Penjara Sesak, Narapidana Dibebaskan?

Pada Kamis, 23 April 2020, saya menerima kabar mengharukan. Sumardi, lelaki baik dan hidup serba kekurangan dikabarkan tertangkap basah oleh warga sedang "mencuri" padi di sawah. Sumardi pun akhirnya diamankan dan digelandang warga ke Polsek Kebakkramat, Karanganyer. Apa kalian juga sudah mendengar berita itu?
Entah di pelosok mana Sumardi dilahirkan, tetapi sekarang raganya bermukim bersama sanak keluarganya di Kelurahan Sragen Wetan, distrik Sragen, Jawa Tengah. Ia melewati hari-harinya dengan bekerja sebagai seorang pemulung. Mungkin dalam hatinya, atas segala keterbatasan kemampuan, pemulung adalah jalan satu-satunya yang ia bisa lakoni demi meraih kehidupan yang lebih panjang kendatipun kerap dipandang buruk.
Pasca tertangkap 'mencuri', Sumardi mengaku nekat mengambil padi di sawah yang, entah milik siapa, karena tidak ada lagi barang yang dapat ia pungut tuk dijual sebagai sumber penghasilan halal. Pasalnya, gang-gang warga tertutup akibat 'demi' mencegah penyebaran virus korona, dan itu nyaris membuat ia dan keluarganya mati.
Sebab itulah di depan pihak kepolisian dan gerombolan warga Sumardi juga mengakui niatnya mengambil padi yang bukan miliknya semata-mata untuk mengganjal perut agar raganya tidak jatuh sakit. Lebih jauh lagi, itu ia lakukan demi mempertahankan napas lima anggota keluarganya tetap berhembus. Di Sragen Wetan Sumardi tinggal bersama sepasang mertua, dua orang anaknya—salah satunya masih berumur tiga tahun, dan seorang istri.
Orang bisa saja berasumsi Sumardi berkelit supaya terhindar dari penghukuman yang sepatutnya ia terima selaku pencuri. Mana ada maling yang mau dihukum, beginilah umumnya orang berpikir. Tetapi, saat ini, tak ada satu pun dari kita yang dapat memberi sangkal betapa malangnya nasib seorang pemulung di tengah amukan wabah berbahaya. Dan orang-orang yang bermurah hati mungkin akan bertindak lebih, menempatkan diri dan sudut padang mereka dalam penderitaan yang Sumardi tengah alami.
Dengan sudut pandang sentimentil nan humanis semacam itu, Sumardi berpeluang besar bernasib mujur. Dan membikin haru, pada saat Sumardi terciduk mengambil apa yang bukan haknya kemudian diseret ke kantor polisi, ia dipertemukan dengan orang-orang sedemikian baik. Maka wajar saja, alih-alih dijebloskan ke dalam penjara, Sumardi justru menerima pengampunan, peluh kasih sayang, juga diberikan bala bantuan.
Kasat Reskrim Polres Karanganyar, AKP Ismanto Yuwono, mengatakan bahwa setelah dilakukan mediasi warga pun memutuskan ikhlas memaafkan perbuatan Sumardi. AKP Iswanto Yuwono juga turut membeberkan bahwa pihaknya memberikan sedikit bala bantuan kepada Sumardi berupa beras 10 kilogram, susu formula untuk balita, minyak goreng, biskuit, dan mie instan.
Sebagaimana yang telah saya katakan sejak awal, saya terharu mendengar kabar ini. Betapa baik dan dirahmatinya bangsa ini bila masyarakat, wakil legislasi dan yuridis, dan terutama aparat eksekutif penegak hukum senantiasa bermurah hati kepada orang-orang yang tak berpunya dan bernasib sama seperti Sumardi, niscaya akan sepi ruang penjara itu.
Kemiskinan itu dekat dengan kekufuran, begitulah Rasulullah Muhammad SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Na’im. Ketika manusia memutuskan saling membantu satu sama lain dalam kesusahan, kriminalisasi otomatis akan berkurang. Saya percaya itu.
Kita bukan lagi hidup pada zaman kuno Mesopotamia dengan hukum Hammurabi yang berpusat pada konsep 'lex talionis' alias hukum sebagai jalan membalaskan dendam, di mana mata harus diganti dengan mata. Kita juga tak lagi hidup di zaman Jahiliah, di mana yang mencuri harus dihukum potong tangan. Kita bukan lagi hidup pada masa di mana yang terbukti melanggar hukum harus dibuang jauh-jauh ke pengasingan.
Sekarang kita hidup pada masa melampaui abad pencerahan, era di mana laku penuh spirit perikemanusiaan merajalela, sistem penjara dimaksudkan untuk mendekatkan yang terasing dan dipandang sebagai jalan merehabilitasi alias perbaikan laku manusia. Penjara, dalam pandangan Michel Foucault, sama halnya sekolah, adalah ruang menertibkan individu, dalam bahasa kekinian kita menyebunya sebagai lembaga pemasyarakatan.
Jadi, hakikatnya, penjara itu tempat yang baik. Lembaga pemasyarakatan. Rehumanisasi akan dilakukan di tempat ini, sama halnya dengan sekolah. Saya pribadi sepakat dengan sikap pemerintah yang membebaskan ribuan narapidana umum demi pencegah penyebaran virus korona.
Saya memandang ribuan narapidana asimilasi dan dibebaskan oleh Menkuham Yasonna Laoly itu sama halnya seperti saya menandang diri saya sendiri sebagai anak sekolahan, pun sebagaimana saya memandang Sumardi di mana kesalahan bukan seutuhnya menjadi milik dia seorang. Selalu ada alasan dalam kegilaan, kata Nietzsche. Beginilah cara saya memandang sebuah kesalahan maupun apa yang dipandang sebagai kejahatan.
Sebagian dari kita mungkin cemas dan berpikir kebijakan pemerintah membebaskan narapidana akan berdampak buruk pada keamanan sosial, kejahatan bisa marak, jadi harus ditolak demi keamanan. Sebagiannya lagi dari kita mungkin sepakat dengan kebijakan tersebut, namun disertai syarat agar para napi-napi asimilasi itu diawasi secara ketat oleh pemerintah setempat supaya tak berbuat ulah pasca dibebaskan.
Semua alasan di atas bertujuan baik menurut saya, yaitu semata-mata untuk keamanan dan keselamatan hidup masyarakat. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan, dan negara memang wajib memenuhi kedua hal tersebut tanpa secuil pun pengecualian.
Namun, saya pikir, kendatipun kebijakan membebaskan narapidana adalah putusan yang mencemaskan, tetapi melalui kebijakan inilah kita dapat menguji dan mengevaluasi sejauh mana fungsi dari sistem penjara yang kita punya, apakah mampu mengubah kehidupan tahanan dengan cara yang akan membuat mereka menjadi anggota masyarakat yang produktif dan taat hukum begitu mereka dibebaskan atau tidak. Ini poin inti mengapa saya sepakat kebijakan itu boleh dilakukan.
Di samping itu, menurut saya pemerintah kita juga mesti konsisten dengan langkah-langkah yang sebelumnya telah mereka sepakati, dalam hal ini social distancing ataupun physical distancing. Di dalam penjara mustahil ini dilakukan, pemerintah sendiri yang mengakui kemustahilannya.
Saya juga berpikir barangkali separuh dana makan-minum para narapidana yang diasimilasi itu dapat dialihfungsikan ke tempat yang lebih tepat, sebut saja ke tangan anak jalanan, lansia, dan pemulung, atau untuk membeli rapid test, misalnya. Pokoknya anggara itu dialihkan kepada pihak yang paling membutuhkan.
Bisa jadi pengalihan anggaran konsumsi ribuan narapidana asimilasi itu mungkin saja sudah dilakukan oleh pemerintah, tapi mungkin juga dana itu belum diapa-apakan oleh pemerintah. Entahlah. Kita tunggu saja keterbukaan dari pemerintah. Saya pikir, pemerintah juga perlu memastikan sandang para narapidana yang mereka bebaskan, ini supaya para narapidana tersebut tidak berbuat salah di luar sana.
Tak bisa dipungkiri, ketika saya mendengar pihak pemerintah mengatakan kapasitas penjara sejujurnya tak lagi mampu menampung jumlah populasi narapidana, bulu kuduk saya merinding. Wajar saja pemerintah kebingungan, bikin ini salah itu salah. Untung menurut saya mereka mengambil langkah yang tepat, memulangkan separuh napi kepada lingkup keluarganya masing-masing.
Namun, mendengar kabar penjara sesak sebagai alasan perlu dilakukan pembebasan, dalam pikiran saya tergelitik mengapa di negeri super kaya sumber daya alam ini pelaku kejahatan begitu marak bermunculan. Apa yang salah pada negeri ini sehingga isi penjara sesak, kelonggaran sistem keamanankah pemicunya, ataukah kerakusan segelintir oranglah yang memaksa ribuan orang itu nekat berbuat jahat?.
Artikel Lainnya
-
108015/09/2020
-
180902/11/2020
-
109111/02/2022
-
Represi, Ideologi, dan Krisis Legitimasi: Membaca Gelombang Protes di Indonesia
4002/10/2025 -
Lahan Basah Bukan Sekadar Rawa
14501/03/2025 -
Betapa Belum Menyenangkannya Sistem Pendidikan Kita
158816/02/2020