Murkanya Presiden, Murkanya Rakyat
Kesal, jengkel, dan murka mungkin itu gambaran perasaan Presiden Jokowi saat Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta pada 18 Juni 2020 lalu. Videonya menjadi viral setelah diunggah di kanal Youtube pada Ahad (28/6). Dalam sidang kabinet tersebut amarah presiden tumpah. Presiden meradang bukan kepalang karena kinerja para menterinya yang terkesan lamban di tengah amukan badai Covid-19. Seolah ada penyakit kronis yang menggerogoti tubuh kabinetnya hingga mengalami pembusukan dari dalam (decay from within).
Presiden Jokowi yang selama ini tampak sejuk tiba-tiba “garang” di dalam sidang kabinet karena ketidakberesan kinerja anak buahnya. Wajar memang kalau presiden marah, publik pun bisa melihat dan menilai sendiri soal ketidakbecusan kinerja beberapa kementerian selama pandemi ini. Mereka terkesan leha-leha dan biasa saja, seakan tidak terjadi apa-apa. Padahal, situasi negeri teramat genting. Ekspansi ganas Covid-19 bukan bencana sepele yang sudah seharusnya ditangani dengan manajemen penanganan bencana yang disiplin, ketat, dan akurat.
Ada seabrek pemicu yang membuat amarah presiden tersulut. Beragam inovasi kebijakan telah ditetapkan pemerintah dengan menyiapkan juga anggaran mencapai triliunan guna menghadapi pandemi ini, malah eksekusinya justru buruk di tangan anak buahnya. Sejumlah menteri seolah santai-santai saja. Padahal, saat ini kondisi kesehatan negeri sedang kronis, ekonomi tampak lesu, dan banyak rakyat yang merana karena kesulitan ekonomi juga membutuhkan bantuan. Tapi, kinerja menteri di sektor-sektor vital justru mengecewakan.
Sejumlah program krusial stagnan, jalan di tempat. Padahal, realisasi dari program tersebut sangat mendesak dibutuhkan rakyat. Sektor kesehatan misalnya, dalam tiga bulan terakhir ini, pemerintah sudah menyiapkan dana Rp 75 triliun, tetapi yang disalurkan baru 1,53 persen. Ini kan lucu sekali. Di tengah kekurangan pengadaan Alat Pelindung Diri (APD), peralatan kesehatan, dan fasilitas rumah sakit lainya, bisa-bisanya serapan anggaran masih minim.
Harus diingat, satu detik saja kita lengah, taruhannya adalah nyawa manusia banyak yang melayang. Lonjakan kasus Covid-19 yang meningkat tajam harusnya menjadi tanda bahaya untuk segera ditangani. Presiden pun sudah jauh-jauh hari meminta untuk menekan kasus terpapar positif Covid-19. Namun, realitanya yang terjadi penurunan kurva kasus potitif Covid-19 masih jauh panggang dari api. Bahkan, per-4 Juli 2020 total positif Covid-19 ada 62.142 kasus bertambah 1.447 dalam sehari. Jumlah penderita yang terus bertambah ini tentunya menjadi fakta yang mencemaskan yang harusnya direspon darurat dan mendesak.
Belum lagi, kalau kita menilik data yang diterima DPR terkait dengan dana intensif tenaga kesehatan di masa pandemi Rp 5,9 triliun yang baru 40 persen terserap. Itu artinya masyarakat belum dapat dana ini, karena tenaga kesehatannya belum dapat. Ini menunjukkan kinerja sektor kementerian kesehatan teramat lelet. Kalau alasannya karena pendataannya belum tepat atau datanya belum masuk, itu soal urusan birokrasi internal yang seharusnya cepat tanggap teratasi.
Sektor ekonomi juga tak luput menjadi sorotan pedas presiden. Hantaman wabah Covid-19 ini pastinya tidak hanya berimbas pada krisis kesehatan saja, melainkan merangsek ke sisi-sisi yang lain, termasuk memukul ekonomi nasional. Mulai dari ranah permintaan, suplai hingga produksi terdampak oleh wabah ini. Hal inilah yang membuat ekonomi terkapar nyaris sekarat.
Data yang dirilis Menteri Keuangan Sri Mulyani pun semakin menegaskan buruknya pengelolaan anggaran dalam mengatasi pendemi ini. Sebut saja, untuk perlindungan sosial, dari total anggaran Rp 203,9 triliun, baru 34,06 persen terserap. Realisasi insentif Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) senilai Rp 123,46 triliun juga baru 22,75 persen. Bahkan dana Rp 53,57 triliun pembiayaan korporasi belum ada yang terealisasi. Sangat keterlaluan.
Lembaga sekelas Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga dianggap menjadi biang keladi murkanya presiden. BI dan OJK sama-sama menerapkan kebijakan business as usual dalam penanganan Covid-19. Kinerja kedua lembaga ini dianggap menghambat kebijakan yang sudah dibuat pemerintah selama pandemi. BI dianggap enggan menyerap Surat Utang Negara (SUN) yang diterbitkan pemerintah. Sementara, OJK dinilai tidak menjalankan relaksasi kredit kepada debitur perbankan di kalangan UMKM (www.mediaindonesia.com).
Berbagai problem pemicu murkanya presiden tersebut tak pelak membuat mencuatnya isu reshuffle kian santer. Jika memang terjadi, itu sangat wajar, rakyat pun sebenarnya juga marah dengan buruknya kinerja beberapa menteri selama pandemi. Apalagi, reshuffle kabinet merupakan hak prerogatif presiden. Tak ada gunanya memelihara ulat dalam pot bunga (keep caterpillars in flower pots), yang ada malah merusak keindahan. Lokomotif pemerintahan harus diisi oleh orang-orang yang mumpuni. Menteri-menteri yang tahan banting di situasi yang genting.
Presiden berhak mengevaluasi secara kritis-analitis terhadap anak buahnya. Di tengah kepungan wabah Covid-19 yang berdampak pada multiple-krisis ini. Yang kita butuhkan bukan menteri yang bekerja biasa-biasa saja, leha-leha, tanpa memiliki sense of crisis. Melainkan pejabat kelas wahid yang punya high order thingking dalam situasi darurat sekalipun. Harapannya, dengan diisi oleh orang-orang yang mumpuni di struktur kabinet, bangsa Indonesia mampu segera keluar dari seabrek persoalan imbas dari hantaman wabah Covid-19, semoga.
Artikel Lainnya
-
463722/08/2024
-
224313/03/2020
-
54726/10/2023
-
Detoksifikasi Digital Sebagai Upaya Melawan Realitas Semu
59202/02/2022 -
Melihat Lebih Jauh Kurikulum Baru Kita
58614/08/2022 -
Mengakhiri Drama Penyalahgunaan Dana KIP-K
40106/05/2024