar jauh demi terciptanya progresivitas dalam demokrasi.
Kaderisasi dalam Parpol
Hari ini, publik membutuhkan kerja ekstra parpol dalam mengkaderisasi politisi perempuan, sehingga tidak terkesan laki-laki mendominasi dalam kekuasaan. Tentang kandidat politisi perempuan sebenarnya sudah tertuang dalam undang-undang.
Aturan kewajiban kuota 30 persen memang sudah tertuang dalam UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR-DPRD yang di dalamnya juga memuat aturan terkait Pemilu Tahun 2009. UU No. 2 Tahun 2008 mengamanahkan kepada Parpol untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian.
Namun, sejauh ini kadidatisasi perempuan belum terlihat serius. Mestinya undang-undang ini menjadi corong bagi proses rekrutmen perempuan.
Sudah saatnya rekruitmen politisi perempuan itu dilakukan secara serius oleh elit porpol.
Rekruitmen anggota dan kaderisasi perempuan menjadi sebuah keniscayaan demokrasi deliberatif. Untuk itu hilangkan pra anggapan parpol bahwa perempuan tidak memiliki vote getter dan tidak mampu menaikkan elektabilitas partai politik.
Memberikan kesempatan melalui regenerasi perempuan adalah sebuah reformasi dan transformasi menuju politik yang beradab.
Kepercayaan itu dimungkinkan ketika parpol lebih memilih upaya meritokrasi dibandingkan kepentingan keuntungan sesaat. Seringkali partai bersikap pragmatis, bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa “mengais” keuntungan melalui verifikasi kandidat. Pragmatisme yang lebar menyebabkan keterwalikan perempuan yang memiliki integritas kurang mendapat tempat.
Pragmatisme ini dapat diredam apabila dalam proses kaderisasi jika asas profesionalitas, integritas, dan kualitas menjadi sasaran utama. Keutamaan-keutamaan ini mesti menjadi pilihan dan landasan dalam penentuan setiap kader.
Namun, karena begitu banyak orang yang bermain uang sebagai pelicin masuk dalam lingkaran porpol, maka keutamaan-keutamaan ini tidak diakomodasi dengan baik.
Akibatnya, kita memasukkan orang orang yang kurang memiliki keutamaan dalam pemerintahan. Selanjutnya sangat berpengaruh pada kebijakan dan kerja nyata dari elit.
Tidaklah heran kalau kebijakan-kebijakan seringkali kontraproduktif. Itu akibat dari tebang pilih parpol dalam rekruitmen kader politik. Untuk itu, hemat saya, parpol tetap menjaga dan mengkaderisasi perempuan dalam politik.
Masih banyak perempuan yang terjun dalam politik apabila dikaderisasi parpol dengan mengedepankan asas keterbukaan. Yakin akan lahir politisi perempuan di NTT yang progresif dan membangun.
Artikel Lainnya
-
154021/06/2020
-
155008/08/2019
-
110206/07/2020
-
Hari Kesaktian Pancasila: Kuasa Kalender & Diskursus Hari Besar Nasional
143501/10/2020 -
Realitas dan Wahyu: Solusi Dikotomi Agama dan Sains ala Ibnu Rusyd
17221/12/2024 -
Menggalakkan Pariwisata di Kampung Boncukode
38812/05/2024