Menuju Pilkada NTT: Bagaimana Posisi NTT Dalam Peta Konstelasi Politik (Pusat-Daerah)

Entrepreneur, Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UGM
Menuju Pilkada NTT: Bagaimana Posisi NTT Dalam Peta Konstelasi Politik (Pusat-Daerah) 26/10/2024 16 view Politik sindonews.com

Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak akan segera diselenggarakan. Menuju pada hari pemilihan kontestasi politik di tingkat daerah sudah mulai bergemuruh. Salah satunya adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Daerah ini akan melibatkan kontestasi yang terbagi dalam tiga kubu paslon. Kontestasi kali ini tidak melibatkan para petahana, melainkan nama-nama populer yang terbilang baru dalam persaingan perebutan kursi kepala daerah NTT.

Paslon nomor urut pertama adalah Yohanis Fransiskus Lema-Jane Natalia Suryanto, yang diusung oleh PDI-P, Hanura, dan Partai Buruh. Sementara paslon kedua yakni Emanuel Melkiades Laka Lena-Johni Asadoma yang melibatkan dukungan koalisi besar (KIM Plus), yaitu Golkar, Gerindra, PAN, Demokrat, PSI, Perindo, PPP, Garuda, Gelora, PKN, dan Prima. Simon Petrus Kamlasi-Adrianus Garu kemudian menjadi paslon nomor urut terakhir yang diusung oleh Nasdem bersama PKB dan PKS.

Ampas-Ampas Pemilu

Peta konstelasi politik di NTT kali ini terbilang unik dan tidak asing. Pasalnya dinamika pilkada kali ini serasa kental dengan nuansa pemilu terkhusus pilpres kali lalu. Persaingan yang melibatkan partai-partai besar semisal PDI-P, Gerindra, Golkar, dan Nasdem di tingkat pusat tersebut berpengaruh membentuk konfigurasi persaingan politik di level daerah.

Paslon satu misalnya dengan membawa semangat merah ala Soekarnoisnya Megawati, memuat Tagline #Satu Hati untuk Manyala NTT. Sementara paslon nomor urut dua terbilang begitu kuat, sebab jaringan politik yang luas dan koalisi besar KIM Plus dengan kemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming di pilpres lalu dapat saja memberikan efek menguntungkan bagi kubu ini. Visi Misi yang diusung pun membawa Tagline #NTT Maju #NTT sejahtera.

Paslon nomor urut terakhir dengan Tagline #SIAGA terbilang merepresentasikan koalisi perubahan dilihat dari partai-partai yang mengusungnya seperti di pilpres kali lalu. Meski secara strategis, kubu ini memiliki pendekatannya tersendiri. Nuansa politik Islam tidak begitu dominan. Hal ini tentu mengacu pada identitas mayoritas dan aspek sosiologi politik masyarakat NTT yang masih membekas dengan isu-isu politik identitas.

Dengan kata lain, persaingan Pilkada di NTT kali ini masih melekat dengan sisa-sisa ampas kontestasi politik sebelumnya. Hal ini memungkinkan banyak hal terjadi misalnya menguapnya persaingan strategi ide dan gagasan, melainkan banjirnya narasi sensasional dan narsistik seperti yang terjadi dalam kontestasi pilpres kemarin.

Selain itu, konfigurasi dukungan massa pasca pilpres dapat saja berpengaruh membentuk pola yang sama di NTT. Meskipun begitu, kedua hal tersebut juga perlu memperhitungkan faktor-faktor lainnya. Dengan keadaan sosiologis dan basis massa para partai yang tersebar. Serta latar belakang figur-figur yang ada, dapat saja menghadirkan dinamikanya tersendiri.

Kondisi dinamika politik antara pusat dan daerah semacam ini sebenarnya sudah pernah terjadi sebelumnya. Dengan perkembangan media digital keterhubungan dinamika politik antara pusat dan daerah semakin mengarah pada pola yang sinkron. Misalnya saja pilkada periode sebelumnya yang menandai bangkitnya populisme Islam oleh sebab kasus penistaan agama yang menggiring nama Basuki Tjahaja Purnama.

Strategi politik identitas pun dilancarkan untuk menarik simpati publik. Dinamika massa tersebut sampai hingga ke daerah, yang kemudian menghadirkan strategi dan pendekatan serupa. Momen ketika Mantan Gubernur bersama wakilnya Viktor Laiskodat-Yoseph Nai Soi dengan membawa adik dari Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut dalam kampanyenya.

Leti Indah Purnama datang untuk membacakan surat oleh Ahok di lapangan Sitarda, Kupang. Surat tersebut berisi dukungan Ahok terhadap pasangan calon tersebut yang dimakanai oleh banyak pakar sebagai bentuk kampanye agar menarik simpati publik NTT saat itu.

Tantangan Persoalan Daerah dan Pusat

Keterhubungan pusat dan daerah tentu tidak saja berkaitan dengan dinamika politik menjelang pesta demokrasi. Secara birokratis semenjak sistem pemerintahan yang desentralistik diterapkan, keterhubungan antara pusat dan daerah berlanjut dengan format baru. Otonomi daerah yang memberikan legitimasi bagi kepala daerah untuk membangun daerahnya, tidak saja dimaknai sepenuhnya sebagai kemerdekaan bagi masyarakat di setiap daerah.

Gejala bangkitnya oligarki kecil dan bangkitnya patronase politik menandai persoalan pelik dalam kepemimpinan di tingkat lokal. Tidak saja itu, jejaring oligarki pusat menjadi ancaman bagi berlangsungnya kepemimpinan di daerah. Daerah dapat saja dimanfaatkan sebagai perpanjangan tangan dari pengaruh kekuasaan pusat terhadap daerah.

Menguatnya upaya membentuk koalisi besar justru semakin mempengaruhi jalannya persaingan dan kepemimpinan selanjutnya di daerah. Belum lagi, maju mundurnya PDI-P dalam menentukan arah politik memberi kesan pesimis bahwa persaingan politik yang terjadi di tingkat pusat dan daerah hanya menjadi gimik biasa.

Koalisi yang besar tanpa oposisi membuat kekuatan politik menjadi semakin absolut, resikonya kepemimpinan di daerah akan mengikuti logika pusat dengan pengaruh oligarki yang dominan dan menambah peluang politik dinasti terbuka lebar.

Selain itu, dua nama pesaing kuat seperti Ansy Lema dan Melki Laka Lena yang sebelumnya terpilih menempati kursi DPR RI Dapil NTT juga harus melepaskan kursinya terlebih dahulu. Hal ini dapat saja mengganggu representasi daerah di pusat terkhusus sektor legislatif. Secara kedua nama tersebut dipilih langsung oleh rakyat untuk menjadi wakil NTT di Senayan.

Lalu pertanyaanya, dengan mengacu peta konstelasi politik di NTT menjelang pilkada nanti, apa yang seharusnya dilakukan? Salah satu yang bisa ditawarkan adalah melibatkan partisipasi publik yang luas sehingga membentuk koalisi sipil yang kuat di daerah, dalam hal ini NTT.

Dengan terus melibatkan diri termasuk dengan mewadahi para paslon seperti mengadakan adu gagasan. Koalisi sipil yang terbentuk kemudian harus konsisten menarik perdebatan yang ada pada perbincangan serius tentang tugas utama partai, persoalan konkret di daerah, dan menekankan tanggung jawab para figur.

Dengan begitu, kebiasaan melibatkan diri dengan cara yang kreatif dan konsisten menjadi jalan alternatif di tengah minimnya representasi politik oleh partai-partai politik yang ada. Tentu hal ini bukanlah pekerjaan rumah yang remeh. Namun, dengan begitu diharapkan daerah tidak lagi dipandang sebelah mata, sehingga dapat meningkatkan fungsi rekognisi dan redistribusi yang adil dan merata.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya